Mohon tunggu...
Kiki RizkiDwitami
Kiki RizkiDwitami Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Bersekolah di SMAN 1 PADALARANG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rumah untuk Mazaya

22 Februari 2021   07:59 Diperbarui: 22 Februari 2021   08:03 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mazaya tidak bisa mengelak akan fakta tersirat yang satu itu. Semakin hari, kesehatan Nazelo semakin menurun. Penyakitnya semakin sering kambuh sehingga membuat Nazelo hampir tidak bisa merasakan udara bebas diluar Rumah Sakit. Seakan-akan tidak membiarkan Nazelo untuk bernafas dengan lega barang sejenak. Tak jarang pula si pria jangkung itu mengeluhkan rasa sesak yang menderanya tanpa kenal waktu, membuat Mazaya hanya bisa menangis dalam hati dan berusaha membantu sebisanya.

Mazaya tidak pernah diberi tahu secara gamblang mengenai bagaimana kondisi Nazelo, hanya saja melihat bagaimana sahabatnya lebih sering berada di bangunan denga bau khas obat-obatan dari biasanya membuat gadis itu paham bahwa sahabatnya sangat jauh dari kata baik.

Dan tebakannya itu diperkuat dengan fakta yang Ia dapat saat Ia tak sengaja mencuri-curi dengar percakapan antara Dokter Andi dan Paman Nara-Ayah Nazelo- di lorong Rumah Sakit saat Ia akan kembali ke ruangan Nazelo setelah menuntaskan urusannya di toilet.

"Keadaan Nazelo semakin memburuk, Paman." itulah kalimat pembuka yang dilontarkan oleh seorang pria yang usianya hampir menginjak kepala tiga dalam balutan jas putih dengan stetoskop yang menggantung dilehernya.

Sedangkan dihadapannya, sosok paruh baya yang baru saja Ia panggil Paman itu hanya bisa tersenyum sendu dengan bahu yang merosot. Sosok paruh baya itu paham dengan pasti bahwa keadaan anaknya tidak sedang baik-baik saja namun begitu mendengar fakta itu dilontarkan langsung oleh seorang Dokter yang jauh lebih ahli darinya, rasanya tetap begitu menyakitkan dan menyesakan.

"Penyumbatan pada jantungnya sudah tidak bisa diatasi, Nazelo harus mendapatkan donor jantung secepatnya. Jika tidak, hidupnya tidak akan lama lagi." lanjut Dokter Andi.

"Kemana lagi Kita harus mencari donornya?" tanya Paman Nara dengan lirih dan sarat akan rasa keputus asaan.

"Kita pasti akan menemukannya, Paman. Secepatnya."

Dan Mazaya tidak bisa untuk menahan isak tangisnya. Dengan bahu bergetar dan telapak tangan yang menutupi mulutnya Mazaya melangkah pergi menjauh dari kedua orang yang sedari tadi menjadi fokusnya. Melangkah tak tentu arah hingga berakhir di rooftop Rumah Sakit untuk kemudian meraung disana. Sendirian, untuk waktu yang lama. Rasa frustrasi dan depresi yang sempat melandanya kini kembali menghujamnya tanpa kenal ampun. Menerbangkan kewarasannya dan berakhir dengan dirinya berdiri di depan pagar pembatas.

Lengannya dibuka dengan lebar, merasakan tiupan angin malam yang menerpa kulitnya. Ketika pikirannya dipenuhi oleh rasa ingin bunuh diri yang kembali hadir, disaat itu pula Nazelo muncul dalam otaknya. Bagai kaset yang rusak, semua momen-momen yang telah Ia lalui dengan Nazelo berputar dengan dramatis. Menjadi bongkahan batu yang menamparnya untuk kembali pada kesadaran.

Ya, Ia harus bertahan. Untuk Nazelo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun