Mohon tunggu...
Harits Baihaqi W
Harits Baihaqi W Mohon Tunggu... Clinical Psychology Students

hello, I'm harits, I am active psychology student at Al Azhar University and familiar with work or event planning, and very experienced in guiding events. I am also passionate in the world of health, especially clinical psychology which is my dedication to grow and develop to support, help people who need help with mental and psychological conditions. The opportunity to be part of the agent of change which is Abang None Buku in the field of reading and literacy which is very urgent about the priority of the reading generation. facilitated and supported by the Jakarta Archives and Libraries Office Department.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Overthinking Is The New Normal? Yuk, Kenalan Sama Si Tukang Ribut Di Dalam Kepala

22 Mei 2025   02:00 Diperbarui: 22 Mei 2025   01:19 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
overthinking di malam hari yang tak kunjung usai

oleh: Harits Baihaqi

"Kepala boleh diam, tapi dalamnya ribut terus."
--- Seseorang di tengah malam yang susah tidur

Kamu pernah begini?

Baru aja baring di kasur, gelap sudah menyelimuti kamar, tapi pikiran malah maraton:


"Kenapa tadi aku ngomong begitu?"
"Harusnya aku jawab pakai emoji nggak, ya?"
"Atau... dia marah karena nada suaraku?"
"Harusnya aku ngomong gitu gak, sih?"
"Kenapa semua orang kayaknya bisa ngobrol lancar, cuma aku yang kaku?" 

Kalau iya, tenang. Kamu nggak sendiri. Di era Society 5.0 --- saat teknologi dan kehidupan manusia menyatu --- komunikasi justru bisa jadi tantangan terbesar, terutama komunikasi dengan diri sendiri.

Era Super-Canggih, Tapi Kenapa Kepala Makin Bising?

Society 5.0 adalah era ketika kecerdasan buatan, big data, dan internet of things seharusnya membuat hidup lebih mudah. Tapi justru, banyak orang mengalami kecemasan sosial, krisis identitas, dan komunikasi interpersonal yang menurun.

Kenapa?

1. Terlalu banyak informasi 'Noise' Digital, terlalu sedikit refleksi.
Notifikasi WA belum dibalas, scroll TikTok lihat mantan nikah, terus baca komentar netizen yang saling serang. Pikiran jadi penuh racun yang bikin kita overthinking 24/7. Kita dibanjiri berita, notifikasi, opini, bahkan standar kebahagiaan di media sosial. Semua itu bikin kepala penuh. Kita jadi ragu bicara, takut salah, dan akhirnya... memilih diam sambil ribut di dalam pikiran.

notifikasi whatsapps membuatku jengah
notifikasi whatsapps membuatku jengah

2. Tekanan untuk selalu tampil sempurna.
Kita terbiasa menunjukkan "versi terbaik" di media sosial. Tapi karena terlalu sering pakai topeng digital, kita jadi canggung saat harus tampil apa adanya di dunia nyata.

3. Budaya Selalu Harus Produktif
Kalau lagi rebahan, muncul rasa bersalah. Kalau nggak bisa komunikasi efektif, merasa gagal jadi "manusia modern". Kita jadi keras ke diri sendiri, dan itu berdampak ke cara kita berkomunikasi ke orang lain.

4. Tidak terbiasa mengelola emosi sendiri.
Komunikasi yang sehat bukan sekadar bisa menyampaikan pesan ke orang lain, tapi juga tentang bisa mendengarkan dan memahami diri sendiri. Dan ini yang makin jarang dilatih karena surfing medsos.

am i enough?
am i enough?

Dampaknya? Lebih Besar dari yang Kita Sangka

Overthinking bukan cuma bikin kamu susah tidur. Kalau dibiarkan, ia bisa:

  • Menurunkan kepercayaan diri saat berkomunikasi

  • Menghambat keintiman dalam hubungan sosial

  • Menimbulkan kecemasan sosial dan burnout

  • Menciptakan kesalahpahaman karena komunikasi tidak jujur

  • Percakapan jadi basa-basi, hubungan jadi kosong.

  • Kecemasan sosial meningkat, bahkan di kalangan introvert dan ekstrovert.

  • Self-esteem drop karena merasa selalu 'kurang' dibanding versi ideal di kepala sendiri.

jangka panjang, ini bisa menimbulkan rasa kesepian dan keterasingan --- bahkan di tengah keramaian dunia digital.

Solusinya? Ayo Latih Lagi Komunikasi Diri

Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kamu lakukan:

mengurai benang yang kusut di dalam kepala
mengurai benang yang kusut di dalam kepala

1. Journaling atau "Self-Talk Time"

Luangkan 10 menit setiap hari untuk menulis atau bicara pada diri sendiri. Bukan karena kamu gila, tapi justru ini tanda kamu peduli. Tanyakan, "Apa yang aku rasakan hari ini?" atau "Kenapa aku terganggu dengan kejadian tadi?"

2. Kurangi Paparan Digital yang Tidak Perlu

Unfollow akun-akun yang membuatmu membandingkan diri secara tidak sehat. Follow konten yang membangun, edukatif, dan menginspirasi.

3. Ikut Pelatihan Komunikasi Emosional

Sekarang sudah banyak pelatihan atau kelas psikologis yang fokus pada mindfulness, emotional awareness, dan active listening. Ini bisa membantumu mengelola emosi dan membangun hubungan yang lebih jujur dan kuat.

4. Buat Lingkaran Kejujuran

Ciptakan ruang aman, meskipun kecil. Satu teman yang bisa kamu ajak bicara tanpa topeng jauh lebih berarti daripada seratus kenalan yang cuma basa-basi.

just me and myself
just me and myself

Menjadi Manusia, Bukan Robot

Di era Society 5.0, menjadi manusia justru jadi hal paling penting. Mesin bisa menggantikan pekerjaan kita. Tapi yang tak bisa diganti adalah kemampuan kita untuk merasa, memahami, dan terhubung secara tulus --- dengan orang lain, dan dengan diri sendiri.

Jadi, kalau kepalamu sedang ribut, berhentilah sebentar. Dengarkan.

Karena kadang, satu-satunya yang kita butuhkan bukan solusi... tapi pengakuan bahwa kita boleh lelah, boleh salah, dan tetap berharga.



 Kamu bisa bagikan artikel ini jika merasa suara-suara dalam kepala perlu teman. Karena sesungguhnya, kita semua sedang belajar tenang di tengah dunia yang terlalu bising.

Referensi:

Prasetya, A. R. (2022). Overthinking: Mengurai Pikiran yang Kusut di Era Serba Canggih. Psikopedia Online. https://www.psikopedia.id/overthinking/

Smith, J. A., & Osborn, M. (2015). Interpretative phenomenological analysis as a useful methodology for research on the lived experience of overthinking. Qualitative Research in Psychology, 12(3), 211--223. https://doi.org/10.1080/14780887.2014.957265 

Miller, J. (2021, August 3). The mental cost of overthinking in the digital age. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com

Kurniawan, H. (2022). Overthinking dan kesehatan mental remaja digital. Jurnal Psikologi Udayana, 10(2), 115--123. https://doi.org/10.24843/JPU.2022.v10.i02.p03

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun