Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Menulis adalah usaha Meng-ada-kan ku

Mencari aku yang senantiasa tidak bisa kutemui

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sejauh Mana Batas Wewenang MK dan DPR dalam Menentukan Threshold?

23 Agustus 2024   16:58 Diperbarui: 23 Agustus 2024   17:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh Kasus Konflik antara Keputusan Politik di DPR dan Putusan Hukum di MK Terkait Threshold

Salah satu contoh nyata dari konflik antara keputusan politik DPR dan putusan hukum MK terkait threshold adalah kasus uji materi terhadap Presidential Threshold yang diajukan ke MK pada tahun 2020. DPR menetapkan Presidential Threshold sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara nasional melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Threshold ini dianggap perlu oleh DPR untuk memastikan bahwa calon presiden yang maju memiliki dukungan politik yang kuat dan dapat memastikan stabilitas pemerintahan.

Namun, ketentuan ini diuji di MK oleh beberapa pihak yang berpendapat bahwa threshold tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan membatasi hak partai politik kecil untuk mencalonkan kandidat presiden. Dalam putusannya, MK menolak gugatan tersebut dan menyatakan bahwa Presidential Threshold yang ditetapkan oleh DPR sah secara konstitusional. MK berargumen bahwa threshold diperlukan untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan hanya kandidat yang memiliki dukungan kuat yang dapat maju dalam pemilihan presiden.

Meskipun dalam kasus ini MK memutuskan untuk tidak membatalkan ketentuan yang dibuat oleh DPR, kasus ini menunjukkan bagaimana potensi konflik dapat muncul ketika keputusan politik di DPR diuji di ranah hukum oleh MK. Keputusan DPR didasarkan pada pertimbangan politik, sementara MK melakukan pengujian berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan konstitusi. Konflik ini bisa berpotensi menjadi lebih kompleks jika MK memutuskan untuk membatalkan ketentuan threshold yang ditetapkan DPR.

Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan konflik antara kedua lembaga ini, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam mengenai batas-batas wewenang masing-masing. DPR harus memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat sesuai dengan konstitusi, sementara MK harus tetap menjaga independensinya dalam menguji konstitusionalitas undang-undang tanpa melampaui wewenangnya sebagai lembaga yudikatif.

Perspektif Hukum dan Politik: Siapa yang Berwenang Menentukan Threshold?

Threshold atau ambang batas dalam pemilihan umum merupakan instrumen penting dalam sistem politik Indonesia. Threshold ini berfungsi untuk menyaring partai politik atau kandidat yang dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan, baik di tingkat parlemen, presiden, maupun kepala daerah. Namun, perdebatan muncul mengenai siapa yang seharusnya memiliki wewenang untuk menentukan threshold ini---apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi politik, atau Mahkamah Konstitusi (MK) dari sisi hukum konstitusi.

DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki peran penting dalam merumuskan undang-undang yang mengatur sistem pemilu, termasuk menetapkan ambang batas. Argumen utama yang mendukung wewenang DPR dalam menentukan threshold adalah bahwa DPR terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis, sehingga keputusan yang diambil oleh DPR mencerminkan kehendak rakyat. Threshold, dalam pandangan ini, adalah bagian dari kebijakan politik yang dibuat untuk memastikan stabilitas pemerintahan dan efektivitas representasi politik di parlemen.

Di sisi lain, MK memiliki tugas untuk menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan konstitusi. Pendukung peran MK dalam menentukan threshold berargumen bahwa ambang batas yang terlalu tinggi dapat melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, MK perlu memiliki wewenang untuk menilai dan, jika perlu, membatalkan threshold yang dianggap tidak konstitusional.

Perdebatan ini sering kali berujung pada pertanyaan fundamental tentang batas-batas wewenang antara kekuasaan politik di DPR dan kekuasaan hukum di MK. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kedua lembaga ini harus bekerja dalam keseimbangan, tanpa adanya dominasi satu pihak atas pihak lain. Namun, realitas politik sering kali membuat garis pemisah ini menjadi kabur, terutama ketika kepentingan politik bertemu dengan isu-isu konstitusional.

Pendapat Ahli Hukum dan Politik tentang Batasan Wewenang Kedua Lembaga Ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun