Tiga tembakan menuju arah ceburan berdesing memekak bercampur teriakan kecewa keluarga Pak Birma dan raungan tangis Kinong.
Sesaat pada satu titik tembakan, cairan merah tiba-tiba menyembul ke permukaan. Suasana keruh, namun isak tangis Kinonglah yang mendominasi.
***
Azan magrib usai berkumandang sepuluh menitan yang lalu, dengan terisak-isak Kinong duduk di kursi emperan memandang sungai dan jalan berharap kemukjizatan datang. Warga sekitar yang seperti patung pada akhirnya menatap itu dengan rasa bercampur juga. Kediaman mereka kali ini tentu hasil dari gelayutan kemarahan atau kebersalahan sikap. Sekitar rumah Pak Prihatin, dua sampai tiga polisi berpatroli. Kinong menunggu hingga tak terasa Isa telah tiba. Pada akhirnya anak laki-laki itu muak dengan harapan. Kinong mulai menggerutu Tuhan tentang arti keadilan. Tangisannya kian serak dan lirih. Dengan hati hancur lebur dan putus asa, langkah kecil kakinya mengantar Kinong ke dalam rumah. Pintu ia banting saat menutup lalu tubuhnya sekejab amblas tersungkur di lantai. Semua badannya menggigil dan sukmanya panas teriris-iris. Mencoba menahan itu dia duduk melipat kaki dan mengalunginya dengan lengan. Dia tatap arah dapur yang sunyi dengan bersandar pintu. Di lantai tengah ruangan, mata Kinong yang sudah bengkak tiba-tiba tertarik pada satu bungkusan plastik hitam. Segera ia merangkak mendekati bungkusan itu. Dengan kibasan ke arah mata dan hidung yang berair, jemari Kinong mulai memeriksa dan membuka. Sedikit basah tapi terasa hangat mewangi. Matanya lalu membesar menyaksikan kaldu bakso bercampur merahnya gilingan sambal.
---SELESAI---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI