Mohon tunggu...
Literasi Kata
Literasi Kata Mohon Tunggu... Bukan Terikat

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sungai yang Meminta Kedatangan

21 Februari 2025   23:47 Diperbarui: 18 Juli 2025   20:44 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Radar Utara edisi Minggu, 12 Januari 2025

"Depresi karena kebangkrutan perusahaan, Pak?" timpal salah satu pria.

Si pria muda segera membuka koper. Tampak deretan rapih dan wangi lembaran ratusan ribu. Bergepok-gepok malahan.

"Saya tidak bermaksud lancang. Tapi alangkah baiknya bapak cek di dalam saja. Apakah uang ini kurang atau cukup."

Melihat gesture ketiganya yang benar-benar alergi dengan debu dan udara sekitar sini sungguh konyol jika malah makin dalam memamerkan kemiskinan Pak Prehatin.

"Cukup, Mas. Saya percaya. Taruh di dalam saja. Maaf, ruangannya berantakan."

Pria muda tersenyum kecil lalu masuk ke dalam rumah untuk menaruh koper.

Pak Prehatin kemudian mengucapkan terima kasih beriring dengan langkah pergi ketiga tamu spesialnya. Sesuai janjinya, siang ini Pak Prehatin akan langsung menyisir sungai untuk menemukan jasad Pak Birma, suami dari perempuan yang menangis tersebut.

Merambat siang sambil melajukan sampan, Pak Prehatin memikirkan Kinong yang belum pulang. Mungkin dia bermain bola saat ini, gumamnya. Melarung sejenak dalam khayalan, uang banyak itu tentunya mampu untuk membuat Kinong beli sepeda baru. Yah selama ini putranya itu hanya berjalan saja saat ke sekolah. Tak lama pikirannya malah digelayuti kembali oleh kejadian malam tadi. Perkelahian antar kelompok kerap juga Pak Prehatin temui. Pengejaran polisi atas pelaku copet juga pernah. Memang intinya bendungan ini seolah menjadi medan magnit dan sungai di sini adalah penari pemikatnya untuk solusi dari perselisihan batin atau antar sesama. Sementara malam tadi walau tak pernah, Pak Prehatin yakin itu suara tembakan. Belum selesai dia membuat deduksi-deduksi recehnya tiba-tiba sampannya malah membentur sesuatu. Matanya yang semula terhanyut kosong ke depan coba ia turunkan pandang. Pak Prehatin setengah berjingkat. 

Sesosok mayat pria cukup tambun yang masih mengenakan pakaian safari dengan warna kulit pucat menyembul tenggelam dan membenturi sampan. Pak Prehatin memperhatikan dengan saksama, pelipis kirinya tampak berlubang dengan diameter seukuran kelereng. Ciri lain ia cocokkan dengan keterangan si wanita. Benar, ini jasad Pak Birma, batin Pak Prehatin yakin. Merasa mayat itu yang dimaksudkan, segera ia ambil tali dan mengikatnya pada bagian dada. Sampan lalu mengarah ke pinggiran. Merasa di tepi adalah tempat yang terjangkau untuk jejakan dalam menaikkan mayat ke sampan, Pak Prehatin cepat terjun. Beginilah jika tidak ada Kinong. Beda sekali. Mengangkut beginian sudah pasti bisa di depan bendungan dengan bantuannya. 

Bersusah payah Pak Prehatin berenang dan lebih tampak berdansa dengan jenazah. Pak Prehatin merangkul punggung mayat itu. Sebuah jeroan otak tiba-tiba melongsor turun dan menyirami wajahnya.

Sialan, umpatnya menahan anyir dan muntah. Pak Prehatin perhatikan ternyata kepala bagian belakang mayat tampak rongga besar seukuran bola kasti. Pasti ini hasil putaran proyektil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun