Jalanan yang baru saja diaspal beton oleh pemerintah setempat seketika terbelah---ada juga yang longsor ke dalam bumi. Suara tangis orang-orang mulai membahana di setiap sudut jalan disambut teriakan mereka yang meminta pertolongan.Â
Di pelabuhan, suasana semakin mencekam ketika masyarakat menyaksikan kapal-kapal yang berlabuh mulai tertarik ke tengah laut. Di pantai tempat Vinny dan Susan hendak berselancar, tampak air surut menjauhi bibir pantai.
"Tsunami!" teriak Susan.
Susan segera menarik tanganku disaat aku terpaku menyaksikan gelombang besar di kejauhan yang hendak menerkam daratan---mungkin 20 meter tingginya.Â
Kakiku gemetaran tetapi Susan tetap memaksaku untuk berlari. Kami berdua berlari mengikuti orang-orang yang mencari rambu jalur evakuasi yang terpasang di pinggir pantai.Â
Pada saat itu aku dan Susan hanya sanggup menemukan satu rambu. Selebihnya kami hanya berlari sekencang-kencangnya mengikuti orang-orang yang menurutku juga tak tahu mesti berlari ke arah mana.Â
Perasaanku saat itu tak karuan, dan jantungku berdegup kencang, dan aku cukup putus asa karena sejauh kaki melangkah, jalan yang mendaki tak kunjung kami temukan.
"Vin, panjat pohon itu!" perintah Susan kepadaku.
Di sisi kiriku terdapat sebuah pohon kelapa yang tinggi menjulang ke langit. Aku pun segera memanjat pohon itu disusul Susan yang membantuku naik ke pucuk pohon dengan mendorong bokongku lewat pundaknya.
"Vinny, cepat peluk pohonnya!"
Ombak dari laut seketika menghantam daratan, membanting apa saja yang ada di hadapannya, menarik apa yang dilaluinya ke dasar lautan, dan memuntahkan kembali apa yang telah ditelannya ke daratan. Begitu berulang kali, hingga ia mereda dan mencampakkan semuanya di daratan.