"Sih, Meskipun cinta kita baru sebentar, namun sangat berkesan, semoga nanti kalau kamu sudah sampai di sana tidak lupa untuk berkirim surat. Apapun barangkali suatu saat nanti kita berjodoh dan dipertemukan entah kapan."
Marsih, menatapku, masih dengan mata berkata-kata dan tiba-tiba ia memelukku erat, ia mendekam dan membenamkan kepalanya di dadaku.
Jantungku rasanya berdetak amat keras, inikah rasanya dipeluk oleh perempuan begitu lama. Marsih seperti ingin berlama-lama memelukku sebelum mengucapkan salam perpisahan.
"Mas, Kamu adalah cinta pertamaku dan tidak mungkin melupakan sampai kapanpun."
Aku diam. Entah apa yang berkecamuk di hatiku, antara sedih, marah, kecewa, takut kehilangan, dan tidak mampu berpikir jauh ke depan. Â Ia hanya menikmati senja di sebuah belik berdua dengan Marsih. Masa bodoh orang yang melihat, mungkin senja kemerahan yang berada dibalik gerumbul pepohonan menjadi saksi terakhir kali bertemu dengan Marsih.
"Aku akan sangat merindumu." Sengaja aku bisikkan di telinganya.
Rasanya menyesal ketika muncul perasaan kenapa harus dipertemukan jika akhirnya hanya dipisahkan.
***
"Oh, itu yang dinamakan cerita yang bikin shock, Min"
"Katanya, kau pernah cerita bahwa orang tuanya memaksa Marsih menjadi pembantu rumah tangga di kota."
"Iya, sih aku pernah cerita begitu, tapi saat bertemu terakhir ia cerita setelah dipikir-pikir orang tuanya mengajak untuk transmigrasi, untuk memperbaiki perekonomiannya. Kebetulan ada tawaran untuk tawaran transmigrasi dan di sana akan diberi lahan sekitar 2 Hektar."