oleh: Harits Baihaqi
"Kepala boleh diam, tapi dalamnya ribut terus."
--- Seseorang di tengah malam yang susah tidur
Kamu pernah begini?
Baru aja baring di kasur, gelap sudah menyelimuti kamar, tapi pikiran malah maraton:
"Kenapa tadi aku ngomong begitu?"
"Harusnya aku jawab pakai emoji nggak, ya?"
"Atau... dia marah karena nada suaraku?"
"Harusnya aku ngomong gitu gak, sih?"
"Kenapa semua orang kayaknya bisa ngobrol lancar, cuma aku yang kaku?"Â
Kalau iya, tenang. Kamu nggak sendiri. Di era Society 5.0 --- saat teknologi dan kehidupan manusia menyatu --- komunikasi justru bisa jadi tantangan terbesar, terutama komunikasi dengan diri sendiri.
Era Super-Canggih, Tapi Kenapa Kepala Makin Bising?
Society 5.0 adalah era ketika kecerdasan buatan, big data, dan internet of things seharusnya membuat hidup lebih mudah. Tapi justru, banyak orang mengalami kecemasan sosial, krisis identitas, dan komunikasi interpersonal yang menurun.
Kenapa?
1. Terlalu banyak informasi 'Noise' Digital, terlalu sedikit refleksi.
Notifikasi WA belum dibalas, scroll TikTok lihat mantan nikah, terus baca komentar netizen yang saling serang. Pikiran jadi penuh racun yang bikin kita overthinking 24/7. Kita dibanjiri berita, notifikasi, opini, bahkan standar kebahagiaan di media sosial. Semua itu bikin kepala penuh. Kita jadi ragu bicara, takut salah, dan akhirnya... memilih diam sambil ribut di dalam pikiran.
2. Tekanan untuk selalu tampil sempurna.
Kita terbiasa menunjukkan "versi terbaik" di media sosial. Tapi karena terlalu sering pakai topeng digital, kita jadi canggung saat harus tampil apa adanya di dunia nyata.
3. Budaya Selalu Harus Produktif
Kalau lagi rebahan, muncul rasa bersalah. Kalau nggak bisa komunikasi efektif, merasa gagal jadi "manusia modern". Kita jadi keras ke diri sendiri, dan itu berdampak ke cara kita berkomunikasi ke orang lain.
4. Tidak terbiasa mengelola emosi sendiri.
Komunikasi yang sehat bukan sekadar bisa menyampaikan pesan ke orang lain, tapi juga tentang bisa mendengarkan dan memahami diri sendiri. Dan ini yang makin jarang dilatih karena surfing medsos.
Dampaknya? Lebih Besar dari yang Kita Sangka
Overthinking bukan cuma bikin kamu susah tidur. Kalau dibiarkan, ia bisa:
Menurunkan kepercayaan diri saat berkomunikasi
Menghambat keintiman dalam hubungan sosial
Menimbulkan kecemasan sosial dan burnout
Menciptakan kesalahpahaman karena komunikasi tidak jujur
Percakapan jadi basa-basi, hubungan jadi kosong.
Kecemasan sosial meningkat, bahkan di kalangan introvert dan ekstrovert.
Self-esteem drop karena merasa selalu 'kurang' dibanding versi ideal di kepala sendiri.
jangka panjang, ini bisa menimbulkan rasa kesepian dan keterasingan --- bahkan di tengah keramaian dunia digital.
Solusinya? Ayo Latih Lagi Komunikasi Diri
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kamu lakukan:
1. Journaling atau "Self-Talk Time"
Luangkan 10 menit setiap hari untuk menulis atau bicara pada diri sendiri. Bukan karena kamu gila, tapi justru ini tanda kamu peduli. Tanyakan, "Apa yang aku rasakan hari ini?" atau "Kenapa aku terganggu dengan kejadian tadi?"
2. Kurangi Paparan Digital yang Tidak Perlu
Unfollow akun-akun yang membuatmu membandingkan diri secara tidak sehat. Follow konten yang membangun, edukatif, dan menginspirasi.
3. Ikut Pelatihan Komunikasi Emosional
Sekarang sudah banyak pelatihan atau kelas psikologis yang fokus pada mindfulness, emotional awareness, dan active listening. Ini bisa membantumu mengelola emosi dan membangun hubungan yang lebih jujur dan kuat.
4. Buat Lingkaran Kejujuran
Ciptakan ruang aman, meskipun kecil. Satu teman yang bisa kamu ajak bicara tanpa topeng jauh lebih berarti daripada seratus kenalan yang cuma basa-basi.
Menjadi Manusia, Bukan Robot
Di era Society 5.0, menjadi manusia justru jadi hal paling penting. Mesin bisa menggantikan pekerjaan kita. Tapi yang tak bisa diganti adalah kemampuan kita untuk merasa, memahami, dan terhubung secara tulus --- dengan orang lain, dan dengan diri sendiri.
Jadi, kalau kepalamu sedang ribut, berhentilah sebentar. Dengarkan.
Karena kadang, satu-satunya yang kita butuhkan bukan solusi... tapi pengakuan bahwa kita boleh lelah, boleh salah, dan tetap berharga.
 Kamu bisa bagikan artikel ini jika merasa suara-suara dalam kepala perlu teman. Karena sesungguhnya, kita semua sedang belajar tenang di tengah dunia yang terlalu bising.
Referensi:
Prasetya, A. R. (2022). Overthinking: Mengurai Pikiran yang Kusut di Era Serba Canggih. Psikopedia Online. https://www.psikopedia.id/overthinking/
Smith, J. A., & Osborn, M. (2015). Interpretative phenomenological analysis as a useful methodology for research on the lived experience of overthinking. Qualitative Research in Psychology, 12(3), 211--223. https://doi.org/10.1080/14780887.2014.957265Â
Miller, J. (2021, August 3). The mental cost of overthinking in the digital age. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com
Kurniawan, H. (2022). Overthinking dan kesehatan mental remaja digital. Jurnal Psikologi Udayana, 10(2), 115--123. https://doi.org/10.24843/JPU.2022.v10.i02.p03
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI