Baru-baru ini kita dihebohkan adanya perbedaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR dalam menyikapi threshold Pilkada. MK memutuskan untuk menurunkan threshold yang telah ditentukan sebelumnya oleh DPR. DPR pun kemudian menanggapi keputusan MK tersebut dengan melakukan revisi UU Pilkada. Revisi ini sempat disetujui Badan Legislatif DPR yang sedianya mau dibawa ke sidang Musyawarah DPR. Namun karena sidang tersebut batal disebabkan tidak memenuhi kuorum maka RUU tersebut tidak jadi disahkan dan UU Pilkada mengikuti perubahan threshold yang sudah diputuskan MK. Tentu saja konflik seperti ini tidak kita harapkan ke depannya. Namun bagaimana menghindarinya? Apa sebenarnya batas wewenang DPR dan MK dalam menentukan threshold ini?
Dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, terdapat beberapa jenis threshold atau ambang batas yang diterapkan untuk memastikan bahwa kandidat atau partai politik yang berpartisipasi memenuhi persyaratan tertentu guna mendapatkan kursi atau posisi dalam pemerintahan. Threshold ini mencakup Parliamentary Threshold (ambang batas parlemen), Presidential Threshold (ambang batas pencalonan presiden), dan Regional Election Threshold (ambang batas pemilihan kepala daerah).
Parliamentary Threshold adalah ambang batas minimum suara yang harus diperoleh partai politik dalam pemilihan legislatif agar dapat memperoleh kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Tujuannya adalah untuk menyaring partai-partai yang memiliki dukungan kuat dan representatif, serta mencegah fragmentasi politik di parlemen. Parliamentary Threshold saat ini ditetapkan sebesar 4% dari total suara sah secara nasional .
Presidential Threshold, di sisi lain, adalah ambang batas minimum yang harus dipenuhi oleh partai politik atau koalisi partai untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ambang batas ini ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan legislatif sebelumnya. Saat ini, Presidential Threshold di Indonesia ditetapkan sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional. Ambang batas ini bertujuan untuk memastikan bahwa hanya calon dengan dukungan signifikan yang dapat mencalonkan diri, sehingga stabilitas politik dapat terjaga.
Regional Election Threshold atau ambang batas pemilihan kepala daerah mirip dengan Presidential Threshold, namun diterapkan pada tingkat daerah. Ambang batas ini menentukan jumlah minimal dukungan yang harus diperoleh pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur, bupati, atau walikota.
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki peran sentral dalam menetapkan threshold ini melalui pembuatan undang-undang. Sebagai lembaga legislatif, DPR bertugas merumuskan dan mengesahkan peraturan perundang-undangan, termasuk aturan mengenai threshold dalam pemilu. Keputusan-keputusan ini mencerminkan pertimbangan politik yang dibuat oleh para wakil rakyat untuk menjaga stabilitas dan representasi politik di berbagai tingkat pemerintahan.
Namun, peran DPR dalam menentukan threshold tidak terlepas dari pengawasan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang yang dibuat oleh DPR, termasuk aturan mengenai threshold. Jika ada pihak yang merasa bahwa undang-undang terkait threshold bertentangan dengan konstitusi, mereka dapat mengajukan uji materi ke MK. MK kemudian akan mengevaluasi apakah ketentuan threshold yang ditetapkan oleh DPR sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan hak-hak dasar yang diatur di dalamnya . Dengan demikian, keseimbangan antara peran politik DPR dan fungsi hukum MK sangat penting untuk menjaga integritas dan keadilan dalam sistem pemilu di Indonesia.
Pengertian dan Fungsi Threshold dalam Sistem Pemilu
Threshold dalam sistem pemilihan umum adalah ambang batas minimum perolehan suara yang harus dicapai oleh partai politik atau calon tertentu agar dapat lolos atau mendapatkan kursi dalam lembaga legislatif atau mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota. Threshold ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya partai politik atau calon dengan dukungan yang signifikan yang dapat berpartisipasi dalam proses pemerintahan. Di Indonesia, terdapat beberapa jenis threshold yang diterapkan dalam pemilu, yaitu Parliamentary Threshold, Presidential Threshold, dan Regional Election Threshold.
- Parliamentary Threshold adalah ambang batas suara minimum yang harus diperoleh oleh partai politik agar dapat masuk ke parlemen. Di Indonesia, Parliamentary Threshold ini diterapkan untuk menyeleksi partai-partai politik yang berhak mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tujuannya adalah untuk mengurangi fragmentasi politik di parlemen dengan membatasi jumlah partai yang bisa menguasai kursi, sehingga tercipta stabilitas politik dan pemerintahan yang lebih efektif. Saat ini, ambang batas parlemen di Indonesia ditetapkan sebesar 4% dari total suara sah nasional.
- Presidential Threshold merupakan ambang batas suara yang harus dipenuhi oleh partai politik atau koalisi partai untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Threshold ini bertujuan untuk memastikan bahwa pasangan calon presiden yang maju dalam pemilu memiliki dukungan politik yang cukup kuat, sehingga mampu menghadirkan pemerintahan yang stabil dan kuat. Di Indonesia, Presidential Threshold ditetapkan sebesar 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari total suara sah secara nasional.
- Regional Election Threshold atau ambang batas pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, adalah ketentuan serupa yang diterapkan di tingkat daerah. Ambang batas ini menentukan seberapa besar dukungan politik yang harus dimiliki oleh calon kepala daerah agar bisa maju dalam pemilihan. Tujuannya sama, yaitu untuk memastikan bahwa hanya calon dengan dukungan kuat yang berpartisipasi, sehingga dapat mencegah potensi instabilitas politik di daerah.
Dampak dari Penerapan Threshold terhadap Sistem Politik dan Representasi di Parlemen
Penerapan threshold dalam sistem pemilu memiliki dampak yang signifikan terhadap struktur politik dan representasi di parlemen. Parliamentary Threshold, misalnya, dapat memperkuat stabilitas politik dengan mengurangi jumlah partai politik di parlemen. Ketika hanya partai-partai yang memiliki dukungan kuat yang berhasil lolos ambang batas, parlemen menjadi lebih terfokus dan koalisi pemerintahan lebih mudah terbentuk. Namun, dampak negatifnya adalah partai-partai kecil yang mewakili kepentingan khusus atau kelompok minoritas mungkin tersisih, sehingga mengurangi keragaman representasi di parlemen.
Presidential Threshold juga memiliki implikasi yang signifikan. Dengan menetapkan ambang batas yang tinggi, threshold ini memastikan bahwa hanya pasangan calon dengan dukungan yang luas yang bisa maju dalam pemilihan presiden. Ini membantu mencegah terjadinya pemecahan suara yang berlebihan dan memfasilitasi terbentuknya pemerintahan yang lebih stabil dan kuat. Namun, hal ini juga dapat membatasi jumlah calon yang dapat maju, mengurangi pilihan bagi pemilih, dan meningkatkan dominasi partai-partai besar.
Sementara itu, Regional Election Threshold mempengaruhi dinamika politik di tingkat lokal. Dengan menetapkan ambang batas tertentu, threshold ini dapat mencegah munculnya calon-calon yang tidak kompeten atau tidak memiliki dukungan yang cukup signifikan. Namun, seperti halnya threshold lainnya, hal ini juga bisa mengurangi partisipasi politik dan mereduksi keragaman calon yang tersedia bagi pemilih di daerah.
Secara keseluruhan, penerapan threshold dalam pemilu dirancang untuk menjaga stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan, namun juga membawa tantangan dalam hal representasi politik. Oleh karena itu, penentuan dan penerapan threshold harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan inklusivitas dalam sistem pemilu
Wewenang DPR dalam Menentukan Threshold
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia memiliki peran krusial dalam proses legislasi, salah satunya adalah menetapkan peraturan terkait sistem pemilu, termasuk threshold atau ambang batas. Dalam konteks ini, DPR berfungsi sebagai lembaga legislatif yang memiliki kewenangan untuk merumuskan, membahas, dan mengesahkan undang-undang. Fungsi utama DPR dalam hal ini adalah membuat peraturan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan bahwa proses pemilu berjalan secara adil dan efisien.
