Mohon tunggu...
Kiki RizkiDwitami
Kiki RizkiDwitami Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Bersekolah di SMAN 1 PADALARANG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rumah untuk Mazaya

22 Februari 2021   07:59 Diperbarui: 22 Februari 2021   08:03 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dear Mazaya,

si pemilik kegelapan yang begitu indah

bersandarlah dibahuku,

sebaik-baiknya rumah adalah 

pelukan hangat dariku.

-Nazelo

                        OO. Tentang Mazaya, sebuah prolog

Mazaya suka berteman dengan siapapun ia mungkin bisa berteman. Hanya saja ia tidak suka dikenali, tidak suka terkenal ia lebih menyukai fakta bahwa dirinya tidak terlihat dan tenggelam diantara lautan murid lainnya.

Ia tidak menonjol. Tidak begitu pintar juga tidak begitu cantik, tidak memiliki keahlian khusus dan berasal dari keluarga biasa saja benar-benar ciri khas murid biasa yang tidak memiliki keistimewaan yang menarik orang lain untuk melihatnya.

Mazaya bisa berteman dengan siapa saja, tidak pandang bulu dan tidak membeda-bedakan. Namun semua itu butuh proses, ia tidak bisa langsung akrab ketika baru berkenalan dengan orang baru mau sebagaimanapun petakilannya seorang mazaya, ia tetaplah seorang introvert yang sedikit sulit untuk melakukan sosialisasi di awal-awal. Namun itu tidak akan memakan waktu yang lama, ia hanya butuh menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Mazaya adalah gadis berambut hitam sepunggung, dengan netra kecoklatan, kulit kuning langsat, serta rasi bintang yang menghiasi pipinya telinganya tidak berbentuk sempurna pada bagian atasnya namun tidak menjadikannya sebuah kekurangan karena pada faktanya hal itu justru menambah kecantikannya, tingginya hanya sekitar 160cm dengan berat badan yang tak pernah bisa menginjak 45kg. Postur tubuhnya sedikit seperti laki-laki (dalam artian turunan dari ayahnya), dengan pinggang yang kecil sehingga rok sekolahnya harus dipakaikan gesper-selain karena peraturan sekolah. Memiliki tanda lahir di tangan kanannya yang selalu membawakan ucapan 'wah, berarti kalo hilang gampang ketemunya.' dari sanak keluarga ataupun orang lain.

Mazaya tidak ingin dibilang cantik, dirinya selalu mengaku ganteng dan ingin dipanggil 'mas' oleh teman sekelasnya pada akhirnya 'mas' telah menjadi panggilan resmi untuknya.

Tulisan mazaya pun terbilang acak-acakan dan tidak rapi, namun entah bagaimana ia pernah menjabat sebagai sekretaris sebelum akhirnya mengungsi kebagian seksi keamanan karena keinginannya sendiri, meskipun terkadang guru masih menyuruh mazaya untuk melakukan tugas sekretaris ataupun sekedar mencatat materi di papan tulis.

Jika kalian berpikir bahwa mazaya adalah gadis yang manis maka kalian harus membuang pikiran itu jauh-jauh karena pada faktanya mazaya dan kata manis adalah sebuah kombinasi yang mustahil. Mulutnya tidak pernah henti mengumpat, dan jangan lupakan celetukan-celetukan pedas yang terkadang mazaya lontarkan pokoknya definisi macan yang sesungguhnya.

Mazaya juga seorang gadis yang riang, sangat petakilan dan terlihat sangat jauh dari terpaan beban hidup. Seakan-akan hidupnya hanya tentang melemparkan lawakan lalu terbahak-bahak dengan riang, sorot matanya begitu hangat dan menghadirkan rasa nyaman. hal inilah membuat orang-orang disekitarnya merasa iri dan selalu berandai bahwa mereka bisa menjadi dirinya yang melalui hidup tanpa beban yang selalu mazaya balas dengan 'hidup kita sama aja jangan ngarep jadi gue.'

Meski terlihat hangat dan menyejukan, orang-orang disekitarnya jelas dapat merasakan hawa misterius dan tersembunyi yang ada dibalik citra mazaya yang periang. Beberapa orang memilih mengabaikan, beberapa lainnya berusaha menggali sesuatu meski berakhir dengan kegagalan. Mazaya nampak merangkul mereka dengan akrab namun disisi lain ia terlihat begitu jauh dan tidak bisa diraih.

Seperti labirin yang tak bisa dipecahkan.

.

OO. Cahaya yang redup

Mazaya jelas sangat jauh dari kata bahagia. Hidup dalam tekanan jelas bukanlah sesuatu yang mampu membuatnya tertawa lepas. Kebahagiaannya terenggut sejak Ia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Dimana ia mengetahui fakta dibalik pernikahan kedua orang tuanya.

Seiring dengan waktu berjalan, kebohongan-kebohongan yang disusun dengan rapi akhirnya terbongkar sedikit demi sedikit. Hal yang mana membuatnya terjatuh di usia yang terbilang muda. Tak cukup dengan jatuh, Ia dihancurkan dengan paksa begitu kebohongan itu tidak lagi disembunyikan dan dengan terang-terangan diperlihatkan didepan matanya dirinya benar-benar hancur.

Dan ditengah kehancurannya ia berusaha bangkit sendirian. Tidak dalam rangkulan atau dorongan seseorang, Ia terbiasa sendiri dan tak ingin ditemani walaupun faktanya ia benci sepi.

Tidak mudah menyatukan kembali puing-puing reruntuhan yang berceceran tak tentu arah. Butuh waktu yang lama untuk kembali utuh meski tak sempurna meskipun akhirnya ia berhasil membangun kembali benteng pertahanannya, rasa sakit, kecewa yang melekat tak kunjung sirna. Menjadi bom waktu yang bisa kapan saja meledak dan meruntuhkan benteng yang susah payah ia bangun.

Disaat itu pula ia menjadi pribadi yang berbeda namun tidak berubah. ia hanya mencoba menyembunyikan lukanya dibalik senyuman. Senyuman yang tidak pernah dimengerti oleh siapapun.

Melemparkan jaket yang baru saja ia lepas ke wajah seseorang adalah kebar-baran nazelo yang pertama pada sosok asing didepannya. Kebar-barannya yang kedua adalah menendang kaki yang tertekuk di atas aspal itu dengan main-main yang mana membuat empunya dihantam rasa terkejut dua kali berturut-turut.

Gadis itu tengah duduk dibahu jalan jembatan layang, dengan kedua kaki yang ditekuk didepan dada juga netra yang menatap kosong jalanan. Suasana yang mendukung, juga masalah yang menghampiri membuat kewarasannya terenggut dan berakhir menumpahkan semuanya dalam isak tangis ditengah keheningan malam. Hanya beberapa kendaraan yang berlalu-lalang dijam-jam seperti ini seakan-akan membuat dirinya lebih leluasan untuk lebih jujur kepada semesta.

Dan mazaya tidak mengerti, mengapa garis takdir membawanya untuk bertemu dengan sosok asing ditengah isak tangisnya.

Ketika tiba-tiba pandangannya menggelap begitu merasakan sesuatu menutupi wajahnya dengan sengaja disertai tendangan main-main namun sarat akan ketegasan yang diterima di kakinya adalah saat-saat dimana ia ingin menenggelamkan dirinya di sungai ini. Saat-saat dimana netranya mendapati sosok berperawakan jangkung yang terlihat familiar sekaligus asing tengah berdiri dihadapannya dengan mata menyalang dengan bengis seakan-akan tidak memperdulikan bagaimana keadaannya yang tengah kacau dan jauh dari kata baik-baik saja.

Sedangkan disisi lain, nazelo berdecih begitu sosok didepannya kini menengadah menatapnya. Menampilkan wajah yang sangat kusut dengan kedua mata yang sembab, hidung memerah dan jejak air mata dikedua pipinya. "Bangun, sana balik ke rumah nggak usah kaya gembel nangis dipinggir jalan." Sosok didepannya masih sesenggukan dan menatap bingung kearahnya, "bangun bego, ngerti bahasa manusia nggak?" lanjutnya sembari kembali menendang kaki yang tertekuk itu membuat sang empunya tersentak kaget sebelum akhirnya menuruti perintah orang asing didepannya itu.

Merasa puas melihat gadis menyedihkan itu menuruti perintahnya, nazelo menampilkan seringaian menyebalkan sembari menatap tajam si pemilik karamel sayu itu. "Enggak usah ngerasa kalo lo orang yang paling sedih di dunia buka mata, liat ke sekeliling penderitaan orang lain jauh lebih berat dari elo."

Gadis didepannya hanya diam tergugu, masih sesenggukan namun tidak lagi mengeluarkan air mata hanya menatap nazelo dengan tatapan yang sarat akan kekosongan membuat nazelo menghela nafas berat sebelum akhirnya menyampirkan kedua lengannya diatas bahu berbalut hoodie milik sosok didepannya. "gue tau lo lagi nggak baik-baik aja, tapi nangis nggak menyelesaikan apapun, mungkin iya bisa meringankan beban, tapi bukan berarti bisa jadi benteng alesan buat lo terus-terusan nangis dan terpuruk tanpa niatan buat bangkit."

Nazelo bermonolog ria mencoba memberi pengertian yang lebih lembut pada sosok ringkih didepannya. Nazelo dapat melihat bahwa sosok didepannya ini bisa hancur kapan saja, entah karena badai atau hanya karena sentilan angin di bulan November. Nazelo juga tidak peduli dirinya akan dicap bagaimana oleh didepannya, hanya saja melihat sosok mmungilnya yang begitu rapuh tengah menangis dipinggiran jembatan membuatnya terlempar ke masa lalu yang pahit masa lalu yang mana menjadi puncak kehancuran seorang nazelo.

Ia menyesal begitu bodoh, ia menyesal tidak bisa memahami keadaan, ia menyesal karena gagal menjadi sosok teman yang baik, ia menyesal karena tidak bisa menghentikan temannya yang terjun bebas dan meninggalkannya dengan senyuman penuh kebahagiaan ya. Nazelo menyesal.

Karena rasa penyesalan itulah yang membuat nazelo berani bertindak semena-mena kepada orang asing didepannya. Ia hanya mencoba untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu, ia ingin terlepas dari bayang-bayang menyakitkan yang siap memukul rata tembok pertahanannya. Jadi, disinilah dia sekarang.

Nazelo memasang senyum tulusnya, tangannya yang tersampir dipundak gadis asing itu ia remas pelan, berusaha menghantarkan kekuatan dan pengertian. "gue yakin lo kuat siapapun lo, gue percaya sama lo."

Netra karamel sayu itu perlahan menunjukan sinarnya, menghilangkan sorot kekosongan yang kini digantikan dengan sorot yang mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Sinar dimana ia berusaha untuk mendirikan kembali benteng pertahanannya yang telah luluh lantah. Sorot mata yang membuat nazelo tak bisa menahan dirinya untuk tidak bahagia.

"Terima kasih." begitu lirih hingga mampu menyayat hati namun juga begitu tegas tanda tidak main-main dengan ucapannya. Mazaya mengukir senyumnya perlahan, senyuman yang tulus dann begitu indah senyuman pertamanya dihari ini, senyuman yang ditujukan untuk sosok asing didepannya.

"Kembali kasih." dengan itu nazelo melepas cengkramannya dibahu sempit mazaya. masih dengan senyum tulusnya, nazelo mempersilahkan mazaya untuk segera pulang ke rumahnya yang mana disetujui oleh mazaya. Tungkai itu perlahan berjalan meninggalkan nazelo tanpa pamit, bergerak berlainan arah untuk segera sampai ke rumahnya. Setelah berjarak lima langkah, nazelo juga menggerakan tungkainya untuk berjalan mengikuti mazaya. Tidak banyak bicara, ia hanya menatap bahu sempit yang berusaha diperkuat empunya itu dari tempatnya. Mazaya sendiri mengetahui itu dengan pasti. Meski begitu, ia tidak merasa risih, sebaliknya ia malah merasa aman dan nyaman. Hingga akhirnya mazaya menghilang dibalik pintu rumahnya, nazelo memutar badannya seratus delapan puluh derajat, kembali melangkahkan kaki untuk pulang karena tugasnya menemani jalan gadis asing itu pulang sudah selesai. Mereka tidak berkenalan, tidak juga sekedar menukar nama. Karena dalam hati mereka berharap bahwa mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Namun sayangnya keberuntungan tidak memihak mereka, harapan mereka untuk tidak lagi bertemu harus kandas ketika mereka tanpa sengaja bertemu dikeadaan yang tidak menyenangkan. Keadaan dimana keduanya tengah terbaring lemah diatas bangsal rumah sakit dengan jarum infus yang menancap ditangan mereka. Hal yang mana membuat nazelo tersenyum miris, juga hal yang dimana membuat mazaya terkekeh kering.

Benar-benar takdir yang tidak terduga.

"Jadi nama lo Mazaya?" adalah baritone nazelo yang memecah keheningan diantara keduanya, berbasa-basi sembari menguatkan diri untuk menerima fakta yang baru saja menimpa dirinya.

Sedangkan yang ditanya hanya berdeham ringan sebagai jawaban, tidak berniat membuka mulutnya sedikitpun. Karena jujur ia pun merasa tak kalah shock dari pria dibangsal sebelahnya. Dalam hati, gadis ayu itu tak berhenti mengutuk takdir yang mempermainkan mereka dengan begitu kejam.

Hening kembali menyapa... Hanya deru nafas yang saling bersahutan ditambah detak jarum jam juga sayup-sayup riuh orang-orang diluar sana yang teredam oleh dinding putih gading yang menaungi mereka.

Nazelo kembali berucap dengan lirih, begitu pelan dan menusuk. Membuat mazaya merasakan gejolak emosi asing yang menggerogoti dirinya hanya karena pertanyaan yang nazelo lontarkan, "percobaan bunuh diri, ehh?"

Ya, mazaya baru saja melakukan percobaan pembunuhan dengan cara membiarkan dirinya tenggelam didalam bathub yag dipenuhi oleh air dan juga bongkahan es. Entah bisa disebut keberuntungan ataupun kesialan bagi mazaya karena tepat saat dirinya sudah menggigil hebat dan menelan banyak cairan, diambang kesadarannya seseorang datang mendobrak pintu kamar mandinya disertai seruan yang tak berhenti memanggil namanya dengan gusar. Menariknya keluar dari dalam bathub lalu membawanya keluar dari sana. Saat itu, rungunya masih mampu mendengar isak tangis juga jeritan pilu ibu, dan adiknya begitu ia merasakan tubuhnya melayang didalam gendongan ayah. Sebelum akhirnya gelap mendominasi dengan dirinya yang berakhir terbaring disalah satu bangsal rumah sakit dengan infus yang menancap dilengannya bersama pria yang tak pernah ia harapkan keberadaannya.

"Kita sama, Nazelo."

Nazelo menggeleng tidak terima, "Kita beda. Gue nggak sebego itu buat bunuh diri, gue cuma dipaksa takdir buat ada diambang kematian."

Alasan nazelo mendekam diruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang khas adalah karena penyakitnya yang kembali kambuh. Nazelo itu spesial, ia begitu kaya sehingga jantungnya pun dipakaikan cincin. Sebuah keadaan yang mana membuat nazelo kehilangan masa kecilnya karena tidak bisa bermain dengan riang sepuasnya selayaknya anak kecil.

Juga sebuah keadaan dimana sewaktu-waktu ia hanya bisa mengandalkan alat-alat untuk membantu menopang kehidupannya.

Juga keadaan dimana membuat ruang lingkupnya hanya berputar disekitar rumah, sekolah dan rumah sakit.

Dan kemarin, tepatnya pada dini hari ia harus kembali merasakan serangan rasa sakit pada jantungnya sehingga ia dilarikan ke rumah sakit dan langsung ditangani oleh Dokter Andi- Dokter yang sudah menanganinya dari dulu. Dokter yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri.

Nazelo tidak bisa berhenti bersyukur begitu ia kembali membuka mata dipagi harinya. Penyakit yang dideritanya bisa membuat dirinya bertemu dengan Tuhan kapan saja. Namun ia tidak merasa putus asa, ia tidak menyerah, ia terus memperjuangkan kehidupannya meski ia hanya memiliki persentase hidup yang sangat rendah, ia yakin tulisan tangan Tuhan itu indah dan ia hanya perlu menikmatinya.

Namun ketika di malam harinya ia melihat perawat memasuki ruang rawatnya sembari mendorong bangsal yang berisikan seorang gadis pucat pasi yang tengah tak sadarkan diri dengan penyebab percobaan bunuh diri membuat dirinya merasa dihantam batu besar. semesta selalu bercanda, ironisnya ketika ia berusaha memperjuangkan kehidupannya yang harus dibantu dengan alat-alat yang begitu memuakan itu, ia harus dihadapkan dengan seseorang yang menyia-nyiakan kehidupannya tanpa berpikir panjang. Dan fakta lain yang menamparnya adalah pelaku percobaan bunuh diri itu adalah sosok yang tidak ingin ia temui lagi. Sosok yang pernah ia bantu untuk bangun.

"Lo mau denger dongeng?" Nazelo menawarkan dongeng dengan cuma-cuma yang ditanggapi cibiran oleh Mazaya.

"Jadi Lo mau nyeramahin Gue dengan kedok dongeng?"

"Gue Cuma butuh teman cerita, dan siapa tau Lo butuh dongeng pengantar tidur buat ngusir pikiran suicide yang ada di otak Lo."

"Hm, not bad. Call!" Mazaya mengangguk menyetujui meski tidak terdengar begitu yakin namun ia merasa tidak ada salahnya mencoba mendengarkan sebuah dongeng yang Ia yakini pasti bagian terberat dikehidupan lelaki yang pernah menasehatinya mengenai kehidupan tempo hari.

"Gue dulu punya temen, cewek. Dia konyol, idiot, tingkahnya kaya orang yang otaknya ilang setengah." baritone itu mengalun dengan merdu, melontarkan pembuka dongeng yang tak pernah ia ceritakan kepada siapapun.

"Gue tebak, Lo jatuh cinta sama temen Lo itu."

Mendengar tebakan Mazaya membuat Nazelo terbahak dengan miris, "Gue terlalu sibuk buat jatuh cinta Mazaya. Kehidupan Gue udah diujung tanduk, Gue bisa dipanggil Tuhan kapan aja."

Meski dilontarkan dengan begitu ringan, Mazaya dapat menangkap nada penuh kesedihan yang dipadukan dengan rasa pasrah yang terdengar menyayat hati. "Okey, maaf. Lanjutin ceritanya." pinta Mazaya berusaha mengalihkan pembicaraan yang disetujui Nazelo dengan senang hati.

"Dia itu cewek teriang yang pernah gue temui. Hidupnya seakan-akan cuma numpang nafas sama ketawa. Tapi faktanya, Gue terlalu bego buat ngertiin Dia."

"Gue terlalu bodoh buat nangkap sinyal minta tolong yang selalu dia lemparin dan berakhir dengan Gue harus kehilangan Dia."

"Dia pergi ninggalin Gue seudah nyemangetin Gue yang baru sadar dari keadaan kritis. Dia ninggalin Gue buat ngelepasin bebannya yang mana bikin luka baru didiri Gue. Luka besar yang nggak pernah kering."

"Yang bisa Gue lakuin Cuma nangis dan nyesel. Tapi Dia nggak pernah kembali. Nggak walaupun Gue nangis kesetanan waktu liat badannya yang penuh darah ditutupin sama kain putih di parkiran gedung Rumah Sakit. Nggak juga waktu Gue ngamuk dipemakaman Dia yang mana bikin Gue jatuh kritis dan nggak sadarin diri selama hamper dua minggu. Dia bener-bener nggak kembali."

Jelaga hitam itu mengalirkan liquid bening meski sang empunya tengah bercerita dengan senyuman. Membuat Mazaya merasa tenggelam dipilu yang tak berujung meski posisinya hanyalah pendengar setia.

Masih dengan menatap wajah pria yang tak kunjung menghentikan tangisnya itu Mazaya bertanya, "Temen Lo kecelakaan?"

Pria itu terkekeh kecil sebelum akhirnya menatap balik karamel Mazaya dengan pasti, "Nggak, Dia milih suicide dengan loncat dari atap gedung rumah Sakit seabis nengokin Gue."

Nafas Mazaya tercekat, netranya tak bisa untuk tidak bergetar ketika jelaga hitam itu menatapnya dengan dalam. Menariknya untuk tenggelam lebih jauh lagi untuk menelusuri semua kesenduan dibalik langit malamnya itu.

"Dia berpikir bunuh diri adalah jalan yang bisa buat semua rasa sakitnya menghilang. Tapi-"

"-nggak ada yang baik-baik aja seudah dia pergi. Nggak dengan Gue terus-terusan merasa menyesal karena nggak bisa jadi sahabat yang baik, nggak dengan Keluarganya yang ngerasa gagal dan kehilangan putri tersayangnya, nggak dengan guru konsultasinya yang merasa nggak pantas menanggung jabatannya lagi. Nggak ada yang baik-baik aja."

"Dia dibutakan oleh kabut sementara dan egois nggak mikirin orang-orang disekitarnya."

Hening kembali melanda. Nazelo memberikan jeda agar Mazaya mampu menangkap maksud tersembunyi yang ada dibalik dongeng masa lalunya, masa kelamnya. "Don't make permanent decision for temporary feelings, Mazaya."

Dan dengan itu, mereka kehilangan harapan awal untuk tidak saling bertemu lagi. Siapa yang tahu jika tanpa sadar pertemuan mereka dibalik bangsal Rumah Sakit adalah awal pertemanan Mereka yang berusaha saling menguatkan.

Kejadian dongeng itu sudah empat bulan yang lalu.

Selama itu pula pertemanan Mereka telah melalui beberapa rintangan. Mazaya tentunya sudah keluar dari Rumah Sakit sejak berbulan-bulan yang lalu. Sedangkan Nazelo beberapa kali masih harus dilarikan ke Rumah Sakit jika sakitnya kambuh. Dan selama Nazelo berbaring di Rumah Sakit pula Mazaya tidak pernah absen untuk menemani Nazelo hingga pukul delapan malam sebelum akhirnya pulang ke rumah.

Seperti sekarang ini,

Setelah penantian tanpa akhir dari Mazaya selama hampir seminggu menunggu Nazelo tersadar dari tidur panjangnya, akhirnya jelaga hitam itu kembali terbuka membuat Mazaya tidak bisa untuk tidak menahan tangisnya. Rasanya begitu melegakan melihat alasannya bertahan sejauh ini mengukir senyum hangat dibibir keringnya.

Mazaya tentunya segera memanggil Dokter Andi untuk memeriksa keadaan Nazelo lebih lanjut. Juga menghubungi Orang Tua Nazelo mengenai putranya yang telah siuman.

"Lo mimpi apa sih sampe tidur lama gitu?! Nggak kangen Gue ya?!" Protes Mazaya sembari menyuapi makan siang Nazelo.

Nazelo membuka mulutnya begitu sendok dipegangan Mazaya sudah berada didepan mulutnya. Membuat aksi menjawab pertanyaan milik Mazaya itu terpaksa harus diundur sementara waktu oleh Nazelo. Ia mengunyah perlahan sembari memperhatikan wajah memberengut Mazaya yang sedari tadi tak berhenti mengomel membuat telinganya merasa panas.

"Gue nggak mimpi apa-apa. Gue aja nggak tau Gue gimana, tapi Gue sempet denger ada yang bilang gini 'Nana, waktunya pulang'. "Elo bukan yang ngomong gitu?" ucap Nazelo disela kunyahannya.

Mazaya mengernyit bingung, "Gue sih tiap jengukin elo bawaannya pengen jitak. Ngapain juga Gue ngomong lembut gitu. Lagian pulang kemana juga?"

Nazelo menampilkan cengirannya sembari menatap ke langit-langit kamar inapnya itu. Pandangannya menerawang, entah apa yang tengah dipikirkannya itu.

"Apa yang dimaksud pulang itu balik ke Tuhan, ya?"

Gerakan tangan Mazaya terhenti begitu mendengar pertanyaan yang dilemparkan oleh pria bertitel sahabatnya itu. Hatinya diremat dan jantungnya berdegup dengan kencang, begitu sakit dan menghadirkan rasa mual. Karamelnya beralih menatap jelaga malam milik Nazelo dengan sorot sendu, "Nazelo, jangan ngomong gitu!"

Nazelo meledakan tawanya, kedua tangannya Ia ulurkan untuk menarik kedua pipi lawan bicaranya kearah yang berlawanan, menghadirkan raut wajah yang lucu dan begitu menggemaskan, "Utututu Yaya marah. Hahaha lagian kan Gue cuma nanya, becanda juga."

"Janji satu hal."

"Apa?" tanya Nazelo sembari menatap Mazaya hangat.

"Jangan pernah nyerah, kita masih punya cita-cita gelar karpet di Burj Khalifa."

Tersenyum tulus, Nazelo menjawab sembari menyilangkan tangan kanannya didepan jantung, "Iya, Mazaya. Janji."

.

Mazaya selalu bertanya-tanya dalam hatinya, kemana akhirnya Ia dan Nazelo berlabuh. Apakah dititik yang membahagiakan yang menghadirkan tangis haru atau malah terdampar disisi dimana raungan serta isakan tangis yang sarat akan kesakitan memenuhi akhir kehidupan mereka. Meski begitu, Mazaya hanya bisa berharap dan terus berdoa. Kemungkinan sekecil apapun akan Ia semogakan untuk yang terbaik bagi Mereka.

Namun, mendapati pertanyaan tentang bagaimana jika yang sarat akan keputus asaan dan begitu menusuk kedalam relung hatinya membuat Ia bertanya-tanya kembali mengenai kemungkinan kecil yang Ia perjuangkan.

Ketika karamelnya mendapati jelaga hitam yang biasanya menyorot dengan tajam namun penuh kehangatan itu kini berganti menjadi sorot kosong yang berteriak mengenai rasa muak, lelah, putus asa juga rasa ingin bebas yang terbelenggu, hati kecilnya bertanya apa berjuang memang pilihan yang benar?

Apa yang tengah Ia perjuangkan berharap untuk diperjuangkan?

Atau lebih jelasnya, Apa Nazelo memang berharap untuk terus berjuang meski diambang kesakitannya?

Karena jujur saja sorot kosong itu begitu mengusik pikirannya dan berakhir membuat Ia tidak fokus dalam melakukan segala hal; memakai krim pembersih muka sebagai pasta gigi saat sikat gigi, menyimpan gawai di dalam lemari pendingin, memakai sabun cair untuk rambut yang mana seharusnya menggunakan shampoo, membuang roti dan memakan bungkusnya, dan masih banyak lagi.

Dan sekarang, saat dimana jelaga malam itu kembali menatapnya dengan sorot yang akhir-akhir ini selalu hadir disana itu membuat dirinya kembali mengalami peperangan batin. Dan peperangan batin itu semakin bertambah begitu ranum pucat milik si jelaga malam itu kembali melontarkan pertanyaan yang merenggut kewarasannya.

"Mati itu sakit nggak, ya?"

Mazaya tidak bisa untuk tidak merasa sakit ketika pertanyaan itu menjadi pukulan telak pada ulu hatinya. Bariton yang lirih itu bak belati yang menikam jantungnya tanpa tedeng aling-aling. Membuatnya hanya bisa menatap sendu pada pemilik jelaga malam itu.

"Kenapa nanya gitu?"

"Penasaran aja. Emangnya Lo nggak kepo? 'Kan kalo Kita tahu, Kita bisa nyiapin diri biar nggak kaget banget. Kan nggak lucu pas Malaikat Pencabut Nyawa datang Kitanya lagi bengek soalnya kaget."

Gadis ayu itu tahu bahwa lawan bicaranya ini tengah melemparkan candaan, namun Ia juga mengerti dengan pasti maksud tersembunyi dibalik candaannya itu. Gue harus nyiapin diri, Mazaya. Kematian bisa datang kapan aja ke Gue.

Mazaya tidak bisa mengelak akan fakta tersirat yang satu itu. Semakin hari, kesehatan Nazelo semakin menurun. Penyakitnya semakin sering kambuh sehingga membuat Nazelo hampir tidak bisa merasakan udara bebas diluar Rumah Sakit. Seakan-akan tidak membiarkan Nazelo untuk bernafas dengan lega barang sejenak. Tak jarang pula si pria jangkung itu mengeluhkan rasa sesak yang menderanya tanpa kenal waktu, membuat Mazaya hanya bisa menangis dalam hati dan berusaha membantu sebisanya.

Mazaya tidak pernah diberi tahu secara gamblang mengenai bagaimana kondisi Nazelo, hanya saja melihat bagaimana sahabatnya lebih sering berada di bangunan denga bau khas obat-obatan dari biasanya membuat gadis itu paham bahwa sahabatnya sangat jauh dari kata baik.

Dan tebakannya itu diperkuat dengan fakta yang Ia dapat saat Ia tak sengaja mencuri-curi dengar percakapan antara Dokter Andi dan Paman Nara-Ayah Nazelo- di lorong Rumah Sakit saat Ia akan kembali ke ruangan Nazelo setelah menuntaskan urusannya di toilet.

"Keadaan Nazelo semakin memburuk, Paman." itulah kalimat pembuka yang dilontarkan oleh seorang pria yang usianya hampir menginjak kepala tiga dalam balutan jas putih dengan stetoskop yang menggantung dilehernya.

Sedangkan dihadapannya, sosok paruh baya yang baru saja Ia panggil Paman itu hanya bisa tersenyum sendu dengan bahu yang merosot. Sosok paruh baya itu paham dengan pasti bahwa keadaan anaknya tidak sedang baik-baik saja namun begitu mendengar fakta itu dilontarkan langsung oleh seorang Dokter yang jauh lebih ahli darinya, rasanya tetap begitu menyakitkan dan menyesakan.

"Penyumbatan pada jantungnya sudah tidak bisa diatasi, Nazelo harus mendapatkan donor jantung secepatnya. Jika tidak, hidupnya tidak akan lama lagi." lanjut Dokter Andi.

"Kemana lagi Kita harus mencari donornya?" tanya Paman Nara dengan lirih dan sarat akan rasa keputus asaan.

"Kita pasti akan menemukannya, Paman. Secepatnya."

Dan Mazaya tidak bisa untuk menahan isak tangisnya. Dengan bahu bergetar dan telapak tangan yang menutupi mulutnya Mazaya melangkah pergi menjauh dari kedua orang yang sedari tadi menjadi fokusnya. Melangkah tak tentu arah hingga berakhir di rooftop Rumah Sakit untuk kemudian meraung disana. Sendirian, untuk waktu yang lama. Rasa frustrasi dan depresi yang sempat melandanya kini kembali menghujamnya tanpa kenal ampun. Menerbangkan kewarasannya dan berakhir dengan dirinya berdiri di depan pagar pembatas.

Lengannya dibuka dengan lebar, merasakan tiupan angin malam yang menerpa kulitnya. Ketika pikirannya dipenuhi oleh rasa ingin bunuh diri yang kembali hadir, disaat itu pula Nazelo muncul dalam otaknya. Bagai kaset yang rusak, semua momen-momen yang telah Ia lalui dengan Nazelo berputar dengan dramatis. Menjadi bongkahan batu yang menamparnya untuk kembali pada kesadaran.

Ya, Ia harus bertahan. Untuk Nazelo.

Mengingat hal itu membuat Mazaya merasakan panas pada netranya. Ia berusaha dengan keras agar liquid bening itu tidak jatuh dari Karamelnya.

"Nana capek?" Mazaya bertanya dengan lirih, membuat jelaga malam yang tadinya menyorot jenaka kini berubah menjadi sorot kosong yang berteriak meminta tolong. Meminta untuk dibebaskan dari belenggu harapan dan perjuangan.

"Banget." baritone itu bergetar. Memperlihatkan bagaimana lelah dan hancurnya pria itu diwaktu bersamaan.

Ranum pucat itu kembali terbuka untuk melanjutkan ucapannya, "Tapi Nana nggak boleh berhenti, 'kan? Nana masih punya harapan walaupun kecil, Nana masih harus nemenin Yaya disaat Yaya jatuh. Nana masih punya janji buat gelar tikar di Burj Khalifa."

Dan dengan itu Mazaya menarik Nazelo kedalam pelukannya. Rembulan menjadi saksi kedua insan itu saling mengungkapkan rasa frustrasinya dalam dekapan hangat juga isak tangis dan raungan pilu.

.

Jantungnya tidak bisa untuk berdetak dengan normal ketika dirinya baru saja dihadapakan dengan kejadian yang mengejutkan. Kejadian dimana Nazelo kembali kambuh dengan kedua lengan mencengkram dadanya sendiri dengan erat sembari bergumam sesak dengan lirih. Rasanya seperti dikejar-kejar crank, berhadapan dengan Voldemort, terjebak didalam Padang Rumput yang tidak berujung, dan masih banyak lagi. Air mata berlomba-lomba menuruni pipi tembamnya saat yang bisa Ia lakukan hanyalah menunggu kedatangan Dokter setelah menekan tombol darurat yang ada didinding atas bangsal Nazelo.

"S-sakithh..." rintih Nazelo lirih masih mencengkram erat dadanya.

"Nana yang kuat. Jangan tidur Nana!" Teriak Mazaya begitu Nazelo hampir kehilangan kesadarannya. Tangan kirinya bergerak memukul-mukul ringan pipi tirus milik Nazelo, berusaha mempertahankan pundi-pundi kesadaran pria pemilik jelaga malam itu.

"Ya-ya, akh sesakh...hhh."

Sayup-sayup rungu Mazaya menangkap suara langkah yang tergesa-gesa bergerak mendekati ruangan yang kini tengah ditempati oleh Mereka berdua. Dalam isak tangisnya, Mazaya berusaha mengulas senyum sembari mendongakan kepala Nazelo untuk menatap kearahnya.

"Berhenti aja, Nana. Janji yang pernah Kamu buat, Aku lepas. Aku nggak mau ngelepasin Kamu tapi Aku juga nggak bisa egois terus meluk Kamu dengan rasa sakit. Kamu berhak bahagia, Nana." Air mata itu kian deras, membasahi hampir seluruh wajah ayu gadis itu. Dengan bibir bergetar, Ia kembali melanjutkan, "Sekarang Kamu nggak usah terbebani sama harapan dan tuntuatan untuk berjuang, kalau menyerah adalah pilihan Kamu, Aku bakal nerima itu dengan lapang dada. Kamu pantas bahagia, Nazelo."

Raut wajah yang tadinya mengernyit menahan sakit kini mengukir senyum tertulus yang pernah Mazaya lihat, terlihat begitu indah dan mampu membuat rasa sakit didalam hatinya semakin menggila, "Te-terima kasihh Ma-zaya. A-aku mau ke-temu sama sahabathku du-lu. Hidup berbahagia, Yaya. Nana nunggu Yaya sukses dari sana. Mari ber-temu di kehidupan beri-kutnya, Mazaya."

Bersamaan dengan pintu yang dibuka kencang yang menghadirkan Dokter Andi dan beberapa perawat, Karamel Mazaya mendapati Jelaga Malam yang setia menemaninya itu perlahan menutup dengan senyum tulus yang masih terukir di wajah pucatnya. Isak tangisnya semakin kencang dengan kedua bahu yang bergetar hebat, Mazaya luruh dengan luka basah yang menganga dihatinya begitu bunyi electrocardiogram mengudara dengan nyaring. Disusul teriakan Dokter Andi yang memberi perintah,

"Siapkan Defibrillator! Atur sebanyak 360 joule."

"Shoot!"

Ditemani guyuran hujan diluar sana, Mazaya hancur tidak bersisa.

.

Waktu tidak pernah berhenti meskipun Kita hanya berdiam diri ditempat.

Meski telah bertahun-tahun terlewati, luka dihatinya masihlah sama. Menganga lebar dan tak kunjung mengering.

Kepergian sosok bak malaikatnya itu telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Bertahun-tahun itu pula, Mazaya tersiksa dalam rasa sakit tak berujung. Terjebak dalam kekosongan yang hampa. Meski begitu, langkah kakinya tidak pernah berhenti meskipun hanya melangkah secara perlahan. Berusaha bangkit dari keterpurukan bukanlah hal yang mudah. Kehilangan Nazelo adalah kehancuran Mazaya untuk kesekian kalinya.

Beberapa hal yang sudah dialaminya dulu meninggalkan beberapa pelajaran. Dari bahagia hingga sedih, dari tawa sampai tangis, Mazaya mengingat semuanya. Bagaimana Ia merasa ditopang ketika Nazelo menemukannya untuk pertama kali saat dirinya berusaha mengakhiri hidup, bagaimana Ia merasa dipukul ketika Nazelo menceritakan pengalamannya yang membuat pikirannya terbuka lebar. Tawa bahagia ketika menghabiskan waktu bersama Nazelo tanpa dibayang-bayangi kematian. Sebelum akhirnya berubah menjadi tangis dalam diam ketika Ia harus menelan fakta pahit mengenai sahabatnya itu, lalu disusul dengan kepergian Nazelo yang masih menyisakan luka dihatinya. Mazaya masih menyimpannya disudut hati terdalamnya, berusaha agar tidak mendominasi hati kecilnya namun juga tidak berusaha membuangnya.

Semua kejadian itu Ia jadikan batu loncatan untuk menjadi sosok yang lebih baik kedepannya. Semua kejadian itu Ia jadikan pengalaman dan motivasi untuk terus maju dan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Setelah berjalan tertatih tak mengenal lelah, Mazaya telah berhasil menyandang gelar sebagai Dokter specialist jantung yang cukup handal. Mengingat bagaimana sakitnya Ia kehilangan Nazelo yang digerogoti penyakit jantung menjadikan Mazaya sebagai dokter yang kukuh mempertahankan nyawa pasiennya. Ia hanya tidak ingin orang lain mengalami apa yang Ia rasakan ketika harus kehilangan sosok terpenting didalam hidupnya.

Kini Mazaya mengerti bagaimana bodohnya dirinya dulu yang tanpa pikir panjang berusaha untuk mengakhiri hidupnya. Rasanya begitu bodoh dan memalukan. Namun disatu sisi Ia merasa bersyukur karena dengan kejadian itulah Ia bertemu dengan Nazelo, si pemilik Jelaga Malam dengan hati Malaikat.

Mungkin benar, bertemu dengan Nazelo adalah awal dari luka yang tak kunjung mengering di hatinya, tapi karena bertemu Nazelo juga Mazaya bisa menjadi sosok yang kuat seperti sekarang ini. Setiap luka yang tertorehkan menjadi satu pelajaran yang harus dipetik dalam kehidupannya. Ia bukan lagi remaja labil yang akan melakukan keputusan permanen untuk perasaan sementara. Tidak. Mazaya yang sekarang adalah Mazaya yang berjalan dengan bahu yang tegak. Beban kehiduapan tertanggung dipundaknya.

Mazaya menatap penuh kasih pada gundukan tanah bertabur bunga dengan batu nisan bertuliskan:

Taken from our lives,

A beloved Son,

great brother and

best friend,

Resting In Peace

Nazelo Aldebaran

18 years old

Born: 13 August 2000

Sebuah batu nisan yang tak pernah Ia absen kunjungi ketika Ia merasa senang, sedih, rapuh ataupun ketika Ia tengah ditimpa oleh suatu yang besar. Nazelo selalu berhasil membuat tangisnya luruh tanpa kenal henti namun sekaligus menguatkan bahunya agar tetap tegak.

Dengan senyum yang terpatri, Mazaya berucap, "Nana, Aku sudah menjadi Dokter. Aku nggak mau orang lain harus ngerasain sakit yang sama kayak Aku pas Kamu harus pergi. Aku mau Orang lain sembuh dan kembali tertawa sama orang terkasihnya, Aku nggak mau Mereka nyerah kayak Kamu."

"Nana, kira-kira Aku bisa nggak ya nemuin orang yang sifatnya bener-bener sama kayak Kamu tanpa harus dipisahin di akhirnya?"

"Sampein salam Aku ke sahabat Kamu. Jagain sahabat Kamu baik-baik, Nana. Jangan ngulangin kesalahan yang sama."

"Nana, terima kasih sudah hadir dihidupku. Knowing you is a gift. Terima kasih sudah jadi alasan aku untuk tetap kuat dan bertahan sejauh ini."

"Nana, semenjak kepergian Kamu didalamku adalah hutan rindu. Aku ngerasa sepi, sedih, sendiri."

"Nana, Aku kangen Kamu." Pada akhirnya air mata itu kembali menerobos benteng pertahanannya. Membuatnya menangisi kepergian Nazelo untuk yang kesekian kalinya.

"Nana, Aku udah sukses. Doain Aku untuk bahagia terus, ya?"

Mazaya bangun dari jongkoknya disamping kuburan Nazelo. Membungkukan tubuh untuk mengelus batu nisan itu penuh kasih, "Nana, Yaya pamit, ya? Nanti Yaya datang lagi bawa cerita gimana Yaya menyelamatkan orang yang sama kayak Nana dulu. Rest in Peace, Nana."

Tungkai rapuh itu berjalan meninggalkan area tempat pemakaman. Meninggalkan segala sedih dan keluh kesahnya bersama dengan batu nisan Nazelo dan kembali menghadapi masa sekarang.

Ya, perjalanannya masih panjang. Dan kehilangan Nazelo tidak harus menjadi bayang-bayang yang membuatnya hanya jatuh terpuruk tanpa berjalan barang selangkah pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun