Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Lyotard dan Narasi Besar

16 November 2022   09:05 Diperbarui: 20 Juni 2023   15:46 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Narasi Besar, G20, dan Kita (Sumber gambar : detik.com)

Satu dari sekian tokoh yang mengembangkan genre pemikiran filosofis-posmodernisme Perancis adalah Jean-Francois Lyotard. Dia bersama filsuf Derrida, Foucault, dan Deleuze yang sekaligus dianggap tokoh berpengaruh dalam gerakan pemikiran postrukturalis dan posmodernisme.

Minat besarnya pada filsafat dipengaruhi para filsuf besar sebelumnya, seperti Nietzsche, Kant, dan Marx. Nama terakhir ini menjadi hal yang menarik di Perancis, yang ditandai dengan model pemikiran Marxis sekitar dekade 50 dan 60-an. 

Lyotard dengan lainnya jelas-jelas bukan seorang Marxis, melainkan seorang aneh untuk menjadi ahli fenomenologi, yang memaafkan dan tanpa menafikan Marxisme. 

Entahlah bagaimana tangan dingin Lyotard mampu menganyam dua aliran pemikiran antara fenomenologis dan Marxisme sebagai titik tolak untuk membangun suatu metode khas melampaui pemikiran struktural. 

Hal itu juga merupakan satu langkah dari titik tolak fenomenologi menuju arah postrukturalisme dan posmoderisme. Secara esensial, langkah itu melika-likukan permasalahan bahasa.

Tidak terlalu jauh dari titik tolak. Permasalahan bahasa di ruang siber dipicu oleh ngebetnya fenomenologi saat ia tidak seiring lagi dengan analisis struktural menjadi syarat berlangsungnya pelepasan relasi langsung antara subyek dengan dunia di luar dirinya.

Pengetahuan dan Penandaan

Narasi teks bergumul dan berakhir dalam ketidakpastian makna, yang pada akhirnya permainan bebas tanda bisa terpenuhi. Sebagaimana telah dipahami, bahwa bahasa telah dilepaskan relasinya dari dunia luar. Sehingga apapun yang terjadi tidak ada lagi hal-hal mutlak dari dirinya. Ketidakhadiran hak istimewa pada makna hingga akhirnya menjebloskan dalam stabilitas maknanya itu sendiri.

Lyotard juga percaya pada bahasa yang tidak lagi stabil berhadapan pada sebuah struktur yang bersamaan untuk melepaskan dirinya dari rujukan tertentu. 

Penyebaran makna ke seluruh arah membuat sebuah perangkap tekstualnya dari representasi kesadaran. 

Sebagaimana obyek konsumsi, setiap orang akan terperangkap dalam lubang teks dan dalam pemikiran itu sendiri.

Pemikiran modern mengandalkan pada petanda transendental yang menggelikan dan capaian pengetahuan serba kalkulatif. Tetapi, di bawah kerangka filsafat metanaratif Lyotard, petanda transendental dan capaian serba kalkulatif ditata ulang. Hal lain juga tidak bisa disangkal, bahwa subyek (nalar, lisan) diusahakan tidak turut campur untuk menstabilkan makna dengan menampilkan pemikiran fenomenologis belaka.

Mengikuti pasangan fenomenologi dan metanaratif, Lyotard telah menemukan titik terang setelah makna baru dan berbeda mengakhiri subyek yang berbicara lantaran kepleset dalam makna sudah kadaluwarsa seiring narasi teks pengetahuan yang kehilangan makna transendentalnya. 

Keterbatasan dirinya justeru lebih memperhatikan permasalahan melebihi kekuatan ilusi karena permainan bebas tanda yang mensolidkannya. Kita lantas menemukan kesulitan untuk memahami 'Narasi Besar' (Grand Narrative) sebagai akibat dari kekacauan nalar atau kerapuhan modernitas. Kita seakan-akan menemukan pemikiran baru mengenai narasi-narasi kehidupan di waktu yang lain akan dijalani, luput dari rezim narasi besar yang melegitimasi ilmu pengetahuan.

Setelah melepaskan beban struktural sebelumnya, maka tibalah kita pada hubungan yang menandakan lika-liku kehidupan dan pemikiran tentang 'realitas baru' dengan apa yang disebut posmodernisme yang tidak hanya berhilir-mudik di Perancis, Eropa atau Amerika, tetapi juga di Indonesia. Lebih mujur lagi, apabila kita mengetahui, bahwa posmodernisme mengucapkan 'selamat tinggal' pada modernisme, sehingga kita menemukan puing-puing dari rasionalitas di tengah sebuah narasi yang kuat dari yang lain dalam kehidupan. 

Narasi besar mungkin lebih sulit dibayangkan, dimana narasi yang lain dibawahnya bertebaran dimana-mana. Narasi yang satu akan muncul dan lenyap bersamaan narasi lain yang mengelilingi di sekitar kita. Ia muncul dari segala arah dan lenyap entah kemana.

Kita tidak mampu menangkap apa makna perbincangan mengenai narasi besar dan seluruh kewaspadaan kita pada posmodernisme. 

Meskipun kata-kata itu penting, kita malah seringkali menggerutu tentang istilah narasi besar dan relasi-relasi yang membentuknya. Ataukah kita masih perlu mengajukan kembali pertanyaan mengenai narasi besar.

Untuk itu, saya  meringkaskan catatan tidak penting. Saya kembali pada istilah narasi besar secara terbuka bagi yang lain untuk menyanggah dan bahkan meninggalkannya. Karena saya dan Anda tidak mampu menjelaskan secara rinci, kecuali kesempatan ini hanya dijelaskan secara garis-garis besarnya.

***

Apa itu narasi besar? Menurut sebagian pendapat ahli, bahwa narasi besar adalah suatu cerita besar dengan segala alur, retakan, celah, dan patahan memiliki legitimasi dalam kehidupan dan pemikiran di bawah rezim universalitas, penyatuan, dan totalitas. 

Begitulah, sosok Lyotard telah melegitimasikan dirinya melalui suatu gagasan baru mengenai penolakan atas narasi besar bersifat total, universal, dan ambigu dari ilmu pengetahuan dan kebenaran lainnya.

Tetapi, tatkala kita mengetahui sesuatu dipandang sebagai hal yang menarik dalam struktur pemikiran, justeru tidak memiliki kemampuan untuk menangkap makna yang berbeda-beda dari narasi yang dibangun. 

Orang-orang bisa melihat lebih jeli terhadap perubahan yang beragam ternyata menghasilkan diskursus ilmu pengetahuan, yang memperkenalkan bentuk dan konsep, kata-kata dan benda-benda baru di balik krisis.

Karena itu, narasi besar telah direnggut melalui totalitas bentuk-bentuk rasionalnya sendiri. Saya melihat suatu narasi besar dari rasionalitas yang pada titik terakhir menjadi sesuatu yang menarik, sekalipun tidak masuk akal. 

Semuanya itu, ia bukanlah inti dari permasalahan yang muncul di tengah kehidupan. Jadi, saya misalnya, tidak berhasrat untuk membicarakan hal-hal yang membuat pemikiran rekan-rekan ngobrol di luar jam belajar akan terjatuh dalam penafsiran tunggal dan perumusan kebenaran yang berlaku secara universal.

Lebih lanjut, itulah mengapa perubahan menurut rekan-rekan diskusi menyebutnya sebagai sebuah kekusutan pikiran. Akibatnya, rasionalitas dipercayai sebagai satu-satunya narasi diantara narasi lain tidak memiliki alasan yang sama dalam melihat perubahan. 

Anehnya, saya bersama rekan-rekan ngobrol tidak melihat secerca cahaya di balik pemikiran modern untuk menghadapi permasalahan, seperti penggunaan teknologi yang berpengaruh pada pengetahuan.

Syarat dari perubahan zaman tidak lantas menjadi alasan satu-satunya untuk membiarkan diri kita larut dari permasalahan. Ia tidak lebih dari teater kehidupan dimana kita berada dalam pemikiran rasional, dari waktu yang sama saja dengan waktu yang lain. 

Rekan-rekan ngobrol juga memikirkan sesuatu sambil tidak menunggu waktu yang tidak sama dengan waktu yang lain membuat gambaran terpecah berulang-ulang bersama dengan titik kerapuhan dalam kehadiran. Kita pantas menghadapi kenyataan yang akan terjadi. 

Karena itu, rekan-rekan ngobrol santai masih curiga pada narasi besar berada di persimpangan jalan, tanpa rujukan nilai.

Di luar diskursus filosofis Barat, perubahan cara pandang menjadi sesuatu yang baru terjadi di abad ke-20. Terutama tema-tema modernitas dan hal-hal yang melampauinya dengan prestasi dari ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai campur tangan bahasa, teks yang dibentuk sibernetika, pembacaan dan penafsiran atas tulisan dan data pengetahuan yang disimpan. 

Suatu zaman dimana kita melihat dominasi dan legitimasi ilmu pengetahuan sebagai narasi besar, yang menandai keretakan dirinya secara pelan-pelan setelah dievalusi ulang ternyata tidak mengalami perubahan darinya, kecuali sisi permukaannya.

Dalam urutan waktu kemunculan ilmu pengetahuan dari seseorang yang meringkas bahasa ilmiah, sastra, narasi, dan sebagainya tidak bisa memberikan kebenaran tunggal yang kelak menjadi perbincangan melalui bahasa lisan sebagai asumsi. Salah satu ciri dari ilmu pengetahuan adalah kemampuannya untuk melakukan identifikasi. 

Lyotard  dalam The Posmodern Condition: A Report on Knowledge (2001) menggunakan kategori ucapan yang didefinisikan sebagai istilah aturan, yang menentukan sifat-sifat dan penggunaannya dalam 'permainan bahasa'. Laksana sebuah permainan catur ditentukan oleh sejauh mana mereka menggunakan seperangkat aturan dengan memindahkan benda-benda sebagai cara yang tepat.

Suatu penggunaan benda-benda yang diidentifikasi melalui ilmu pengetahuan yang digiring dalam permainan bahasa berbeda dengan seseorang yang menyalurkan kebenarannya melalui pemindahan diskursus yang selalu menata ulang dan memperbaiki dirinya. 

Disinilah permainan bahasa yang memberikan relasi pada kebenaran, yaitu oposisi kebenaran atas ilmu pengetahuan. Diskursus dan tatanan yang dibentuknya tidak pernah memfinalkan hanya pada satu pengertian dan rujukan dibanding narasi besar yang goyah akibat proses delegitimasi, mencerabut akar-akar kepercayaan padanya. 

Rezim diskursus merupakan celah bagi narasi besar dan permainan bahasa yang berada dibelakangnya, dimana celah ilmu pengetahuan akan menyatakan "kebenaran telah terungkap atau telah final." Setiap ilmu pengetahuan telah menemukan kebenaran, maka setiap itu pula ketidakpercayaan atas narasi besar melalui permainan bebas tanda keluar dari dirinya sendiri.    

Perlukah kita menceritakan bahwa ilmu pengetahuan selalu dibuktikan sebagai salah satu permainan bahasa yang ditemukan dalam asal-usul pengetahuannya sendiri diantara jenis pengetahuan lainnya? 

Darimana kita memutuskan, bahwa berakhirnya narasi besar berarti proses delegitimasi juga telah berakhir? 

Siapakah yang bertanggungjawab atas kemungkinan lainnya apabila masih terjadi proses deligitimasi ilmu pengetahuan di abad ini, yaitu manusia digantikan oleh artificial intelligence (kecerdasan artifisial)? Dimanakah ilmu pengetahuan ditujukan jika tidak tumbuh lagi sebagai sistem yang organik?

Saya mengajukan pertanyaan sesuai bertambah panjangnya waktu dari satu narasike narasi yang lain sesungguhnya bergantung pada sejauh mana penolakan atas dirinya. Begitulah jadinya, mereka menemukan kebenaran atau mentotalisasi pengetahuan ilmiah dengan sesuatu yang rentang kesalahan.

Lain halnya, dalam narasi sosial terdapat kejanggalan dari ilmu pegetahuan modern, sekalipun tidak ada suatu permainan bahasa denotatif didalamnya. Ia masih dihantui oleh ketidakmampuan dirinya untuk membebaskan kehidupan dan pemikiran dari satu sistem relasi, seperti hirarki dalam oposisi duaan telah melahirkan kekerasan terhadap "sang Lain."

Sementara, proses delegitimasi ilmu pengetahuan juga beragam dan menyebar dimana-mana. Misalnya, kritik feminisme atas wanita yang distrukturisasi menjadi "sang Lain" dari pria. 

Dimana pria dianggap pencipta dan wanita sebagai ciptaan, wanita tidak lebih sebagai bayangan dari pria dalam realitas. 

Kebenaran ilmiah merujuk pada narasi kesejarahan, titik dimana wanita ditentukan hirarki oposisi duaan. Disitulah narasi tentang kesataraan gender direproduksi dalam sejarah ilmu pengetahuan, yang membuatnya berganti dari satu krisis menuju krisis legitimasi ilmu pengethuan.

Demikian pula, kritik ekologis atas perubahan iklim atau krisis energi, yang biangnya datang dari "penanda utama" bernama revolusi industri 4.0. Ilmu pengetahuan sebagai pemegang kebenaran tunggal masih dihadapkan pada hingar-bingarnya dunia, yang dibarengi oleh permainan bahasa dengan permainan tanpa aturan. 

Pembentukan diskursus tentang kaum minoritas dan pinggiran menjadi menarik, karena permainan kata-kata akan menghasilkan ketidakhadiran makna lain.

Pengetahuan naratif dan gagasan mengenai narasi besar lainnya memiliki kemiripan totalitas pengetahuan ilmiah, yaitu bahwa kebenaran atau realitas hanya tunggal. 

Sebagai akibatnya, totalitas ilmu pengetahuan yang menjadi permainan bahasa menundukkan setiap perbedaan dan kotradiksi makna dalam satu sistem dominasi. Sehingga totalitas dari ilmu pengetahuan pada akhirnya akan terperangkap dalam dirinya sendiri tatkala ia menyerap begitu saja perbedaan dan keterbukaan yang menjadi ciri dari seseorang yang mencoba keluar dari bui narasi besar.

Dalam suatu masyarakat, totalitas sebagaimana kita ketahui, bukan hanya pemikiran, tetapi juga memuat kecenderungan pada keterpusatan bahasa politik kuasa. 

Totalitas atas sejarah dan masyarakat bersama ilmu pengetahuan modern. 

Taruhlah misalnya, jenis 'peristiwa intoleransi', konflik antaretnis, dan pengucilan terhadap tokoh berpengaruh muncul sebagai akibat dari cara berpikir secara totaliter. Secara lebih kasar, bahwa totalitas tidak menyenangi perbedaan dan pluralitas dengan menentang keras setiap unsur kekuatan yang bukan dan menyaingi dirinya. 

Dari alasan tersebut, tidak heran jika narasi masih mencuat ke permukaan, yang akhir-akhir ini sebagai narasi politik. Ilmu pengetahuan akan terjatuh dalam totalitas. Dijuluki totalitas ilmu pengetahuan karena menghindari keterlibatan langsung mengenai ketidakadilan dan pemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, kecuali permainan kebenaran menghilang dalam permainan lain.

Berbeda dengan Lyotard dalam membagi suatu permainan bahasa dipengaruhi oleh aturan yang tidak membawa legitimasi dalam diri mereka sendiri. 

Para pemain dibentuk oleh aturan yang diciptakan di luar dirinya (2001 : 10). Dalam proses delegitimasi ilmu pengetahuan, narasi besar berperan untuk mengamati permainan bahasa sebagai subyek diantara permainan memberi obyek perjanjian kerjasama ekonomi dan kesepakatan perubahan iklim.

Permainan tidak ditentukan sejauh mana ketidakhadiran aturan persis titik ketidakhadiran legitimasi ilmu pengetahuan. Terdapat kemungkinan kecil dari suatu aturan akan mengubah sifat permainan, kecuali kekacauan berlangsung dalam permainan, dimana mereka tidak mampu mendefinisikan perbincangan mengenai siasat dalam suatu permainan. Narasi tidak lebih sebuah penyelewengan di luar kemauan dalam proses legitimasi, kata Lyotard (2001 : 30). 

Sejarah ilmu pengetahuan tidak bisa membuat narasi, kecuali permainan sejati diantara subyek pengetahuan terlepas dari metabahasa umum atau tidak yang penting ditempatkan pada suatu alur berbeda dari asal dimana ia dibentuk.

Saya tidak melihat ilmu pengetahuan tanpa metabahasa yang dapat memberikan keragaman bahasa lain agar membuka dirinya dengan ruang penerjemahan dan evaluasi (2001 : 64). Ilmu pengetahuan tidak harus menjadi agen kebenaran saat yang pinggiran, partikular, dan kontradiksi yang digambarkan layaknya prosedur pilihan pada alat-alat kecantikan, kesehatan atau merek sepatu. 

Perbedaan sesuai dengan sifat dasarnya yang menunda terus-menerus kesenangan dalam suatu permainan khas.

Kita diberitahu oleh media, bahwa makna kerjasama antara kedua belah pihak atau lebih dalam sudut pandang filsafat telah direnggut ketransendenannya. Yang ada hanya suatu permainan kata tanpa rujukan pada realitas, diluar dirinya. 

Kata-kata bergerak secara bebas dan saling menopang dengan kata-kata yang lain diyakini bukan dirinya. Ketidakhadiran permainan bahasa mengundang kembali kehadiran makna yang menyelimuti ilmu pengetahuan ditengah perbedaan akan permainan tanda.

Kita melihat ada dua permainan akan perbedaan. Pertama, permainan tanpa batas tidak ditentukan oleh fungsi legitimasi narasi besar, tetapi ambang batas teks dari ilmu pengetahuan tanpa permainan bahasa yang berulang-ulang. Ketidakhadiran makna menandai ketidakhadiran legitimasi ilmu pengetahuan. Karena itu, "sang Lain" muncul dalam fungsi pernyataan dan makna yang mewujudkan dirinya sebagai perbedaan celah  dan alur permainan.

Ketidakstabilan makna tidak berarti sebagai kelenyapan total, tetapi selalu berada dalam perubahan terus menerus terlepas dari kesahihan ilmu pengetahuan. 

Memang, sebuah teks ilmu pengetahuan yang terbukti mengalami proses delegitimasi pun tidak pernah merujuk sesuatu yang stabil, dimana makna masih berubah dalam relasi antara pembaca, pemain atau produser dan keadaan pembacaan atas permainan yang berbeda-beda. 

Kedua, permainan kata-kata yang menandakan proses delegitimasi ilmu pengetahuan sebagai akibat dari ketidakhadiran makna didalamnya tidak dibentuk oleh beberapa teks. Dalam wilayah apapun ketegangan akan selalu berbeda tanpa menyandarkan pada rujukan yang yang sama.

Karena itu, pengertian mengenai "sang Lain" sebagai ciri khas dari teks dan semua tanda bahasa. Pada satu pihak, "kelainan" (otherness) merupakan momok yang menggairahkan bagi pengetahuan, yang tentu saja permainan bahasa terlibat didalamnya. 

Kita masih diperhatikan hal-hal berbeda dari yang lain, yaitu narasi "perang dagang" masih melangsungkan titik permainan dengan perbedaan dan fragmen-fragmen, pinggiran, dan partikularitas, yang sepatutnya menjadi titik tolak dari pemikiran.

Di pihak lain, syarat pengetahuan yang bergerak secara terbuka dan bebas muncul setelah totalitas tidak berada dalam kenyataan yang benar-benar nyata. Perubahan yang beragam dan berpencar merupakan syarat terciptanya nilai-nilai persaudaraan kebangsaan dan demokrasi.

Setiap permainan kata-kata dan perbedaan jejak-jejak pengetahuan menunjukkan penolakan atas narasi besar. Setiap pembicaraan resmi yang digelar oleh pihak yang berkepentingan akan memperhatikan keterbukaan pada teks, perubahan terus-menerus tanpa akhir, pengetahuan tanpa kebenaran absolut, dan keragaman penafsiran atas realitas baru (seperti artificial intelligence). Realitas baru akan memengaruhi kerjasama ekonomi negara-negara maju dan berkembang

Permainan bebas tanda tidak dapat diukur berdasarkan prosedur ilmu pengetahuan, seperti ditandai dengan rangkaian pengorbanan, hasrat, kenikmatan, tipu muslihat, pembangkangan, persengkongkolan, dan kesetiaan hanyalah alur cerita akan menyediakan jejak-jejak baru melalui tulisan. 

Bentuk pengetahuan yang diproses melalui subyek menjadi teks tertulis tidak dapat digantikan dengan narasi yang lain jika syarat-syarat yang dimiliki telah dikontrol sepenuhnya oleh rasionalitas dominasi dalam kehidupan dan pemikiran.

Ada suatu hal menjadi pertanyaan tentang perubahan yang terbalik sebagai pergerakan dari teks tertulis atau novel menjadi citra sinematografis sama sekali tidak memiliki rujukan pada kebenaran ilmiah. 

Kita melihat perubahan dalam citra mental tidak semata-mata diambil-alih oleh mesin citra artifisial muncul dan menghilang kembali dalam citranya sendiri. 

Tetap, ia juga bergerak bersama titik pergerakan warna, volume, dan durasi yang ditopang bahasanya sendiri berganti menjadi suatu kode kecerdasan yang nyata, seperti komputer "otak super" mengambil-alih kecerdasan otak manusia. Kita mengetahui, bahwa posivitas tidak menampilkan karakter-karekater tertentu pada bentuk-bentuk pengetahuan. 

Syarat pengetahuan tersebur bersifat a priori menjadi mutlak bagi pembentukan rasionalitas yang pada gilirannya akan keluar dari asal-asul ilmu pengetahuan.

Tetapi, posivitas juga tidak menentukan status pengetahuan terhadap masa-masa tertentu. Permainan bahasa tidak ditentukan oleh posivitas dan posivitas juga tidak mengeluarkan daftar yang memuat apa dari masa sebelumnya telah dibuktikan benar dan telah diasumsikan memiliki status yang diperlukan agar dapat menjeadi pengetahuan. Daftar tentang apa pembuktian lebih lanjut atau tidak, dimana hal-hal yang diserap sebagai keyakinan umum dibentuk oleh kekuatan imajinasi.

Kekuatan dari perubahan global yang beragam menunjukkan bagaimana hal itu tidak selalu demikian, yakni hal-hal yang dianggap paling nyata bagi kita selalu dibentuk oleh relasi dari persinggungan masa pemikiran yang rapuh dan rawan. 

Dari alasan yang sesunggguhnya tidak rasional inilah, sehingga Lyotard cukup mengagumi perubahan besar di tengah sifat dan status pengetahuan yang tidak berubah, kecuali meninggalkan bentuk-bentuk rasionalitas dari zaman modern. 

Pengujian kebenaran dari ilmu pengetahuan memberi kekuatan khas bagi narasi lainnya atau apa yang ditawarkan bentuk-bentuk rasionalitas seperti narasi-narasi negara kesejahteraan, negara-bangsa, kebebasan dan kriteria kinerja pasar, yaitu 'menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin' menjadi sulit untuk dipercaya begitu saja.

Berkenaan dengan narasi besar, pemikiran Lyotard nyaris berbalik arah melupakan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan hal-hal yang pernah hidup atau dipaksa hidup. 

Jika ilmu pengetahuan memiliki tujuan mulia yang ingin dibentuk, maka ia tidak perlu dikaitkan apa yang pernah diperbincangkan atau apa yang perlu diucapkan.

Jika hal itu memang kita menerima suatu diskursus diantara permainan bahasa apalagi dalam narasi besar yang kehilangan legitimasinya sekarang ini. 

Kecuali jika kita mengatakan, bahwa diskursus yang akan dibentuk sesuai dengan prosedur ilmiah dan kriteria eksperimental sebelum kebenaran itu diterima. 

Pilihan-pilihan apa yang perlu menjadi prosedur ilmiah bagi metanaratif tidak dikaitkan dengan totalitas narasi sejarah, tetapi cukup menjadi ambang batas dari diskursus filosofis dan diskursus ilmiah?

Pertanyaan itu diajukan pada Lyotard yang melegitimasi jenis pengetahuan karena memiliki prinsip keadilan melalui narasi besar sebagai cara yang sama dalam kebenaran (2001 : xxiv). Pilihan-pilihan ilmiah akan memasuki kelompok tertentu dari narasi besar yang dibiarkan tidak terbentuk secara reguler. 

Dalam praktek diskursif dan tidak bisa dipaksa untuk dipisahkan dari pembentukan suatu ilmu pengetahuan, sekalipun mereka tidak bermaksud untuk menghadirkan ilmu pengetahuan tersebut.

Dalam narasi besar, pengetahuan tidak lebih dari penemuan jika telah memenuhi syarat pembuktian (demonstrasi). Padahal kita melihat, susunan narasi besar tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang ditemukan dalam penguraian naratif maupun refleksi, fiksi, regulasi-regulasi diskursif yang ditangani secara institusional maupun kebijakan politik, seperti diskursus tentang kesehatan dan kuasa (Foucaldian).

Menurut pandangan Lyotard, bahwa pengetahuan mampu bertahan hidup jika dipindahkan oleh narasi-narasi yang tidak berada dalam cara yang dibatasi pada fungsi penyampaian. Satu contoh: "Ada makhluk alien di Jakarta" merupakan sebuah kalimat yang tidak bisa dibuktikan kesahihannya karena tidak memiliki rujukan yang pasti. 

Peniadaan kalimatnya tidak ada obyek naratif, kecuali dikatakan lebih benar atau lebih salah daripada bentuk penegasan sebagai cara untuk menghadirkan fungsi penyampaian (enunciative). Mereka tidak hadir dari apa-apa yang didengar itu pula yang dibicarakan (2001 : 21). Lantas, mengapa kita harus menyimpulkan, bahwa pernyataan benar dan salah muncul sebagai pernyataan dari hal-hal yang tidak memiliki rujukan apa-apa.

Meskipun seseorang memiliki satu alasan lebih ilmiah untuk membentuk eksistensi sebagai cara bagaimana menggantung diri padanya tanpa proposisi yang tidak memiliki rujukan. 

Lebih lanjut, pengetahuan bukan apa-apa apabila tidak dapat diucapkan seseorang dalam satu atau beberapa praktek diskursus dan ia tiba-tiba diurutkan dalam proses spesifikasi oleh kenyataan tertentu. Mungkin wilayah narasi besar dapat dipertemukan dengan suatu praktek diskursus, oleh obyek-obyek yang berbeda, tergantung apakah keduanya memerlukan status pengetahuan ilmiah atau tidak. Sekali lagi, kata "alien" dalam kalimat "Ada makhluk alien di Jakarta" menjadi satu kata terakhir jika kata yang berbeda masih terperangkap dalam jejaring metafora kita.

***

Relasi pengetahuan antara 'fungsi penyampaian' dan 'fungsi naratif' saling menjalin menuju satu wilayah. 

Kedua fungsi itu tidak membuat lagi 'transisi pernyataan' menjadi hal-hal yang lain, yaitu sesuatu yang tidak lebih sekedar penggabungan tanda yang untuk kehadirannya memerlukan subyek pengetahuan. 

Seperti buku teks ilmiah melalui jalur akademisi atau gambar melalui fotografer yang dapat diubah dan dipinggirkan sebagai jejak-jejak baru. Perbedaan atas realitas yang dinilai dengan pengetahuan bersama fungsi terjalin itu juga memisahkan pernyataan dari kalimat dan proposisi yang sama.

Kata lain, syarat posmodern itu dibangun dan dipisahkan dengan syarat lainnya. Ia bertujuan untuk mengakhiri narasi besar, yaitu "syarat kesahihan diskursif atas pemikiran" dan "syarat peristiwa atas performavitas pengetahuan naratif." Sehingga fungsi naratif menjelaskan sekaligus menolak a priori dan narasi sejarah maupun narasi lainnya yang berlapis-lapis dan tidak tergoyahkan. Karena itu, kesahihan diskursif atas pemikiran merupakan fungsi diskursif itu sendiri yang tidak dibentuk oleh fungsi naratif atas peristiwa pengetahuan.

Dalam pandangan Lyotard, ketidakhadiran narasi besar memiliki keterkaitan dengan (a) prinsip performativitas yang mensahkan posisi pengetahuan dan informasi dibentuk oleh kesahihan berdasarkan efisiensi dan efektifitas. Prosedur pilihan ilmu pengentahuan ditandai proses pengumpulan data-informasi, verifikasi dan analisis hingga direproduksi hanya dapat dinilai berdasarkan keriteria kegunaannya (utility); (b) kehadiran informasi dan pengetahuan akan dijabarkan sebagai tulisan benda-benda menjadi prinsip produksi, tetapi kuasa memberi mekanisme benda-benda (komoditas) yang mengendalikan dan mendistribusikan kegunaan, dinilai berdasarkan performativitas tertentu.

Apabila ditarik dalam syarat posmodern, penampilan (performativitas) sebagai prinsip sulit untuk diukur dan diterapkan begitu saja berdasarkan efisiensi dan efektifitas dalam ilmu pengetahuan sosial humaniora. 

Misalnya, psikologi, sosiologi, dan filsafat yang dihubungkan dengan peristiwa kekerasan psikis, sosial, dan seksual atau narasi kehidupan fakir miskin, petani atau nelayan pada akhirnya menjadi 'narasi lokal'. 

Berbeda dengan penilaian atas performativitas mengambil rujukan dari ilmu pengetahuan eksakta. Sehingga kebenaran akan diuji kesahihannya tanpa harus melalui performavitas ilmu pengetahuan.   

Dari fungsi naratif untuk menjelaskan 'Narasi Besar' menolak a priori dan narasi sejarah, seperti kapitalisme dan komunisme. Katanya, di sini komunisme adalah salah satu 'Narasi Besar' diambang keruntuhan.

Rangkaian

Dalam konteks Indonesia, misalnya, dulu ada istilah 'kapitalisme kroni', selanjutnya tidak menemukan karakternya yang baru di era reformasi menuju satu narasi yang bersifat terbuka dan terpencar.

Sebagaimana isyarat Lyotard, bahwa setelah penolakan atas narasi besar, ia berganti dan bertukar dengan narasi kecil yang bersifat lokal. Dari sini, syarat kesahihan diskursif atas pemikiran membangun relasi antara 'pengetahuan' dan 'kuasa', pernyataan tanda sebagai syarat realitas dan penjelasan naratif sebagai syarat kesahihan yang menemukan jejak-jejak lain dibalik peristiwa. Dulu, peringatan deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) berlangsung pada 22 Juli 2019. Pengibaran bendara pada peringatan deklarasi PRD tersebut sebagai bagian narasi politik Indonesia dengan rangkaian narasi yang memiliki keterkaitan dengan mitos tentang "sayap Kiri" dan "sayap Kanan" yang membujur dari  syarat kesahihan diskursif atas pemikiran diikuti oleh syarat peristiwa atas performavitas pengetahuan naratif telah terbentuk sebelumnya.

Narasi yang dibangun oleh PRD adalah narasi mitis bersifat ideologis. PRD sebagai representasi mitos tentang "sayap Kiri" dipertentangkan dengan ideologi negara maupun ideologi politik yang berdasarkan keagamaan tertentu sebagai representasi mitos tentang "sayap Kanan." Sesungguhnya, semuanya itu adalah bentuk totalitas atas pikiran yang merasuk diam-diam secara individual dan institusional di zaman Orde Baru. Ada sesuatu yang cukup menarik, diantaranya peristiwa krisis kepemimpinan nasional dibarengi oleh krisis moneter global sebelumnya yang didahului oleh krisis legitimasi yang dimainkan oleh narasi besar yang mendelegitimasi ilmu pengetahuan (ideologi dunia yang memiliki sintesa dialektis terhadap pengetahuan ilmiah atau narasi keilmiahan).

Pernyataan naratif menandai kehadiran kembali PRD dengan 'proses (re)produksi ingatan' melalui Deklarasi-simbol bendera yang tentu saja masih berpengaruh pada cara berpikir masyarakat Indonesia kontemporer. Deklarasi dan pengibaran bendera menjadi jejak dari pengetahun naratif sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari a priori sejarah yang menggema kembali dalam keriu-rendahan dan penolakan padanya. 

Totalitas dan represivitas selama ini telah menghantui pemikiran kita. Bukankah totalitas dibalik cara berpikir orang-orang dari masa lalu menentang perbedaan, keterbukaan, dan keragaman?

Dilansir dari laman berdikarionline.com (23/07/2019) mengangkat judul Menjawab 2 Narasi Usang Orba Tentang PRD. Setidak-tidaknya terdapat dua narasi yang menopang performavitas pengetahuan naratif atas penilaian secara a priori sejarah. Pertama, mengenai PRD sebagai partai terlarang dan kedua, PRD adalah Komunis Baru atau Neo-PKI.  

Kini, bukankah PKI dengan palu aritnya menjadi isu yang laris diobral oleh elite? Bagi pihak yang malas berpikir sudah tentu menyatakan sebaliknya. Lihatlah sendiri, ada gejala-gejala kebangkitan PKI! Lalu, dimana bukti-bukti kuat jika ada gejala-gejala kebangkitannya? 

Narasi tersebut sekaligus menjadi bentuk tuduhan yang dianggap tidak memiliki syarat diskursus ilmiah atau pengetahuan ilmiah yang menilai, bahwa seluruh tuduhan padanya sama sekali tidak dapat dibuktikannya terutama dari tinjauan pengetahuan hukum. 

Hal tersebut, kita mengambil satu dari sekian banyak narasi politik lokal yang turut mendinamisasi kehidupan dan pemikiran.

Suatu hal penting, bahwa apapun yang terjadi dari peristiwa tersebut menjadi bagian dari dinamika yang tidak perlu disesali apalagi dikutuk secara berlebih-lebihan. 

Selebihnya, kita percaya pada nilai keterbukaan, perbedaan, dan keragaman yang juga perlu dievaluasi kembali dalam kehidupan berbangsa yang hari demi hari nampaknya diperlukan transformasi pemikiran agar kita tidak terperangkap dalam totalitas. 

Kita ingin bertitik tolak dari perubahan cara berpikir secara bebas, terbuka dan plural, dimana narasi tidak ditata ulang oleh ilmu pengetahuan, kecuali menilai kembali asal-usul sejarahnya sendiri dengan goresan atau jejak yang ditinggalkanya.

Kembali pada pengetahuan, bahwa pembentukan praktek diskursif bersifat partikular tidak diperlukan lagi adanya syarat definisi atau konsep yang tetap. 

Pengetahuan juga tidak memiliki susunan tunggal bagi subyek untuk menempati satu posisi tanpa berbicara lagi tentang obyek-obyek yang tidak terbuka dan tersebar tanpa melalui diskursus.

Akhirnya, pengetahuan tidak ditentukan oleh penyeragaman dan pembakuan ilmiah yang dimasuki oleh rezim diskursus (dari pembangunan berkelanjutan ke bebas dari pandemi corona dan krisis lain). Berkenaan dengan alur narasi besar masih selalu melegitimasi sesuatu, sekalipun mereka bukanlah tema pembicaraan tersodorkan tentang perdagangan dan kebijakan fiskal yang berhimpitan dengannya. 

Menurut Lyotard, besar kemungkinan perolehan pengetahuan tidak ditempuh lagi melalui narasi yang nampak sebagai kekuatan pendorong utama yang memadai dalam menjalankan emansipasi atas kemanusiaan (2001 : 51). Pengetahuan dan narasi besar tidak saling mensyaratkan suatu narasi yang lain dari kemungkinan munculnya kekuatan baru tanpa legitimasi apapun.

Mengarah ke fungsi penyampaian lain, yakni arah pertanyaan mengenai narasi masyarakat posmodern yang tidak bergantung pada kebenaran ilmiah yang memusat dan ketat yang juga sama sekali tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan narasi mengenai emansipasi kemanusiaan yang lebih mementingkan prinsip keterbukaan dan keragaman pemikiran atas peristiwa dan obyek pengetahuan lainnya.

Mengenai tantangan narasi-narasi lain bisa dimengerti tidak mudah dipecahkan jawabannya, karena kita memerlukan lebih banyak lagi pemikiran diskursif ditengah kemajuan teknologi dan kemakmuran kapitalis yang menyakitkan, akhirnya berdampak pada status pengetahuan dan relasinya dengan kuasa.

Asal-usul ilmu pengetahuan tidak berbicara pada produk materialnya, melainkan pada narasi besar yang menemukan lebih cepat dari dirinya dibanding proses delegitimasi di abad ke-21, dimana kita mengetahui ada wujud alami dan wujud artifisial menjadi sulit dibedakan.

Wujud alamiah didandani oleh wujud artifisial yang tidak berpolesan. Lantas, siapa yang nyata? Siapakah saya? Manusia atau bio-otomata, mesin atau bio-mesinkah? 

Dari perbedaan mode wujud diantara bagian-bagian organ yang tidak terpikirkan hanyalah sudut pandang yang menampilkan kekacaubalauan nalar. Saya bersama rekan-rekan ngobrol akan berada pada pilihan mistis dan irasioalitas muncul ketika akar-akar pengetahuan ilmiah tidak lebih kuat dari narasi.

Dalam relasi antara mesin ketidaksadaran dan mesin hampa, relasi antara nilai simbolik dan bio-kosmik melalui rangkaian pelibatan warga global, dimana mesin ketidaksadaran tidak lebih sebagai kekuatan yang bersifat imanen. 

Bisa dikatakan, narasi bergerak dari aliran hasrat untuk mengetahui. Ia melampaui tulisan revolusioner melenyapkan kenetralannya sebagai titik terakhir dari diskursus ilmu pengetahuan yang tidak mampu menjamin kesahihannya.

Ilmu pengetahuan seakan-akan menanti masa hukuman kedisiplinan bersyarat yang dibentuk rezim kuasa. Diskursus kuasa inilah saling menjalin dan saling menopang dengan pengetahuan melalui keterbukaan dan perbedaan atas penafsiran tentang akhir dari narasi besar. 

Bagi Lyotard, ada ketidakstabilan dalam ilmu pengetahuan selama dirinya dianggap bersifat total, universal, dan final sebagai kebenaran ilmiah.

Berkat diskursus, permainan yang beragam dan menyebar bertugas untuk mencairkan perbedaan-perbedaan dan membuka jalan lain menuju wawasan baru. 

Selain itu, keterbukaan atas penafsiran baru yang dipindahkan menjadi penafsiran atas realitas baru lain, akhirnya saya tidak mengetahui apa yang dimaksud penafsiran baru.

Akhirnya, dorongan atau kesenangan terhadap tubuh bersifat non-fisik diperbaharui sebagai energi, seperti penampilan busana atau perhiasan tidak menghilang dan tertunda dalam dunia ilusi, melainkan diganti, ditukar, dan diubah dalam kesenangan yang lain (seperti, menulis atau membaca kamus, ensiklopedia, menyanyikan lagu bertema balada, kritik sosial, dan sebagainya).

Buku-buku kegemaran kita dibaca ulang setiap saat masih tetap menjadi kata benda sejauh suatu mesin tulisan tidak mengalami kuasa melalui rahasia tulisan dengan dukungan seksualitas yang pada akhirnya akan tetap berada dalam dunia nyata. 

Dari hasil tulisan virtual tidak hanya membantu ingatan, tetapi juga ilusi atau kelupaan. Pergolakan hasrat akan permukaan tubuh akan mengosongkan ilusi. 

Ia menyebar kembali melalui buku dari teks erotis. Jemari, tangan, mata, pikiran, dan medium bermain dengan modulasi, interval, dan lintasan memasuki realitas virtual.

Pada titik tertentu, ilusi kebenaran tidak muncul sebagai narasi dari pernyataan dan aksioma, sisi kehampaan dan permukaan, melainkan dari daur-ulang panggung, teater, tontonan, dan teks-teks yang disenangi.

Lain halnya, para teroris atau pembeo layaknya bintang porno yang dipertontonkan melalui media massa. 

Suatu hal masih penting kita ucapkan, bahwa beginilah ketidakngelanturan bahasa dan berpikir logis, yaitu keseronokan absolut yang melampaui kengelanturan retoris. 

Kemudian, tidak diragukan, bahwa hal-hal yang tidak terpikirkan melawan 'produksi ketidaksahihan' untuk mengontrol sesuatu dari pergerakan ilmu pengetahuan.

Setiap titik akhir tanda dari kebenaran diala legitimasi pengetahuan ilmiah diubah oleh kata dan benda-benda seiring diskursus ilmu pengetahuan ditandai diskursus kuasa dan legitimasinya sendiri ditopang dengan tubuh dan seksualitas.

Dunia pada akhirnya akan tetap berada dalam rangkaian pergerakan jemari, mata, hidung, dan medium lainnya yang bermain dengan modulasi, interval, dan lintasan lain memasuki realitas baru. 

Sedang aktualitas terperosok kedalam "retakan" dan "lubang" melalui konsep tentang realitas, dimana titik koordinatnya menghilang dalam celah baru yang tidak terlihat. 

Wujud virtual tanpa ilusi. Apa itu virtualitas? Disitulah arus hasrat, tubuh dan kegilaan sebagai diskursus kehidupan, konsep, rujukan, atau perubahan teracak keluar dari luapan kekerasan teks.

Sebaliknya,  bentuk permainan acak akibat dari 'kekerasan pikiran'. Narasi politik di balik tembok dan detak jam dinding yang ditemukan dari sudut pandang seseorang berubah menjadi penggalan yang kacau, celah semakin luas, dan retakan yang bertambah besar. Rekan-rekan ngobrol masih menempatkan diri sendiri dalam babak terakhir dari perubahan atau penandaan, kecuali ilusi dari realitas memerosotkan sistem pengetahuan yang dibangun oleh ego-Cogito dari berabad-abad lamanya. 

Setelah obyek pengetahuan, diri kita yang tidak mengalami perubahan dalam dunia nyata berakibat fatal tidak lebih sebagai sangkar besi dalam kehidupan.   

Narasi kehidupan bukan berarti secara absolut dimiliki oleh dimensi estetis, psikis bahkan mekanis, kecuali bersatunya seluruh kekuatan yang berserak-serak dalam poros pengetahuan, yaitu multisentritas kekacau-balauan. 

Teater kekerasan sekaligus kekacau-balauan bukanlah struktur yang berdiri sendiri, tetapi keterkaitan dengan titik keruntuhan universalitas subyek. 

Dapat dikatakan, bahwa memudarnya narasi besar menuju narasi yang lain bersamaan dengan lenyapnya realitas.

Dunia atau realitas penuh ilusi integral. Citra ternyata ditipu oleh realitasnya sendiri. Siapa Anda, begitu berani menentang saya (wujud virtual dalam kisah sinema)? Digital, putra Sang Universum. Tidak akan kulupa nama itu. 

Dari mana datangnya tidak menjadi penting untuk diperbincangkan. Paling penting adalah 'titik tengah realitas', yang hampa, tanpa ruang. 

Zaman kita masih berada dalam pusaran wujud virtual, yang berkaitan dengan non-wujud. Ia bukanlah wujud aktual atau ilusi. Citra meradikalkan ketularan dan kecanduan untuk melepaskan beban pikiran melalui tanda hasrat sekaligus kesenangan sebagai metamorfosis dan pertukaran.

Akhirnya, manusia membuatnya terserap, terlempar, dan mengelana di padang pasir nyata. Dari pertumbuhan kesenyapan nyata dibalik realitas yang tidak terpikirkan mungkin menyertai eksistensi manusia yang diragukan. Sehingga cara pandang kita tentang padang pasir nyata menghilang kembali di cakrawala. 

Pada saat saya bermimpi, Anda telah memasukkanku dalam titik keanehan dunia yang diserap olehmu sang 'gurun pasir nyata', oleh jagat raya nyata seperti internet, atau hologram. Rangkaian jaringan tele-mesin (medsos, internet) sedang berlangsung sejauh mimpi.

Mimpi dipadatkan melalui citra. Mimpi adalah akhir dari ilusi perseptual. Mimpi menjadi citra melalui citra virtual, tanpa layar, saluran, dan lelucon konyol. Anda ditawarkan menjadi mabuk kepayang sampai tergila-gila membiarkan Cogito Cartesian dan berkata kembali: "Metamorfosis mimpi adalah ritualisasi." Ia menjadi titik tengah realitas dalam kelupaan. 

Dari kekuatan yang lain tidak terpikirkan dibalik titik celah ketidaksadaran untuk melepaskan hasrat yang melampaui sekaligus membunuh produksi makna dari tatanan bahasa ataukah logika yang terakhir.

Dalam batas-batas yang telah terlintasi, suati mimpi melingkari mimpi yang lain. Tidak ada lagi batas bagi seseorang antara keadaan tertidur dan terjaga, sekalipun dia tanpa melalui pusat gravitasi dengan cara menjatuhkan benda padat, mencubit kulitnya atau bahkan mengusap-ngusap wajahnya sendiri. 

Sang nyata masih bergerak diantara kelenyapan struktur sang Lain dan kenampakan sesuai rona bumi ditandai oleh permukaan yang terbujur, seperti tubuh, konsumsi, mekanis, dan penanda lainnya dan kedalaman yang terlapis: pikiran, selera, psikis, dan petanda lainnya. Keadaan pengetahuan yang diorganisir melalui permukaan sekaligus kedalaman tanpa hirarki, jejak, dan zona yang tidak ditemukan dalam ilmu pengetahuan menerobos kerangka kerja bahasa dan diagram logis bagi pergerakan citra.

Melalui citra, dunia lebih nampak dilihat dan menghilang kembali dalam realitas, dalam kelenyapannya yang dipertaruhkan. Kita mengetahui tidak ada mimpi dan tidak pula suara dalam tanda kesesaatan yang menyertainya atau di tengah gurun pasir nyata. 

Segalanya berupa esensi kesenyapan. Kita ternyata akan bingung pada saat tidak ada lagi ambiguitas. Dimanakah kita gerangan? 

Adakah kesenyapan massa ataukah akhir sosial? Kesenyapan citra ataukah akhir dari layar dan kesenyapan gurun pasir ataukah akhir metafora?

Kita menungggu peristiwa untuk menyingkap misteri yang menyelimutinya dan meledak keluar secara tiba-tiba untuk menghentikan pertukaran dan peredaran. Kita melihat sebuah citra tanpa lensa, pangung tanpa kamera, ilusi tanpa bayangan realitas. 

Segalanya muncul dari keterasingan ke kesenyapan. Dalam kehidupan kita berkembang antara 'fase binatang' dan 'fase manusia'. Narasi tentang kesenangan yang berpindah dan bertukar tempat nampak dalam dunia nyata terjalin "tarian retorik." "Aku memiliki tanda, Anda memiliki ilusi" dan "Anda memiliki tanda ilusi." Jadi, bukan "kita memiliki aparat."

Lain lagi, titik kelenyapan dunia nyata terjadi disaat tidak ada lagi kecanduan, kebutuhan dan perlawanan, kecuali diskursus tentang kuasa. 

Setiap kali ilusi, citra, dan obyek lainnya di sekitar kita datang membawa korban, disana pulalah muncul 'kesetiaan pada yang nyata' (uang, investasi) terjatuh dalam kesahihan diskursus tentang pengetahuan yang baru. Sinema, internet atau layar dengan pergerakan citra didalamnya akan menjadi narasi besar sejauh menampilkan cerita tentang universalitas, rasionalitas, kapitalisme, sosialisme, Marxisme, dan ideologi dunia lainnya. 

Suatu saat kita menarik narasi kehidupan antara narasi besar dan narasi kecil yang diakui oleh Lyotard bersama ilmu pengetahuan sebagai salah satu pemeran dari suatu permainan bahasa di tengah permainan lain yang plural tidak bisa dipisahkan dengan legitimasi pengetahuan (2001 :  xxiii).

Bukan masalah kebutuhan, tetapi kekaguman pada kematian sebagai suatu hal yang pasti demi kesesaatan di balik energi massa. Kesesaaatan untuk melepaskan hasrat adalah relasi timbal-balik antara yang nyata dan simbolik tanpa melalui citra. 

Pelepasan hasrat yang berbolak-balik dalam kesesaatan tanpa dibentuk oleh proposisi, metode, dan nilai. Setelah relasi antara mimpi dan teori akan berakhir; makna tidak dapat lagi berada dalam kehidupan, kecuali diluapi oleh kesesaatan obyek untuk melepaskan kenikmatan terhadap 'sang Lain' dan identitas lainnya.

Tatkala kenikmatan semakin nyata keluar dari dunia nyata, maka proses berulang menuju kenampakan dan kelenyapan narasi. Disitulah narasi muncul, titik dimana dilahirkan peristiwa demi peristiwa berlangsung sebentar. 

Peristiwa kelenyapan narasi ke titik akhir adegan, teater, dan kenikmatan menjadi narasi yang aneh. Kelenyapan narasi merupakan cara terbaik yang mesti ditempuh sebagai bagian dari peristiwa penting. 

Tidak ada jalan lain, kecuali penolakan narasi kebenaran (daftar pelacuran intelektual, hasrat represif, dan lukisan atau fotografi penuh dusta) yang ditampilkan dalam realitas baru.

Sebagaimana halnya kelenyapan realitas dan keruntuhan makna, dari apa-apa yang kita saksikan secara mata telanjang, dibanding kebosanan yang tidak berlangsung lama dari energi gelap ke terangnya bumi. 

Energi bumi yang berbolak-balik itulah dikompensasi atau dijaminkan oleh kasih sayang anak cucu melebihi segala-galanya.

Rangkaian kebijakan fiskal, investasi, keuangan inklusif, perubahan iklim, perdagangan, energi, dan kesetaraan gender sebagai bagian dari isu-isu G20 berhadapan dengan seks robot, kloning, dan ideologi konsumerisme akan kembali menuju titik akhir, yaitu 'titik akhir dari titik akhir', meliputi ilusi, fiksi, mimpi, dan fantasi. 

Kita ternyata masih tetap bermimpi dari keadaan terjaga. Kita juga tidak serta-merta menerima totalitas permukaan sebagai tubuh yang memikat sebagai hasil refleksi dari peristiwa malapetaka di balik realitas yang menunda kelenyapannya.

Untuk mengimbangi penolakan atas narasi besar akibat dari totalitas dari pemikiran atau ilmu pengetahuan, maka penting meluangkan waktu yang cukup bagi diskursus tentang hasrat, tubuh, dan kegilaan. 

Paling anyar adalah perang antara Rusia dan Ukrania. Diawali oleh operasi militer Rusia atas Ukrania, Pebruari 2022. Mimpi dan seruan awal dari Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) mengantarkan ke pintu gerbang perdamaian global melalui pidato berlangsung di acara pembukaan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali.

Presiden Jokowi menyerukan untuk mengakhiri perang. Dia menyatakan agar jangan sampai dunia terjatuh lagi dalam perang dingin lagi.

Presiden Xin Jinping dalam lawatannya untuk menghadiri KTT G20 tidak berbicara tentang partai "kiri" komunis. Sudah bisa dipastikan Xin Jinping tidak mengenal siapa sayap "kiri" di Indonesia. 

Baik kapitalisme dan sosialisme atau komunisme dibungkam oleh isu-isu utama yang diangkat melalui meja KTT G20 ke-17 di Bali, 15 hingga 16 November 2022.

Selain Xin, KTT G20 juga dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden, dan Perdana Menteri Kanada  Justin Trudeau. Sederet pemimpin negara lain yang hadir di KTT G20, diantaranya, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, Presiden Argentina Alberto Fernandez, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan hingga Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni.

Sengaja saya menyebut siapa-siapa yang menghadiri KTT G20. Bisa disebutkan seperti Direktur Pelaksana IMF Kristalina Geogieva, salah satu pimpinan Lembaga dunia. IMF bersama Bank Dunia dikenal sebagai pilar kapitalisme global. Semuanya, para pentolan dari apa yang disebut narasi besar mengarahkan pandangannya pada isu-isu global, yang mendesak untuk dipecahkan permasalahan secara bersama-sama. Kata Jokowi: "Tidak ada pilihan lain. Kecuali paradigma kolaborasi sangat dibutuhkan untuk menyelematkan dunia." Sudah tentu dunia dan kehidupan yang bebas dari krisis dan ancaman kepunahan.

The New York Times (2022/11/13) menyatakan simpatinya terhadap perhelatan KTT G20 di Indonesia. Ia merekam dengan baik apa yang dinyatakan Presiden Jokowi, diantaranya bahwa "Indonesia menginginkan stabilitas." Disamping misi perdamaian dan mengakhiri perang, pada kesempatan lain, Presiden Jokowi berharap pada penanganan krisis pangan.

Indonesia menjadi "episentrum" dunia melalui KTT G20. Satu momen yang tepat untuk membicarakan dan menindaklanjuti dengan solusi terhadap berbagai krisis, yang saling tumpang tindih antara satu dengan yang lain.

Belum usai krisis corona, muncul krisis pangan, krisis energi, ancaman resesi global hingga perpecahan geopolitik yang kian keras. G20 mencoba untuk mengkonsolidasikan kekuatan mereka melalui kerjasama untuk merahi pertumbuhan ekonomi dunia yang stabil dan berkelanjutan dengan jaminan saling menguntungkan bersama.

Diketahui, bahwa G20 menyumbang sekitar 80 persen dari output ekonomi global dan sekitar 60 persen dari populasi duni membuat negara-negara percaya untuk maju beberapa langkah ke depan. Tidak khayal, respon G20 atas krisis ekonomi global begitu besar.

Kuncinya, bagaimana G2 mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi global yang kuat, berkelanjutan, dan adil. Pertanyaannya, apakah negara-negara G20 tetap dalam komitmen bersama untuk bekerja sama dalam menggapai masa depan yang didambakan bersama?

Yang jelas, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai lebih dari 5,1 persen. Suatu raihan pertumbuhan ekonomi yang melebihi prediksi sebelumnya. Rela atau tidak, Indonesia dengan mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik siap siaga menghadapi resesi global yang sudah di bawah telapak kaki. Suka atau tidak, perubahan global seperti resesi ekonomi dan krisis iklim berdampak sistemik terhadap Indonesia.

Apalagi yang ingin kita katakan. Maka sudahilah narasi besar yang menggebu-gebu! Narasi besar, seperti rasionalisme, kapitalisme, dan sosialisme sudah menguap di bumi. Para pemimpin negara-negara anggota G20 tidak lagi mengumbarkan nafsunya (sebaiknya bukan karakternya) untuk memperlihatkan taring atau cakar-cakarnya yang siap untuk mencabik-cabik bagi siapa yang tidak ingin tunduk dihadapannya. Segalanya demi berkhidmat pada kehidupan dunia yang sejahtera, damai, lestari, dan maju. Mengapa tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun