Kenikmatan itu membahagiakan, namun tidak selamanya kenikmatan berbuah rasa manis, kadang malah muncul kepahitan setelah mencecap nikmat. Sebaliknya kepahitan itu bukan berarti mengantar manusia menikmati sengsara, seringkali kepahitan hanya sesaat(meskipun menyakitkan) namun rasa manis jauh lebih lama dirasakan.
Apakah kerinduan itu juga sebuah kepahitan. Bertahun-tahun menahan rindu, bertahun-tahun hanya mengenang, sementara kadang ada terbersit ingin mengakhiri rindu dengan menemui mereka yang membuat kita kangen. Entah alam, entah makanan, entah masa lalu, entah mantan kekasih, entah teman-teman yang menyebalkan namun yang membuat butir-butir kerinduan begitu terus menetes.
Aku melihat senyuman mantan, melihat senyum rindu orang tua, merangkulnya dan kemudian membenamkan diri dalam hasrat rindu yang tidak terkatakan. Entah tidak peduli bintang tenggelam oleh luapan kebahagiaan, entah karena ada getar-getar cinta yang muncul kembali.
Bagaimana jika ternyata selalu ada bayangan cinta pertama yang membuat sebuah dorongan sekali-sekali menapaki nostalgia ketika cinta beradu.
***
Marsih, tengah melamun, ada raut sedih muncul dari raut mukanya yang sebetulnya manis, Ada tatapan kosong yang mengisi kilatan matanya. Apakah karena aku. Apakah karena cinta yang hanya sesaat, memabukkan namun melenakan. Sementara ia sebetulnya tengah dalam puncak kebahagiaan karena sang kekasih selalu memberinya cinta meskipun tanpa harus membuat ia terjerembab dalam lembah dosa. Namun kadang ada naluri yang mengiringnya untuk menikmati sentuhan-sentuhan, seperti melayang dan terjebak oleh suasana sehingga kadang ia pasrah jika ada tangan kekar dari kekasihnya semakin mendorongnya untuk menikmati getaran-getaran aneh yang membuat ia lupa bahwa ia mempunyai tubuh berharga yang harus dilindungi.
Ia tidak harus terlenakan oleh kenikmatan, karena kata orang tuanya kenikmatan itu sesaat, sisanya adalah kepahitan tanpa batas. Ia sering mendengar lelaki hanya semangat ketika tengah memetik madu pasangannya, sementara ketika bibit cinta telah berbenih, perempuan hanya menangis penuh penyesalan.
"Sedih itu bukan kebiasaanmu Marsih?"
" Setelah kupikir , benarkah jalinan cinta kita bisa menyatu dalam waktu lama ya Mas?"
"kamu, ragu dengan hubungan kita?"
"Sepertinya aku harus mulai berjarak dengan Mas Darmin."
"Lho kenapa?"
"Aku takut!?"
"Takut kenapa?"
"Takut tidak bisa mengendalikan diri. Mas. Kamu sudah pernah menciumku, dan kita sudah pernah sangat dekat, bahkan hembusan nafas Mas Darmin sempat melenakanku."
"Bukankan, itu spontanitas saja Marsih."
"Aku takut saja. Takut kita kebablasan.Hingga jika suatu saat kita tidak lagi bersama, akulah yang merasa paling menderita."
"Jangan, Khawatir, kita tidak akan melakukan hal yang kelewat batas."
"Itu khan yang muncul dan terucap di bibir, bagaimana kalau saking asyiknya, kita terjebak dalam irama alam, kesunyian dan keinginan untuk saling membutuhkan, lalu kita melakukan hal-hal yang spontan dan tidak bisa mengerem apa yang telah kita lakukan Mas."
Sejenak aku terdiam. Benar juga apa yang dikatakan Marsih, tapi apakah harus mengakhiri hubungan sementara tengah hangat-hangatnya sebuah hubungan.
"Mas.....!" Tiba-tiba seperti mendung menggelantung di wajahnya, matanya tampak berkaca-kaca.
"Ada, apa dengan dirimu Marsih, apakah ada yang membuatmu sedih."
Pelan-pelan aku mendekat, kubiarkan kepala Marsih rebah di pundakku.
Aku merasakan air hangat menelusur dadaku, air mata yang menetes deras muncul. Pasti ada yang dipikirkan Marsih.
"Mas, Minggu depan aku pindah ke Sumatra, ikut orang tuaku transmigrasi."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Benarkah yang kudengar. Begitu singkatnya sebuah kenikmatan cinta hingga akhirnya harus terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Rasanya baru kemarin kita menjalin cinta, ternyata secepat itu kita akan berpisah. Aku baru mengerti bahwa ada butir-butir cinta mulai mekar dan berkembang, ternyata, secepat itu peristiwa indah akan berlalu.
"Kamu yakin akan berangkat minggu depan, Sih?"
Marsih mengangguk pelan, dari sudut matanya mulai berlelehan air mata, ia menunduk dan tak mampu menatap mataku lama-lama.
"Tak bisa kubayangkan hidup tanpamu Marsih."
Kesedihan yang kurasakan bukan tentang air mata yang membanjir dari pelupuk mata, hanya ada rasa kosong, dan tidak mampu berkata-kata, langit yang cerah tiba-tiba mendung, hal-hal indah yang terajut, rasanya pecah berkeping-keping, tidak lagi terangkai rapi, melainkan seperti benang ruwet.
Dunia seperti berputar cepat. Dan aku tidak tahu harus mengatakan apa selain hanya diam dan menekuri, hidup yang rasanya tidak adil. Secepat itukah. Seperti kilat, saja, terang sebentar lalu dunia sekitar terasa gelap kembali oleh mendung yang menggelantung. Bayang-bayang pucuk daun kemerahan di ufuk barat seperti menyiratkan kesedihan.
Setelah sedikit tertata, aku mulai meraih tangan Marsih. Â kemudian kuseka lelehan air matanya, kebetulan aku membawa sapu tangan.
"Sih, Meskipun cinta kita baru sebentar, namun sangat berkesan, semoga nanti kalau kamu sudah sampai di sana tidak lupa untuk berkirim surat. Apapun barangkali suatu saat nanti kita berjodoh dan dipertemukan entah kapan."
Marsih, menatapku, masih dengan mata berkata-kata dan tiba-tiba ia memelukku erat, ia mendekam dan membenamkan kepalanya di dadaku.
Jantungku rasanya berdetak amat keras, inikah rasanya dipeluk oleh perempuan begitu lama. Marsih seperti ingin berlama-lama memelukku sebelum mengucapkan salam perpisahan.
"Mas, Kamu adalah cinta pertamaku dan tidak mungkin melupakan sampai kapanpun."
Aku diam. Entah apa yang berkecamuk di hatiku, antara sedih, marah, kecewa, takut kehilangan, dan tidak mampu berpikir jauh ke depan. Â Ia hanya menikmati senja di sebuah belik berdua dengan Marsih. Masa bodoh orang yang melihat, mungkin senja kemerahan yang berada dibalik gerumbul pepohonan menjadi saksi terakhir kali bertemu dengan Marsih.
"Aku akan sangat merindumu." Sengaja aku bisikkan di telinganya.
Rasanya menyesal ketika muncul perasaan kenapa harus dipertemukan jika akhirnya hanya dipisahkan.
***
"Oh, itu yang dinamakan cerita yang bikin shock, Min"
"Katanya, kau pernah cerita bahwa orang tuanya memaksa Marsih menjadi pembantu rumah tangga di kota."
"Iya, sih aku pernah cerita begitu, tapi saat bertemu terakhir ia cerita setelah dipikir-pikir orang tuanya mengajak untuk transmigrasi, untuk memperbaiki perekonomiannya. Kebetulan ada tawaran untuk tawaran transmigrasi dan di sana akan diberi lahan sekitar 2 Hektar."
"Perasaanmu waktu itu bagaimana Min."
"Rasanya pengin bunuh diri, Ndes.Benar-benar hancur."
"Begitu ya kalau tengah mabuk cinta..."
"Au ah gelap!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI