Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Lyotard dan Narasi Besar

16 November 2022   09:05 Diperbarui: 20 Juni 2023   15:46 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Narasi Besar, G20, dan Kita (Sumber gambar : detik.com)

Misalnya, psikologi, sosiologi, dan filsafat yang dihubungkan dengan peristiwa kekerasan psikis, sosial, dan seksual atau narasi kehidupan fakir miskin, petani atau nelayan pada akhirnya menjadi 'narasi lokal'. 

Berbeda dengan penilaian atas performativitas mengambil rujukan dari ilmu pengetahuan eksakta. Sehingga kebenaran akan diuji kesahihannya tanpa harus melalui performavitas ilmu pengetahuan.   

Dari fungsi naratif untuk menjelaskan 'Narasi Besar' menolak a priori dan narasi sejarah, seperti kapitalisme dan komunisme. Katanya, di sini komunisme adalah salah satu 'Narasi Besar' diambang keruntuhan.

Rangkaian

Dalam konteks Indonesia, misalnya, dulu ada istilah 'kapitalisme kroni', selanjutnya tidak menemukan karakternya yang baru di era reformasi menuju satu narasi yang bersifat terbuka dan terpencar.

Sebagaimana isyarat Lyotard, bahwa setelah penolakan atas narasi besar, ia berganti dan bertukar dengan narasi kecil yang bersifat lokal. Dari sini, syarat kesahihan diskursif atas pemikiran membangun relasi antara 'pengetahuan' dan 'kuasa', pernyataan tanda sebagai syarat realitas dan penjelasan naratif sebagai syarat kesahihan yang menemukan jejak-jejak lain dibalik peristiwa. Dulu, peringatan deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) berlangsung pada 22 Juli 2019. Pengibaran bendara pada peringatan deklarasi PRD tersebut sebagai bagian narasi politik Indonesia dengan rangkaian narasi yang memiliki keterkaitan dengan mitos tentang "sayap Kiri" dan "sayap Kanan" yang membujur dari  syarat kesahihan diskursif atas pemikiran diikuti oleh syarat peristiwa atas performavitas pengetahuan naratif telah terbentuk sebelumnya.

Narasi yang dibangun oleh PRD adalah narasi mitis bersifat ideologis. PRD sebagai representasi mitos tentang "sayap Kiri" dipertentangkan dengan ideologi negara maupun ideologi politik yang berdasarkan keagamaan tertentu sebagai representasi mitos tentang "sayap Kanan." Sesungguhnya, semuanya itu adalah bentuk totalitas atas pikiran yang merasuk diam-diam secara individual dan institusional di zaman Orde Baru. Ada sesuatu yang cukup menarik, diantaranya peristiwa krisis kepemimpinan nasional dibarengi oleh krisis moneter global sebelumnya yang didahului oleh krisis legitimasi yang dimainkan oleh narasi besar yang mendelegitimasi ilmu pengetahuan (ideologi dunia yang memiliki sintesa dialektis terhadap pengetahuan ilmiah atau narasi keilmiahan).

Pernyataan naratif menandai kehadiran kembali PRD dengan 'proses (re)produksi ingatan' melalui Deklarasi-simbol bendera yang tentu saja masih berpengaruh pada cara berpikir masyarakat Indonesia kontemporer. Deklarasi dan pengibaran bendera menjadi jejak dari pengetahun naratif sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari a priori sejarah yang menggema kembali dalam keriu-rendahan dan penolakan padanya. 

Totalitas dan represivitas selama ini telah menghantui pemikiran kita. Bukankah totalitas dibalik cara berpikir orang-orang dari masa lalu menentang perbedaan, keterbukaan, dan keragaman?

Dilansir dari laman berdikarionline.com (23/07/2019) mengangkat judul Menjawab 2 Narasi Usang Orba Tentang PRD. Setidak-tidaknya terdapat dua narasi yang menopang performavitas pengetahuan naratif atas penilaian secara a priori sejarah. Pertama, mengenai PRD sebagai partai terlarang dan kedua, PRD adalah Komunis Baru atau Neo-PKI.  

Kini, bukankah PKI dengan palu aritnya menjadi isu yang laris diobral oleh elite? Bagi pihak yang malas berpikir sudah tentu menyatakan sebaliknya. Lihatlah sendiri, ada gejala-gejala kebangkitan PKI! Lalu, dimana bukti-bukti kuat jika ada gejala-gejala kebangkitannya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun