Pak Prehatin mengulum luka. Pikirannya melayang manakala saat sang istri tenggelam dan hanyut, dirinya hanya seorang diri mencebur ke sungai. Mencari berjam sampai berhari-hari. Hal yang paling menyebalkan ialah bahwa manusia pada zaman ini telah mengalami degradasi simpati. Alasan ketakutan kematian dan tuntutan membuat manusia itu hanya terbengong sambil sigap memvideo lalu diviralkan. Tak jarang cara itu digunakan demi mencari nasi.
"Jadilah tega untuk orang tak berperasaan dan jadilah dermawan untuk orang yang berakhlak. Orang yang melantangkan hujatan itu seharusnya malu. Tapi karena dia bukan orang maka itu menjadi hal yang harus kita maklumi. Ingat, Nong. Pantang gonggongan dari mulut mereka untuk masuk dalam deretan agenda hidup kita."
Kinong menyelesaikan makan malamnya dan tanpa diduga dari arah bendungan .
"Dooooorrrrr!!!!!!!! Byuuuuuurrrrrrrrrr!!!"
"Apa Nong!!!?" sergah Pak Prehatin kaget. Telinga sang ayah tajam mendengar seolah bunyi petasan dan diikuti suara sebuah beban berat jatuh. Pak Prehatin mengintip dari jendela disusul Kinong yang memeluk karena ketakutan.
Siluet 4 orang tampak berdiri di atas bendungan. Sorot lampu senter berpendar ke segala arah mengindikasikan suatu hal busuk yang tengah disembunyikan. Pak Prehatin terus amati; rumah-rumah tetangga bisu tanpa rasa ingin tahu. Begitulah manakala gaya kota salah tempat. Kembali fokus. Dari pengalaman yang ia lakoni, batinnya menebak dengan yakin bahwa beban yang jatuh itu adalah manusia.
***
Tebakan Pak Prehatin beralasan manakala keesokan paginya sekitar pukul 9, sebanyak 3 orang berpakaian rapi khas orang kaya berjalan menuju arah rumahnya. Sudah seperti yang lalu-lalu, Pak Prehatin yang merokok di emperan tanpa baju itu pun sangat mahfum dengan hal beginian.
"Sepuluh juta semoga cukup ya, Pak?" kata satu orang perempuan berwajah dingin berkacamata hitam. Di belakangnya, dua pria muda yang Pak Prehatin yakini merupakan anak dari perempuan itu tampak gagah dengan setelan hem hitam.Â
Perempuan itu lalu memperlihatkan derai air mata yang mengurai turun. Mengenakan kaos tangan lateks hitam, perempuan itu menyeka tangisnya. Dua orang di belakang dengan segera menempelkan satu tangan yang juga bersarung hitam itu untuk menenangkan sang bunda. Dari pandangan Pak Prehatin semakin yakinlah bahwa orang kaya di depannya itu sungguh menjaga wibawanya. Mungkin tak sudi bagi mereka untuk terjangkit penyakit atau kotoran lingkungan sekitar. Mau risih juga susah melihat tingkah mereka yang sedikit sinis dalam membaca keadaan kekumuhan ini.
"Kalau boleh tahu mengapa suami Anda nekad begitu?"