Kinong tertarik. Dia yang semula lemas dan posisi duduk sekejab berdiri. Bau mulai kurang manakala sebentar lagi akan tergantikan dengan wangi lembar upahan.
"Siapkan tali agar tak hanyut lagi, Nong."
Permintaan sang ayah segera dipenuhi. Pak Prehatin mulai mengarak-arik tumpukan bambu dan plastik. Membuat jalan, itu yang sedang dipikirkan.
Kinong di belakang menatap objek temuan itu dengan tak lekang. Puluhan mungkin hal begini telah mereka lewati. Awalnya canggung dan jijik. Selepasnya hanya malu yang belum bisa pergi. Sementara ketakutan? Akhh..!!Sudah musnah dalam pikiran.
Pak Prehatin menceburkan diri tanpa ragu. Berserak sampah itu menciptakan ruang lingkar akibat bobot yang dijatuhkan lalu segera merapat dan mengurung. Pak Prehatin hampir hanyut karena arus liar. Belum lagi kadang kakinya serasa ditarik sebuah pusaran. Bertahan dia dengan jejakan kuat dan dorongan lengan seumpama sayap. Dalam posisi mengapung dihimpit aneka kotoran, plastik, dan dedaunan; Pak Prehatin yang yakin dengan kestabilannya lalu beri aba-aba untuk putranya.
"Ku ikat dulu kayak biasa. Baru kau tarik, Nong."
"Ya, Pak" tanggap Kinong memperhatikan objek beku yang mengambang dengan rupa wajah menatap langit. Perempuan, masih muda. Usia kisaran 20 tahun; matanya mendelik dengan mulut menganga. Duh Gusti, batin Kinong tak mengerti.
***
Semburat jingga dari cakrawala senja membayang menyapih di permukaan sungai. Duduk bersila di sebuah kursi dari potongan bambu; Kinong meremang memandangi arus kali yang bertambah pasang itu. Bunyi lantunan pengajian radio menggema melalui langgar. Kinong ingat manakala masih umur 6 tahun, almarhumah sang ibu sering membawanya untuk bersiap salat magrib jika situasi begini. Tidak sekarang, ketiadaan ibunya yang meninggal karena tenggelam di sungai itu menyisakan deretan kasih yang terputus. Sementara rekam kenangan hanya kerap berujung pada hangatnya air mata. Kinong mengusapnya.Â
Derap kaki mendekat. Kinong merasakan itu, matanya lalu beralih ke samping di area jalan semen cor dengan luas hanya setengah meter. Bapak pulang, pikirnya penuh harap.
"Bukan seperti yang kau tunggu, Nong."