Suara Junay, terpaut 3 tahun. Dia sekarang SMA kelas XI. Junay lewat dengan dua rekannya.
"Tiap magrib kau melamun begitu di tepian sungai. Ibumu sekarang damai. Tak usah lebai berlarut begitu."
Mendadak uap panas mengasap dari tubuh Kinong. Wajahnya yang semula sendu kini gelap merah dengan aura kusumat yang meradang.
"Ibuku tenggelam tanpa pertolongan dari warga sini. Gaya antisimpatik pakai di dalam kota sana, bukan di kampung ini!"
Junay yang kaget dengan sentakan itu lalu menepis dan balik menghardik.
"Nong! Damkar dan Tim Sar saja nggak pernah berani menjamah arus sungai itu. Orang gila mana yang mau terjun ke air deras dengan pusaran begitu, hah! Lagian memang ibumu saja yang gak bisa dibilangi. Aku jadi saksi saat itu. Warga sini sudah beritahu kalau sungai itu tak stabil bahkan kerap berombak. Belum lagi sungai itu berpenunggu! Ibumu saja yang masih nekat mulung!"
"Sekian tahun aku dan bapakku nyebur di sana! Dasar kalian saja yang nggak punya hati!"
"Itu karena kalian nggak waras, Nong!" ejek yang lain. Tawa mencuat menjadi buli dari masa lalu sampai ke pekerjaan.
"Setidaknya Bapakku bukan pengemis atau penodong seperti sekian dari warga sini!"
Beberapa warga usia dewasa tertarik dan membuka pintu karena mendengar suara nyaring dari Kinong.
"Kalau anak tidak diajar tata krama memang begitu!"