"Tak usah berdiri, nak." ujar seorang wanita berusia mirip dengan ibunya yang sedang melonjorkan kaki di dekatnya.
"Bayi, bu. Tadi saya menggendong bayi!"
"Dia sudah dibawa warga setempat untuk segera dikuburkan."
Mendengar perkataan sang ibu, Vinny lalu menangis. Ia rasanya tak percaya peristiwa yang dialaminya pada pagi ini. Pagi yang pada mulanya baik-baik saja. Pagi yang sebenarnya ia ingin memberikan kejutan pada sahabatnya itu.Â
19 Juli adalah hari ulang tahun Susan, dan Vinny ketika itu sudah mempersiapkan kado untuk Susan berupa rash guard (pakaian khusus surfing) beserta leash (tali di kaki) yang dibelinya jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Sipora, dan rencananya Vinny akan memberikan kado tersebut usai ia memfoto Susan berselancar seharian.
Vinny kemudian mengusap air matanya. Ia menginsafi bahwa ia terlalu larut dalam pikirannya. Pada malam itu hanya sinar rembulan yang menerangi lokasi pengungsian. Suara derik jangkrik atau pun dengung nyamuk tak sekali pun terdengar di sana. Mereka seperti ikut berduka dengan peristiwa tadi pagi yang meluluhlantakkan pulau ini.
Melihat lekat-lekat situasi di sekitar, Vinny baru sadar bahwa ia ternyata sedang berada di sebuah tanah lapang, dan di tempat itu tampak ratusan orang berkumpul tanpa dinaungi tenda.Â
Di sini semua orang jarang ada yang berbicara. Lidah mereka seakan kelu oleh ketakutan. Kebanyakan dari mereka yang mengungsi hanya membawa diri dan benda-benda yang bisa terjangkau oleh tangan mereka. Termasuk seorang ibu yang kala itu berada di dekatnya.
"Apa ibu baik-baik saja?"
"Tak mungkin ibu berkata baik-baik saja, nak, jika tahu rumah yang satu-satunya ibu miliki tersapu ombak."
"Maaf atas perkataanku, bu."