Threshold dalam pemilu di Indonesia mencakup berbagai jenis, seperti Parliamentary Threshold, Presidential Threshold, dan Regional Election Threshold. Ketiga jenis threshold ini ditetapkan melalui undang-undang yang dibuat oleh DPR dengan tujuan untuk menyaring partai politik dan calon yang dapat berpartisipasi dalam pemerintahan. Threshold ini dianggap penting untuk mengurangi fragmentasi politik dan memudahkan pembentukan koalisi pemerintahan yang stabil.
Contoh Legislasi DPR Terkait Penentuan Threshold dalam Berbagai Pemilihan
DPR telah menetapkan berbagai undang-undang yang mengatur threshold dalam pemilu. Berikut adalah beberapa contoh legislasi yang relevan:
- Parliamentary Threshold: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa partai politik harus memperoleh minimal 4% dari total suara sah nasional untuk dapat menempatkan wakilnya di DPR. Ketentuan ini diterapkan dalam pemilu legislatif untuk menyaring partai-partai yang memiliki dukungan luas dan representatif.
- Presidential Threshold: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 juga mengatur Presidential Threshold, yang menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki setidaknya 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Threshold ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya kandidat dengan dukungan politik yang kuat yang bisa maju dalam pemilihan presiden.
- Regional Election Threshold: Dalam konteks pemilihan kepala daerah, DPR juga menetapkan threshold melalui undang-undang yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Misalnya, dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang ingin mencalonkan kepala daerah harus memiliki minimal 20% kursi di DPRD atau 25% dari suara sah dalam pemilu legislatif di daerah tersebut.
Argumen Politik yang Mendasari Penetapan Threshold oleh DPR
Penetapan threshold oleh DPR didasari oleh beberapa pertimbangan politik yang bertujuan untuk menjaga stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Salah satu argumen utama adalah mengurangi fragmentasi politik di parlemen. Tanpa adanya threshold, ada kemungkinan terlalu banyak partai politik yang masuk ke parlemen, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam membentuk koalisi pemerintahan yang solid. Dengan adanya threshold, hanya partai politik yang memiliki dukungan signifikan yang dapat masuk ke parlemen, sehingga proses pengambilan keputusan di parlemen dapat berlangsung lebih lancar dan stabil.
Selain itu, Presidential Threshold dirancang untuk memastikan bahwa calon presiden dan wakil presiden memiliki dukungan politik yang kuat dan dapat diandalkan. Threshold ini mencegah kandidat yang hanya didukung oleh sebagian kecil partai atau suara untuk maju, yang dapat memecah suara dan menyebabkan instabilitas politik. Dengan demikian, DPR berupaya untuk memastikan bahwa kandidat yang maju dalam pemilihan presiden adalah mereka yang benar-benar memiliki potensi untuk memimpin negara dengan dukungan yang luas.
Regional Election Threshold juga memiliki tujuan serupa, yaitu untuk memastikan bahwa hanya calon kepala daerah yang memiliki dukungan signifikan yang bisa maju dalam pemilihan. Ini bertujuan untuk menghindari munculnya calon-calon yang tidak kompeten atau tidak memiliki dukungan politik yang cukup, yang bisa menyebabkan ketidakstabilan di tingkat lokal.
Secara keseluruhan, penetapan threshold oleh DPR mencerminkan upaya legislatif untuk menciptakan sistem politik yang stabil dan representatif, dengan menyeimbangkan antara inklusivitas dan efektivitas pemerintahan.
Wewenang MK dalam Menguji Threshold
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia merupakan lembaga yudisial yang memiliki peran penting dalam menjaga supremasi konstitusi. Salah satu tugas utama MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam konteks pemilu, MK memiliki wewenang untuk menguji apakah aturan-aturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk threshold atau ambang batas dalam pemilihan umum, sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
Pengujian undang-undang oleh MK dilakukan melalui proses judicial review, di mana pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh suatu undang-undang dapat mengajukan uji materi ke MK. MK kemudian menilai apakah undang-undang tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian, bertentangan dengan UUD 1945. Jika MK menemukan adanya ketidaksesuaian dengan konstitusi, maka undang-undang atau pasal yang diujikan dapat dibatalkan atau diubah.
