Pena bukan sekadar alat, namun tinta nurani yang membuka gerbang masa depan kehidupan.
Meski dalam lembar kertas lusuh, ia tetap mampu menorehkan pesannya,
nilai tak terletak pada kertas, namun pada apa yang tertulis.
Pena murah sekalipun, akan mampu melukiskan harapan tinggi anak bangsa.
Jika pena itu mahal, sepertinya hanya akan ditulis dalam lembaran emas tentang gengsi dan citra diri.
Pena mulia, tak peduli harga, ukuran, ataupun tinta yang mengisinya.
Selama ia melahirkan nurani dalam cinta dan martabat membangun masa depan,
ia akan selalu dikenang oleh mereka jiwa-jiwa yang dilahirkan.
Meski dalam kertas lusuh sekalipun,
pena tak peduli untuk tetap menorehkan tintanya,
berharap goresannya mampu mewujudkan mimpi anak-anaknya.
Saat sang penakar datang berteriak lantang,
'Pena itu tak berharga, tulisan itu tak bernilai, sia-sia tak bermakna,
tak perlu kuberikan kertas baru, apalagi mahal, jadi beban,
lebih baik kertas ini kuberikan pada mereka yang bertinta emas'.
Apakah ini narasi nurani kita?
Apakah pengabdian diukur dengan tetes tinta yang terbuang?
Siapa yang membuat kertas ini lusuh?
Apakah cahaya tak bermakna saat dalam gelap?
Kesalahan besar manusia bukanlah saat berhitung,
namun saat manusia gagal melihat nilai sebuah jiwa yang mampu memberikan nilai pada jiwa lain,
hanya mengukur hidup dengan materi, menakar jiwa dengan angka.
Jika kau tak mampu menuliskan kata mutiara, setidaknya kau tak sebut goresanku sia-sia.
Jika kau tak mampu memberikanku kertas berharga, setidaknya kau tak buat lusuh kertasku.
Tak perlu kau pertanyakan apa yang kutulis,
sebab esok hari, mereka akan mempertanyakan nuranimu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI