Artinya, setiap wilayah yang berhasil ditaklukkan harus memeluk agama Islam. Kebijakan ini akhirnya menjadikan Mataram sebagai kerajaan Islam terbesar di wilayah Asia Tenggara.
Sultan Agung juga memerintahkan semua wilayah yang menjadi kekuasaan Mataram, membangun masjid di pusat ibukota pemerintahan masing-masing.Â
Maka selain ada masjid agung kerajaan, juga ada masjid agung di daerah kekuasaan. Sehingga membentangkan masjid-masjid seantero Jawa (khususnya) yang berdekatan dengan alon-alon, pasar, dan pusat pemerintahan. Tata kota demikian dikembangkan oleh Sultan Agung.
Langkah-langkah Sultan Agung akhirnya terdengar penguasa Mekah, maka Sultan Agung diberi gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram (1641). Upacara Gerebeg Sawal maupun Gerebeg Maulid juga menjadi kebijakannya.
Kesimpulan yang dapat diambil, Sultan Agung adalah raja yang menjadikan Mataram memainkan peran politik dan militer yang diperhitungkan di Asia Tenggara.
Walaupun, dua kali tidak berhasil mengusir VOC dari tanah Jawa, namun langkah tersebut membuktikan bahwa Mataram adalah satu-satunya kerajaan Nusantara yang berani melawan hegemoni Belanda lewat kongsi dagangnya yang bernama VOC. Sayang sekali, penerus Sultan Agung tidak mampu melanjutkan warisan kebesaran Mataram tersebut.
Di sisi lain, Sultan Agung juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Mataram berhasil mencapai kejayaan pada masanya. Sebab, raja-raja pendahulunya belum berhasil mencapai Mataram mencapai perkembangan dalam semua bidang.
Kebesaran Mataram tidak hanya ditunjukkan dalam bidang politik, militer, ekonomi saja. Namun juga diikuti perkembangan budaya tulis (literasi) yang secara khusus ditandai lahirnya karya-karya sastra.
3. Periode Ibukota Plered
a. Raden Sayidin (Amangkurat I) (1646-1677)
Sepeninggal Sultan Agung, pemerintahan dilanjutkan oleh Raden Sayidin. Ketika dinobatkan sebagai raja, ia mengambil gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Raden Sayidin sering disebut dengan Amangkurat I (memangku bumi).