Pelan-pelan aku mendekat, kubiarkan kepala Marsih rebah di pundakku.
Aku merasakan air hangat menelusur dadaku, air mata yang menetes deras muncul. Pasti ada yang dipikirkan Marsih.
"Mas, Minggu depan aku pindah ke Sumatra, ikut orang tuaku transmigrasi."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Benarkah yang kudengar. Begitu singkatnya sebuah kenikmatan cinta hingga akhirnya harus terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Rasanya baru kemarin kita menjalin cinta, ternyata secepat itu kita akan berpisah. Aku baru mengerti bahwa ada butir-butir cinta mulai mekar dan berkembang, ternyata, secepat itu peristiwa indah akan berlalu.
"Kamu yakin akan berangkat minggu depan, Sih?"
Marsih mengangguk pelan, dari sudut matanya mulai berlelehan air mata, ia menunduk dan tak mampu menatap mataku lama-lama.
"Tak bisa kubayangkan hidup tanpamu Marsih."
Kesedihan yang kurasakan bukan tentang air mata yang membanjir dari pelupuk mata, hanya ada rasa kosong, dan tidak mampu berkata-kata, langit yang cerah tiba-tiba mendung, hal-hal indah yang terajut, rasanya pecah berkeping-keping, tidak lagi terangkai rapi, melainkan seperti benang ruwet.
Dunia seperti berputar cepat. Dan aku tidak tahu harus mengatakan apa selain hanya diam dan menekuri, hidup yang rasanya tidak adil. Secepat itukah. Seperti kilat, saja, terang sebentar lalu dunia sekitar terasa gelap kembali oleh mendung yang menggelantung. Bayang-bayang pucuk daun kemerahan di ufuk barat seperti menyiratkan kesedihan.
Setelah sedikit tertata, aku mulai meraih tangan Marsih. Â kemudian kuseka lelehan air matanya, kebetulan aku membawa sapu tangan.