Kasus-Kasus di Mana MK Telah Memutuskan Terkait Threshold
MK telah beberapa kali memutuskan kasus-kasus yang berkaitan dengan threshold dalam pemilu, baik itu Parliamentary Threshold, Presidential Threshold, maupun Regional Election Threshold. Salah satu kasus penting terkait dengan Parliamentary Threshold terjadi pada tahun 2018, ketika sekelompok partai politik kecil mengajukan uji materi terhadap ketentuan ambang batas parlemen yang ditetapkan sebesar 4% dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa penetapan Parliamentary Threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945, dengan alasan bahwa aturan tersebut dibuat untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan mencegah fragmentasi politik di parlemen. MK memandang bahwa threshold diperlukan untuk memastikan efektivitas pemerintahan dan kestabilan politik, sehingga penetapan ambang batas tersebut sah dan konstitusional .
Kasus lain terkait dengan Presidential Threshold terjadi pada tahun 2020, ketika beberapa pihak mengajukan uji materi terhadap ketentuan Presidential Threshold yang mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. MK memutuskan bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena dianggap sebagai upaya untuk memastikan calon presiden yang maju memiliki dukungan politik yang kuat, yang esensial bagi stabilitas politik nasional.
Analisis Mengenai Apakah Penentuan Threshold Termasuk dalam Wewenang MK atau Hanya Sebatas Pengujian Konstitusionalitasnya
Penentuan threshold dalam pemilu, pada dasarnya, merupakan kewenangan legislatif yang berada di tangan DPR. DPR memiliki tugas untuk merumuskan undang-undang yang mengatur berbagai aspek pemilu, termasuk menentukan ambang batas yang harus dicapai oleh partai politik atau calon tertentu. Proses ini melibatkan pertimbangan politik yang mendalam, termasuk keinginan untuk menciptakan stabilitas politik dan mencegah terjadinya fragmentasi dalam lembaga legislatif atau eksekutif.
Namun, meskipun penentuan threshold merupakan kewenangan DPR, MK memiliki peran penting dalam mengawasi agar undang-undang yang ditetapkan tersebut tidak melanggar konstitusi. MK tidak berwenang untuk menentukan atau menetapkan threshold secara langsung, tetapi memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas dari threshold yang ditetapkan oleh DPR. Dengan kata lain, MK dapat membatalkan atau merevisi ketentuan threshold jika terbukti bahwa aturan tersebut melanggar prinsip-prinsip konstitusi, seperti hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan atau prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam menjalankan tugasnya, MK harus memastikan bahwa aturan threshold yang ditetapkan oleh DPR tidak membatasi secara tidak proporsional hak politik warga negara atau menghambat representasi politik secara adil. Oleh karena itu, meskipun penetapan threshold adalah wewenang DPR, pengawasan terhadap konstitusionalitasnya tetap berada di bawah yurisdiksi MK. Ini adalah bentuk check and balance antara kekuasaan legislatif dan yudikatif yang bertujuan untuk menjaga keadilan dan kesesuaian dengan konstitusi dalam sistem pemilu di Indonesia.
Batas Wewenang: Politik di DPR vs. Hukum di MK
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah dua lembaga negara dengan fungsi yang berbeda namun saling melengkapi dalam sistem demokrasi Indonesia. DPR memiliki fungsi utama sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang, termasuk menetapkan berbagai aturan dalam sistem pemilu seperti threshold atau ambang batas. Keputusan DPR dalam hal ini bersifat politis, karena melibatkan pertimbangan untuk menciptakan stabilitas politik, mendorong efektivitas pemerintahan, dan mewujudkan representasi yang lebih baik di parlemen.
Di sisi lain, MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi, dengan tugas utama menguji konstitusionalitas undang-undang yang dibuat oleh DPR. MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat atau mengubah undang-undang, tetapi memiliki wewenang untuk membatalkan atau merevisi undang-undang jika terbukti bertentangan dengan konstitusi. Peran MK lebih bersifat hukum, yaitu menjaga agar semua peraturan yang dibuat oleh DPR tidak melanggar hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.
Batasan antara fungsi politik DPR dan fungsi hukum MK seharusnya jelas, namun dalam praktiknya, keduanya seringkali bersinggungan, terutama ketika kebijakan politik yang diambil DPR diuji di MK. Ketika hal ini terjadi, MK berperan sebagai pengadil yang menentukan apakah kebijakan tersebut sesuai dengan konstitusi. Meskipun demikian, MK tidak boleh menggantikan peran DPR sebagai pembuat kebijakan, melainkan hanya memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak melanggar konstitusi.
Potensi Tumpang Tindih Wewenang antara DPR dan MK dalam Penentuan Threshold
Threshold dalam pemilu adalah salah satu isu yang kerap memunculkan potensi tumpang tindih wewenang antara DPR dan MK. DPR, sebagai pembuat undang-undang, menetapkan threshold dengan berbagai pertimbangan politik, termasuk untuk mencegah fragmentasi partai politik di parlemen dan memastikan hanya partai atau calon dengan dukungan signifikan yang bisa berkompetisi. Namun, penetapan threshold ini sering kali diuji di MK oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atau menganggap bahwa aturan tersebut tidak konstitusional.
Potensi tumpang tindih terjadi ketika MK, dalam pengujian undang-undang, menemukan bahwa ketentuan threshold yang ditetapkan DPR melanggar prinsip-prinsip konstitusi. Dalam situasi seperti ini, MK dapat membatalkan atau merevisi ketentuan tersebut, yang berarti keputusan politik DPR dapat dibatalkan oleh putusan hukum MK. Hal ini bisa memicu ketegangan antara kedua lembaga, karena DPR mungkin merasa bahwa keputusan politik yang diambilnya telah dibatalkan oleh MK, sementara MK hanya menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi.
Sebagai contoh, dalam kasus Parliamentary Threshold, MK pernah menegaskan bahwa threshold adalah sah secara konstitusional, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, ketentuan threshold lainnya bisa dibatalkan jika terbukti bertentangan dengan konstitusi. Ketegangan semacam ini menunjukkan pentingnya adanya keseimbangan dan pemahaman yang jelas mengenai batas wewenang masing-masing lembaga.
Contoh Kasus Konflik antara Keputusan Politik di DPR dan Putusan Hukum di MK Terkait Threshold
Salah satu contoh nyata dari konflik antara keputusan politik DPR dan putusan hukum MK terkait threshold adalah kasus uji materi terhadap Presidential Threshold yang diajukan ke MK pada tahun 2020. DPR menetapkan Presidential Threshold sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara nasional melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Threshold ini dianggap perlu oleh DPR untuk memastikan bahwa calon presiden yang maju memiliki dukungan politik yang kuat dan dapat memastikan stabilitas pemerintahan.
Namun, ketentuan ini diuji di MK oleh beberapa pihak yang berpendapat bahwa threshold tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan membatasi hak partai politik kecil untuk mencalonkan kandidat presiden. Dalam putusannya, MK menolak gugatan tersebut dan menyatakan bahwa Presidential Threshold yang ditetapkan oleh DPR sah secara konstitusional. MK berargumen bahwa threshold diperlukan untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan hanya kandidat yang memiliki dukungan kuat yang dapat maju dalam pemilihan presiden.
Meskipun dalam kasus ini MK memutuskan untuk tidak membatalkan ketentuan yang dibuat oleh DPR, kasus ini menunjukkan bagaimana potensi konflik dapat muncul ketika keputusan politik di DPR diuji di ranah hukum oleh MK. Keputusan DPR didasarkan pada pertimbangan politik, sementara MK melakukan pengujian berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan konstitusi. Konflik ini bisa berpotensi menjadi lebih kompleks jika MK memutuskan untuk membatalkan ketentuan threshold yang ditetapkan DPR.
Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan konflik antara kedua lembaga ini, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam mengenai batas-batas wewenang masing-masing. DPR harus memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat sesuai dengan konstitusi, sementara MK harus tetap menjaga independensinya dalam menguji konstitusionalitas undang-undang tanpa melampaui wewenangnya sebagai lembaga yudikatif.
Perspektif Hukum dan Politik: Siapa yang Berwenang Menentukan Threshold?
Threshold atau ambang batas dalam pemilihan umum merupakan instrumen penting dalam sistem politik Indonesia. Threshold ini berfungsi untuk menyaring partai politik atau kandidat yang dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan, baik di tingkat parlemen, presiden, maupun kepala daerah. Namun, perdebatan muncul mengenai siapa yang seharusnya memiliki wewenang untuk menentukan threshold ini---apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi politik, atau Mahkamah Konstitusi (MK) dari sisi hukum konstitusi.
DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki peran penting dalam merumuskan undang-undang yang mengatur sistem pemilu, termasuk menetapkan ambang batas. Argumen utama yang mendukung wewenang DPR dalam menentukan threshold adalah bahwa DPR terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis, sehingga keputusan yang diambil oleh DPR mencerminkan kehendak rakyat. Threshold, dalam pandangan ini, adalah bagian dari kebijakan politik yang dibuat untuk memastikan stabilitas pemerintahan dan efektivitas representasi politik di parlemen.
Di sisi lain, MK memiliki tugas untuk menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan konstitusi. Pendukung peran MK dalam menentukan threshold berargumen bahwa ambang batas yang terlalu tinggi dapat melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, MK perlu memiliki wewenang untuk menilai dan, jika perlu, membatalkan threshold yang dianggap tidak konstitusional.
Perdebatan ini sering kali berujung pada pertanyaan fundamental tentang batas-batas wewenang antara kekuasaan politik di DPR dan kekuasaan hukum di MK. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kedua lembaga ini harus bekerja dalam keseimbangan, tanpa adanya dominasi satu pihak atas pihak lain. Namun, realitas politik sering kali membuat garis pemisah ini menjadi kabur, terutama ketika kepentingan politik bertemu dengan isu-isu konstitusional.
Pendapat Ahli Hukum dan Politik tentang Batasan Wewenang Kedua Lembaga Ini
Para ahli hukum dan politik memiliki pandangan yang beragam mengenai batasan wewenang antara DPR dan MK dalam menentukan threshold. Di satu sisi, banyak ahli hukum konstitusi yang berpendapat bahwa penetapan threshold adalah urusan legislatif, karena melibatkan kebijakan politik yang harus ditentukan oleh wakil-wakil rakyat di DPR. Menurut Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, tugas MK adalah menguji konstitusionalitas undang-undang, bukan untuk ikut serta dalam pembuatan kebijakan yang bersifat politis seperti penetapan threshold. Asshiddiqie menegaskan bahwa MK harus berhati-hati agar tidak melampaui batas wewenangnya dan mencampuri ranah kebijakan yang seharusnya menjadi domain DPR.
Sebaliknya, beberapa ahli politik dan aktivis demokrasi berpendapat bahwa MK harus lebih proaktif dalam mengawasi threshold yang ditetapkan oleh DPR, terutama jika aturan tersebut dianggap mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dalam pemilu. Mereka berpendapat bahwa MK memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak politik warga negara dari kebijakan yang potensial menguntungkan partai-partai besar dan menghambat partisipasi politik yang lebih luas. Dalam pandangan ini, threshold yang terlalu tinggi bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi politik yang bertentangan dengan prinsip representasi yang adil.
Para ahli politik juga menunjukkan bahwa konflik antara DPR dan MK terkait threshold sering kali mencerminkan ketegangan yang lebih luas antara kekuasaan politik dan kekuasaan hukum dalam sistem demokrasi Indonesia. Mereka berargumen bahwa solusi terbaik adalah dengan memperjelas batas-batas wewenang kedua lembaga ini melalui dialog konstitusional yang terbuka dan transparan, serta melalui reformasi undang-undang yang memungkinkan adanya mekanisme check and balance yang lebih efektif .
Secara keseluruhan, perdebatan mengenai siapa yang berwenang menentukan threshold dalam pemilu menggambarkan kompleksitas hubungan antara kekuasaan politik dan hukum di Indonesia. Meskipun DPR memiliki wewenang untuk menetapkan threshold sebagai bagian dari kebijakan politik, MK tetap memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi oleh negara.
Rekomendasi untuk Menghindari Konflik Antara MK dan DPR
Dalam rangka menghindari potensi konflik antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penentuan dan pengujian threshold, sangat penting untuk mengembangkan mekanisme yang jelas dan tegas. Mekanisme ini harus memastikan bahwa kedua lembaga tersebut dapat menjalankan fungsinya masing-masing tanpa tumpang tindih atau saling mengganggu.
Pertama, perlu ada ketentuan yang lebih eksplisit dalam undang-undang mengenai peran DPR dalam menetapkan threshold. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi terhadap undang-undang pemilu atau undang-undang yang terkait, dengan menetapkan prosedur dan kriteria yang jelas dalam penetapan threshold. Dalam proses ini, DPR harus mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, partai politik, dan akademisi, untuk memastikan bahwa threshold yang ditetapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Kedua, MK perlu memperkuat perannya sebagai lembaga penguji konstitusionalitas undang-undang dengan tetap menjaga independensi dan tidak terlibat dalam proses politik. MK harus fokus pada pengujian apakah ketentuan threshold yang dibuat oleh DPR sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam UUD 1945, seperti kesetaraan, keadilan, dan demokrasi. Untuk itu, perlu ada pedoman yang lebih rinci bagi MK dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang yang berkaitan dengan threshold, termasuk penentuan standar yang jelas untuk menilai konstitusionalitasnya.
Perlunya Regulasi yang Memperjelas Batas Wewenang Politik dan Hukum untuk Mencegah Konflik antara DPR dan MK
Regulasi yang memperjelas batas wewenang antara DPR dan MK sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya konflik. Regulasi ini harus mengatur dengan rinci mengenai lingkup wewenang DPR dalam menentukan threshold, sekaligus memberikan panduan yang jelas bagi MK dalam menguji konstitusionalitas threshold yang ditetapkan oleh DPR.
Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan menyusun undang-undang khusus yang mengatur mengenai hubungan antara DPR dan MK dalam konteks pengambilan keputusan terkait threshold. Undang-undang ini harus mencakup prosedur penetapan threshold oleh DPR, mekanisme pengujian oleh MK, serta prosedur penyelesaian sengketa jika terjadi perbedaan pandangan antara kedua lembaga tersebut.
Selain itu, perlu ada penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk melakukan mediasi dan fasilitasi jika terjadi sengketa terkait threshold. Lembaga-lembaga ini dapat berperan sebagai penengah yang memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya legal tetapi juga adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
Pentingnya Dialog antara Kedua Lembaga untuk Mencapai Konsensus dalam Masalah yang Tumpang Tindih
Dialog antara DPR dan MK menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan. Kedua lembaga ini harus saling menghormati peran dan fungsinya masing-masing serta mengedepankan dialog terbuka dalam menyelesaikan isu-isu yang tumpang tindih, seperti penentuan threshold.
Untuk itu, diperlukan forum atau mekanisme tetap yang memungkinkan perwakilan DPR dan MK bertemu secara reguler untuk membahas isu-isu terkait pemilu dan legislasi lainnya. Forum ini bisa diinisiasi oleh Presiden atau lembaga-lembaga negara lainnya yang memiliki peran koordinatif, seperti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dalam forum dialog ini, kedua lembaga harus berkomitmen untuk mencapai konsensus dalam setiap isu yang dibahas. Konsensus ini penting untuk menjaga stabilitas politik dan hukum di Indonesia, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.
Dialog yang intensif dan berkelanjutan juga dapat membantu memperkuat hubungan antara DPR dan MK, mengurangi potensi konflik di masa depan, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh kedua lembaga tersebut selalu berada dalam koridor hukum dan demokrasi yang sehat.
Ringkasan tentang Peran dan Batasan Wewenang MK dan DPR dalam Penentuan Threshold
Dalam sistem demokrasi Indonesia, penentuan threshold atau ambang batas pemilu menjadi salah satu isu krusial yang melibatkan peran dan wewenang dua lembaga penting: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK). DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki tanggung jawab untuk merumuskan undang-undang yang mencakup penetapan berbagai jenis threshold, seperti Parliamentary Threshold, Presidential Threshold, dan Regional Election Threshold. Penetapan threshold oleh DPR dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan, serta memastikan representasi yang lebih proporsional di parlemen.
Namun, peran DPR ini tidak berjalan tanpa batas. MK memiliki fungsi krusial dalam menguji konstitusionalitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR, termasuk dalam hal threshold. MK bertugas untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh DPR tidak melanggar prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, seperti kesetaraan, keadilan, dan hak-hak politik warga negara. Melalui uji materi yang dilakukan MK, undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dapat dibatalkan atau direvisi, termasuk aturan tentang threshold yang dinilai diskriminatif atau menghalangi hak politik rakyat.
Dengan demikian, batasan wewenang DPR dalam penentuan threshold terletak pada prinsip konstitusionalitas yang diawasi oleh MK. Di satu sisi, DPR memiliki hak untuk menetapkan kebijakan politik, namun di sisi lain, MK memiliki kewenangan untuk mengkaji dan memastikan bahwa kebijakan tersebut sejalan dengan nilai-nilai konstitusi.
Pentingnya Keseimbangan antara Kekuasaan Politik dan Hukum dalam Sistem Demokrasi
Keseimbangan antara kekuasaan politik yang dipegang oleh DPR dan kekuasaan hukum yang diemban oleh MK adalah elemen esensial dalam sistem demokrasi. Ketika DPR menjalankan fungsinya sebagai pembuat undang-undang, ia harus melakukannya dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan politik sering kali dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan dan kepentingan partai politik. Di sinilah peran penting MK sebagai penjaga konstitusi, yang memastikan bahwa keputusan politik tidak menyimpang dari norma-norma hukum yang dijunjung tinggi.
Keseimbangan ini, jika dijaga dengan baik, dapat mencegah terjadinya konflik antara DPR dan MK serta meminimalisir potensi ketidakadilan dalam sistem politik. Setiap lembaga harus bekerja dalam batasan wewenang yang telah ditentukan oleh konstitusi dan hukum, dengan tetap menghormati peran satu sama lain. Dalam konteks penentuan threshold, keseimbangan ini berarti DPR memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan sesuai dengan aspirasi politik, sementara MK berfungsi sebagai pengawas yang memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar konstitusi.
Kesimpulannya, agar sistem demokrasi Indonesia tetap kuat dan berfungsi dengan baik, keseimbangan antara kekuasaan politik dan hukum harus selalu dijaga. DPR dan MK harus terus berkolaborasi dengan cara yang saling menghormati peran masing-masing, guna menciptakan kerangka hukum dan politik yang adil dan konstitusional.***MG
___________________________________
Referensi
- Ali, M. (2020). Sistem Pemilu dan Threshold di Indonesia. Jakarta: Penerbit.
- Asshiddiqie, Jimly. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Penerbit.
- Asshiddiqie, Jimly. (2020). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM. Jakarta: Penerbit Konstitusi Press.
- Baswedan, R. (2018). Politik dan Hukum dalam Demokrasi Indonesia. Jakarta: Penerbit.
- Budiardjo, Miriam. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Crouch, Harold A. (2010). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
- Fatkhurohman, M. (2019). Peran DPR dalam Penetapan Undang-Undang Pemilu. Yogyakarta: Penerbit.
- Hadjon, Philipus M. (1997). Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dalam Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga.
- Harijanti, S.D. (2020). Pengujian Konstitusionalitas UU di MK: Studi Kasus Threshold Pilkada. Bandung: Penerbit.
- Mahfud MD, Mohammad. (2010). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2018). Putusan MK tentang Parliamentary Threshold, Nomor 53/PUU-XV/2017. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2020). Putusan MK tentang Presidential Threshold, Nomor 55/PUU-XVII/2019. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI