Petugas berpakaian preman itu lantas menegakkan tubuh Pak Prihatin. Polisi itu memborgolnya sementara petugas lain langsung masuk dalam rumah.
"Perampok? Ibu saya nggak pernah didik saya untuk jadi itu. Perempuan ini fitnah saya Pak Polisi!" protes Pak Prehatin heran bercampur marah. Tanpa ia sadari juga puluhan pasang mata warga yang menatapnya berubah pandang. Kali ini pandangan itu kian gila dengan rutukan tajam sumpah serapah.
"Bawa saja orang gila itu Pak Polisi!"
"Penjarakan saja!"
"Kami sudah muak dengannya!"
Hati Pak Prehatin hancur luluh lantak karena ujaran menyakitkan itu. Sampai demikian kebencian mereka yang jelas-jelas bahwa dirinya belum tentu bersalah.
"Komandan Surya!" panggil satu petugas kepada pria berpakaian preman yang mengunci kedua lengan Pak Prehatin, "dari dalam kami temukan koper berisikan uang cukup banyak dan sepucuk pistol jenis colt di samping tv."
Mimik Pak Prehatin tambah tercekat saat mendengar ada senjata api di rumahnya. Ia berontak dengan sangat.
"Sumpah, Pak. Bukan saya! Sumpah pistol itu saya tak tahu! Ampuni saya, Pak!"
"Jelaskan di kantor, Pak"
"Tapi benar, Pak. Saya bukan pelakunya. Duh gusti, ampuni saya, Pak. Saya mohon!!! Saya mohon!!!!! Tolong, Pak!" ucap Pak Prehatin menggelijang dan menangis. Tidak lain dan bukan sekarang yang ada dalam pikiran Pak Prehatin hanyalah nasib Kinong.