Cuuhh!!!! Pak Prehatin membuang ludah berharap sisa kelenjar otak itu keluar dari mulutnya. Pada akhirnya dengan lenguhan berat, mayat itu berhasil naik ke sampan.Â
***
Sesuai permintaan keluarga, Pak Prehatin telah meletakkan mayat itu di dalam rumahnya. Yah, begitulah semua menyesuaikan saja. Ada dari keluarga minta diantar ke rumah duka, puskesmas, ada yang minta ditepikan, dan kali ini ada dititipkan di rumah Pak Prehatin untuk dijemput. Hal itu lumrah bagi Pak Prehatin karena menyesuaikan dengan bayarannya juga. Sementara untuk puluhan pasang mata warga yang menatapnya dengan sinis dan jijik, bagi Pak Prehatin itu hanya bagian dari rasa iri dan gengsi saja.
Pria kurus itu menunggu di emperan sambil merokok seperti biasa. Sesekali ia menengok jam. Sudah pukul tiga sore tapi putranya belum pulang. Benar-benar bocah itu keasyikan main, batinnya.
Tak lama tampak tiga orang muncul dari tanggul jalan. Pak Prehatin menguraikan senyum melihat kerabat dari jenazah ini sudah datang. Dia berdiri bersiap menyalami kerabat yang mulai merapat itu. Istri alm. Pak Birma tampak masih sedih dan menangis lagi. Satu anak kandung alm. Pak Birma meraih telepon dan berbicara singkat.
Manakala Pak Prehatin telah keluar emperan, sekonyong-konyong sebuah teriakan muncul.
"Diam di tempat! Angkat tangan! Jangan bergerak!!!!"
Suara tinggi lantang itu disusul dengan derap kaki beberapa pria berbadan tegap yang keluar lalu menerjang dari samping rumah Pak Prehatin.
Satu pria berpakaian urakan langsung menjegal tubuh kurus Pak Prehatin dan memitingnya hingga pipinya menempel coran jalan.
"Ampun, Pak! Ada apa ini! Salah saya apa, Pak!"Â
"Jangan bohong!!!" hardik istri alm. Pak Birma yang seolah hendak mencengkram. Dua anak di belakangnya berusaha menahan dengan wajah gusar dan cemas. "Perampok mana yang mau ngaku, hah!!! Biadap!!!Bangun!!!!!"