Dengan demikian, Raden Sayidin tidak menggunakan gelar yang biasa dipakai oleh raja-raja sebelumnya yaitu Panembahan. Seperti telah diuraikan, bahwa gelar adalah cermin kekuasaan raja dan kepribadian.
Demikian juga gelar Raden Sayidin, juga mencerminkan visi kekuasaan yang dinginkan dan kepribadian yang ingin ditunjukkan dalam memimpin Mataram.
Masa pemerintahannya dipenuhi dengan intrik-intrik politik yang keji, kejam, biadab dan jauh dari cermin kepribadian raja-raja pendahulunya. Politik eksternalnya membangun hubungan politik dengan VOC. Semua itu dilakukan demi kekuasaan yang ingin dipertahankan.
Maka, pada masa periode Plered, menjadi titik awal kehancuran Mataram, Amangkurat I menjadi tokoh yang menanamkan benih-benih kehancuran Mataram yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Sultan Agung (ayah Raden Sayidin/Amangkurat I). Mengapa demikian? Setidaknya ada tiga hal:
(1) Amangkurat I mempunyai kepribadian yang tidak baik (kejam, bengis, dan biadab) dalam menghadapi elit kerajaan yang tidak sepemikiran. Mereka semua dibinasakan beserta keluarga dan pengikutnya. Termasuk dalam tragedi ini adalah pembunuhan masal terhadap ribuan ulama Mataram yang dianggap berseberangan dengan garis politiknya.
(2) Amangkurat I bukan tipe raja yang pandai. Sebab selama berkuasa selama 30 tahun, tidak ada kemajuan di Mataram. Hanya ada dua catatan yang menjadi peninggalan Amangkurat I yaitu ibukota Mataram di Plered dan Masjid Agung Plered. Sebab kedua bangunan ini atas perintahnya.
Kedua peninggalan tersebut, tidak sebanding dengan kekejaman demi kekejaman yang dilakukan selama Amangkurat I memerintah Mataram kepada orang-orang yang dianggap menghalangi ambisi kekuasaannya. Kekejaman yang dilakukan akan diuraikan pada sub materi Noda Hitam dan Prahara Mataram masa Amangkurat I.
(3) Sikapnya yang kooperatif terhadap VOC. Langkah ini yang mempercepat keruntuhan Mataram.
Dampak terhadap langkah-langkahnya adalah pemberotankan wilayah-wilayah kekuasaan Mataram, bahkan pemberontakan juga dilakukan oleh Putra Mahkota Mataram (Amangkurat II).
Kudeta berhasil digagalkan. Namun Amangkurat II masih menanam dendam kepada ayahnya. Maka puncaknya adalah mendukung pemberontakan Trunojoyo.
Pemberontakan ini berakibat Amangkurat I harus mengungsi keluar istana, dan wafat di dalam pelarian menyelamatkan diri. Jelang kematiannya, ia sempat menyerahkan kekuasaan Mataram kepada anaknya Raden Mas Rahmat (Amangkurat II) yang bergabung dengan ayahnya lagi, setelah merasa dikhianati Trunojoyo.