Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Situs Plered, Jejak Kebesaran Mataram yang Ternoda Ambisi Kekuasaan

8 Mei 2025   10:19 Diperbarui: 18 Mei 2025   20:52 7239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reruntuhan Masjid Agung Kauman Plered. Dokpri

Mataram Islam meninggalkan jejak kebesarannya melalui situs-situs yang ditinggalkan. Jejak itu mengurai sejarah Mataram Islam dari masa awal, perkembangan, kebesaran, masa suram, sampai keruntuhannya. Salah satu jejak masa suram Mataram Islam adalah situs Pleret. Mengapa? Sebab bermula dari Plered, perlahan-lahan kekuasaan Mataram mengalami kemunduran. 

Plered merupakan kota kerajaan Mataram setelah Kota Gede dan Kerta. Dalam penelitian Balai Arkeologi Yogjakarta, benteng keraton Plered masih digunakan sebagai salah satu pertahanan pasukan Diponegoro (Ari Setyastuti,dkk: 26). Berdasar fakta ini, maka Plered menjadi bukti adanya estafeta pemerintahan dan kekuasaan Mataram Islam.

Situs Plered menjadi bukti adanya praktik kekuasaan raja yang tidak hanya otoriter dan sewenang-wenang, namun juga menjadi saksi bisu praktik kekuasaan yang "biadab dan ugal-ugalan". Betapa tidak, pada periode inilah terjadi pembunuhan secara sadis kepada elit kerajaan berikut pendukung bahkan keluarganya, yang dianggap mengancam kekuasaan raja.

Maka, dalam periode ini, Mataram Islam ternoda akibat kekuasaan buta sang raja. Oleh sebab itu, pada masa ini, Mataram Islam berada pada era kegelapan. Dan, pada periode ini (Plered), merupakan titik awal robohnya kekuasaan Mataram Islam.

Jejak Arkeologis Situs Plered

Situs Plered meninggalkan beberapa jejak arkeologis yang masih dapat diamati. Jejak yang ada sebagian besar berupa reruntuhan, yang masih utuh sepertinya hanya makam Ratu Malang yang berada di Gunung Kelir. Beberapa situs itu antara lain: pondasi keraton, pondasi benteng, beberapa sisa tanggul, pagar, dan toponim yaitu nama-nama daerah lama yang masih bisa dilacak. (Ari Setyastuti, dkk:116).

Reruntuhan keraton Plered.Sumber: https://www.krjogja.com
Reruntuhan keraton Plered.Sumber: https://www.krjogja.com
Berdasar amatan penulis di lokasi, juga terdapat reruntuhan Masjid Agung Kauman Pleret. Di dalam reruntuhan tersebut terlihat adanya bekas mihrab, umpak masjid yang terbuat dari batu andesit, tembok masjid yang tebal dengan bahan baku batu bata ukuran besar, serta adanya pagar.

Salah satu Umpak berbahan batu andesit yang masih berada di tempat penggalian.Dokpri
Salah satu Umpak berbahan batu andesit yang masih berada di tempat penggalian.Dokpri

Melalui papan informasi di Situs Plered, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY menjelaskan bahwa Masjid Agung Plered (masyarakat menyebut Masjid Kauman Pleret), disebut juga Masjid Ngeksiganda.

Masjid ini merupakan masjid kerajaan, seperti masjid Agung Mataraman Kotagede. Masjid ini juga difungsikan sebagai tempat ibadah raja, bangsawan, maupun rakyat Mataram pada saat itu.

Namun tidak diketahui sejak kapan masjid ini mulai tidak berfungsi, sebelum mengalami keruntuhan. (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kundha Kebudayaan DIY).

Masih berdasar sumber yang sama, bahwa C.A.Lons (delegasi VOC), tahun 1733 diperoleh penjelasan bahwa masjid ini mempunyai ukuran yang besar. Atap masjid besar, terdapat 36 pilar kayu jati, mempunyai 4 pintu (3 pintu di sisi timur, 1 pintu di sisi barat). Ruang masjid luas, dinding yang mengelilingi terbuat dari batu bata setebal 1,5 m.

Dinding masjid Agung tampak sangat tebal berbahan batu bata.Dokpri
Dinding masjid Agung tampak sangat tebal berbahan batu bata.Dokpri

Rekonstruksi pilar-pilar Masjid Agung Plered terbuat dari kayu jati.Dokpri
Rekonstruksi pilar-pilar Masjid Agung Plered terbuat dari kayu jati.Dokpri
Seperti diketahui, bahwa komponen bangunan masjid terdiri dari atap, mihrab (tempat pengimaman), ruang utama, teras, dinding, soko guru. Maka, berdasar penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa masjid Agung Plered termasuk masjid yang berukuran besar. Hal ini dapat dilihat pada jumlah pilar dan ketebalan dinding.

Kondisi kegiatan ekskavasi yang berada di reruntuhan ruang utama Masjid Agung Plered.Dokpri
Kondisi kegiatan ekskavasi yang berada di reruntuhan ruang utama Masjid Agung Plered.Dokpri

Jejak Sejarah Plered, Ibu Kota Mataram Islam ke Tiga

Ibukota kerajaan Mataram Islam mengalami perpindahan beberapa kali. Setidaknya terjadi empat kali. Perpindahan ibukota dilatarbelakangi oleh alasan politik dan mitos.

Alasan politik untuk kepentingan keamanan, efektivitas pemerintahan, maupun sosial ekonomi. Alasan mitos berkaitan dengan keyakinan tentang tempat lama dianggap sudah tidak suci, sebagai akibat adanya pemberontakan atau serangan musuh.

Untuk mengulas jejak sejarah Plered, kiranya perlu diungkap tentang beberapa ibukota Mataram Islam. Jejak perpindahan ibukota Mataram Islam dapat dilihat pada tabel berikut:

Data pada tabel diolah.Dokpri
Data pada tabel diolah.Dokpri

Pada tabel di atas ditampilkan tentang ibukota Mataram Islam, raja yang memerintah, periode tahun pemerintahan, dan gelar raja-raja Mataram Islam. 

Mengapa harus mengulas periode Kota Gede dan Kerta? Sebab kedua periode ini menjadi latar belakang hadirnya Plered sebagai ibukota Mataram yang ke tiga.

Peristiwa-peristiwa monumental pada kedua periode tersebut kiranya perlu diulas (walaupun secara singkat), agar dapat membandingkan kondisi Mataram masa periode Plered dengan periode Kota Gede dan Kerta secara khusus.

Ditampilkannya gelar masing-masing raja, selain untuk membandingkan gelar masing-masing raja Mataram sejak Senopati, Hanyokrowati, sampai Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung, juga untuk membaca konsep raja tentang kekuasaan yang diembannya. Sebab gelar selain menjadi cermin visi kekuasaan yang diemban dan simbol kebesaran raja, juga menjadi cermin kepribadian sang raja. 

Berdasar tabel di atas akan diulas kilas balik sejarah (peristiwa-peristiwa penting) yang terjadi di masing-masing ibukota. Uraian tentang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai berikut:

1. Periode Ibukota Kota Gede

Periode ibu kota Kota Gede, sebenarnya diperankan oleh tiga tokoh yaitu Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya, dan Raden Mas Jolang. Pemanahan sebagai pendiri Kota Gede, namun masih menjadi bagian dari Pajang (kadipaten). Selanjutnya, Sutawijaya menjadi penerus Pemanahan.

Pada saat Sutawijaya berkuasa, berhasil mendirikan kerajaan baru penerus Pajang, yaitu kerajaan Mataram. Maka Sutawijaya adalah pendiri kerajaan Mataram Islam. Sedangkan Raden Mas Jolang, adalah penerus kepemimpinan Mataram yang menggantikan Sutawijaya (Senopati) yang beribukota di Kota Gede.

a. Masa Pemerintahan Sutawijaya atau Senopati (1575-1601)

Sutawijaya adalah raja Mataram pertama. Sejak menjadi raja ia bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa.

Gelar ini menunjukkan bahwa Sutawijaya  adalah pemimpin politik, pemimpin perang, dan pemimpin agama di tanah Jawa. Sutawijaya akhirnya populer dengan sebutan Panembahan Senopati.

Pada masa Senopati, dibangun Masjid Agung Kotagede. Kalau Patih Gajah Mada mempunyai Sumpah Palapa, Senopati mempunyai Visi politiknya menyatukan pulau Jawa (Abimanyu,2015:29).

Wilayah Mataram masa Senopati adalah Jawa Timur antara lain Surabaya, Madiun, dan Ponorogo, Jawa Barat terdiri dari Cirebon dan Galuh. Perwujudan visi tersebut adalah wilayah Mataram membentang dari Jawa Barat (sebagian), Jawa Tengah, sampai Jawa Timur (kecuali Blambangan). Senopati adalah peletak dasar kebesaran Mataram Islam. Senopati wafat tahun 1601, ia digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Jolang.

Wilayah Mataram masa Senopati terbagi menjadi dua yaitu wilayah dalam dan luar. Wilayah dalam merupakan pusat pemerintahan dan negara agung sebagai daerah apanage (daerah pelungguh) bagi pejabat kerajaan.

Sedangkan wilayah luar merupakan kekuasaan kerajaan Mataram yang meliputi daerah-daerah otonomi yang luas yang terdiri dari mancanegara dan pesisiran. (Sutrisno Kutoyo dalam Abimanyu,2015:378). Wilayah ini makin mantab keberadaannya sejak Sultan Agung menjadi raja Mataram.

b. Masa Pemerintahan Raden Mas Jolang (1601-1613)

Raden Mas Jolang menggantikan Senopati dengan gelar Panembahan Hanyokrowati. Sebagai raja Mataram yang ke dua, ia masih menggunakan gelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyokrowati Senopati ing Alaga Mataram. Gelar Panembahan yang melekat pada Senopati, masih disematkan sebagai gelar kebesarannya.

Ibukota kerajaan juga masih mempertahankan Kota Gede. Wilayah kekuasaan Mataram bertambah antara lain menaklukkan Demak. Lamongan, Gresik, dan Tuban.

Ujian politik masa pemerintahannya adalah pemberontakan Pangeran Puger (putra ketiga Senopati), dan Pangeran Jayaraga (putra ketujuh Senopati). Seperti diketahui bahwa Senopati saat berkuasa, mempunyai tiga istri.

Dari ketiga istrinya, Senopati mempunyai 14 anak. Maka, pemberontakan tersebut adalah pemberontakan kakak dan adiknya sendiri (perebutan kekuasaan antar anak-anak Senopati yang berbeda istri).

Semua pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan. Seperti diketahui bahwa Hanyokrowati adalah putra ke delapan dari empat belas putra Senopati. Raden Mas Jolang wafat tahun 1613.

2. Periode Ibukota Kerta

Sepeninggal Hanyokrowati (1613), tampuk pemerintahan Mataram dilanjutkan putranya yang bernama Raden Mas Rangsang (1613-1645). Ia menjadi raja ke tiga Mataram.

Gelar yang terkenal ada dua yaitu Panembahan Hanyokrokusumo (1624), dan Sultan Agung ing Ngalaga Abdurarahman (1641). Raden Mas Rangsang dikenal dengan sebutan Sultan Agung.

Sebutan Sultan Agung setelah ia berhasil membuktikan dirinya sebagai raja yang mempunyai pengaruh besar. Jadi, gelar Panembahan yang melekat pada pendahulunya, masih disematkan dalam penggunaan gelar kekuasaannya.

Selanjutnya gelar sultan yang disematkan, berlanjut pada Kasultanan Ngayogjakarta sekarang ini. Sedangkan gelar sunan, berlanjut pada kasunanan Surakarta.

Peristiwa penting pada masa pemerintahannya adalah memindahkan ibukota Mataram dari Kota Gede ke Kerta (lima kilometer dari Kota Gede). Belum diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota tersebut. Namun, sangat mungkin untuk menghindari pemberontakan baik dari keluarga maupun para penguasa vasal yang menjadi kekuasaan Mataram.

Pada masa Sultan Agung, ia berhasil melakukan langkah-langkah dalam membangun kerajaan Mataram menjadi kerajaan yang besar dan kuat. Oleh sebab itu pada masa Sultan Agung terjadi beberapa peristiwa penting sebagai berikut:

a) Perluasan wilayah Mataram

Wilayah Mataram masa Sultan Agung meliputi Wirasaba (1615), Lasem (1616), Pasuruan (1617), Gresik (1618), Tuban (1619), Madura (1624), Surabaya (1625), Giri (1636), dan Blambangan (1639).

Wilayah-wilayah tersebut sejak Sultan Agung menjadi raja, menjadi wilayah yang secara mutlak mengakui kekuasaan Mataram. Wilayah Jawa bagian barat hampir semua dikuasai kecuali Banten dan Batavia. Selanjutnya Mataram juga berhasil menaklukkan Palembang, Jambi, Banjarmasin, dan Makassar.

Wilayah Mataram Islam masa Sultan Agung. Gambra:Repro dari Buku Sejarah Mataram, Karya Soedjipto Abimanyu.
Wilayah Mataram Islam masa Sultan Agung. Gambra:Repro dari Buku Sejarah Mataram, Karya Soedjipto Abimanyu.

Dengan demikian, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat (kecuali Banten dan Batavia), beberapa daerah di Sumatra (Palembang, Jambi) dan Kalimantan (Banjarmasin dan Makassar). Semua wilayah tersebut dikendalikan secara terpadu dari ibukota kerajaan Mataram.

b) Pembangunan Ekonomi Kerajaan

Sultan Agung menggerakkan ekonomi agraris sebagai pilar utama pembangunan kemakmuran rakyat. Untuk menopang ekonomi agraris juga dikembangkan ekonomi maritim di wilayah pesisir utara Jawa yang sudah menjadi kekuasaannya. Pada saat itu Mataram menjadi negara pengekspor beras.

c) Pembangunan Angkatan Perang

Sultan Agung melakukan pembangunan militer secara besar-besaran dalam membangun kekuatan Angkatan perangnya. Sehingga Mataram memiliki kekuatan militer terbesar di Nusantara saat itu. Namun lebih dominan dalam pembangunan Angkatan darat.

d) Pengembangan Bidang Budaya

Pada masa Sultan Agung Mataram mengalami perkembangan bidang sosial budaya. Perkembangan sosial budaya tersebut meliputi:

1) Perubahan perhitungan tahun Saka (Hindu) menjadi tahun Islam (Hijriah) yang didasarkan pada perputaran bulan (1633).

2) Lahirnya karya sastra antara lain Serat Sastra Gending (ajaran tasawuf), kitab Serat Nitisruti (pedoman mencapai kedamaian hidup), kitab Serat Nitisastra (pedoman pemerintahan), kitab Serat Astabrata (delapan pedoman kepemimpinan), dan kitab Surya Alam (perpaduan hukum Islam dan adat Jawa). Kitab-kitab tersebut isinya secara umum tuntunan moral, kepemimpinan dan siskritisme ajaran Islam-Hindu.

Pendek kata, pada masa Sultan Agung telah berkembang karya sastra. Hal ini membuktikan bahwa Sultan Agung tidak hanya ahli perang, ahli politik, ahli agama, ia juga ahli budaya.

Karya-karya sastra tersebut menunjukkan bahwa raja juga mempedulikan perkembangan karya sastra. Budaya tulis yang sudah lama terkubur (sejak zaman Kediri), mulai tumbuh kembali pada masa Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung.

e) Pembangunan Bidang Agama

Pada masa Sultan Agung, agama Islam dijadikan sebagai agama negara. Hal ini berarti Islam juga menjadi agama yang dianut oleh rakyat Mataram. Selanjutnya dalam pengembangan agama Islam diterapkan kebijakan Islam sebagai kemenangan politik.

Artinya, setiap wilayah yang berhasil ditaklukkan harus memeluk agama Islam. Kebijakan ini akhirnya menjadikan Mataram sebagai kerajaan Islam terbesar di wilayah Asia Tenggara.

Sultan Agung juga memerintahkan semua wilayah yang menjadi kekuasaan Mataram, membangun masjid di pusat ibukota pemerintahan masing-masing. 

Maka selain ada masjid agung kerajaan, juga ada masjid agung di daerah kekuasaan. Sehingga membentangkan masjid-masjid seantero Jawa (khususnya) yang berdekatan dengan alon-alon, pasar, dan pusat pemerintahan. Tata kota demikian dikembangkan oleh Sultan Agung.

Langkah-langkah Sultan Agung akhirnya terdengar penguasa Mekah, maka Sultan Agung diberi gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram (1641). Upacara Gerebeg Sawal maupun Gerebeg Maulid juga menjadi kebijakannya.

Kesimpulan yang dapat diambil, Sultan Agung adalah raja yang menjadikan Mataram memainkan peran politik dan militer yang diperhitungkan di Asia Tenggara.

Walaupun, dua kali tidak berhasil mengusir VOC dari tanah Jawa, namun langkah tersebut membuktikan bahwa Mataram adalah satu-satunya kerajaan Nusantara yang berani melawan hegemoni Belanda lewat kongsi dagangnya yang bernama VOC. Sayang sekali, penerus Sultan Agung tidak mampu melanjutkan warisan kebesaran Mataram tersebut.

Di sisi lain, Sultan Agung juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Mataram berhasil mencapai kejayaan pada masanya. Sebab, raja-raja pendahulunya belum berhasil mencapai Mataram mencapai perkembangan dalam semua bidang.

Kebesaran Mataram tidak hanya ditunjukkan dalam bidang politik, militer, ekonomi saja. Namun juga diikuti perkembangan budaya tulis (literasi) yang secara khusus ditandai lahirnya karya-karya sastra.

3. Periode Ibukota Plered

a. Raden Sayidin (Amangkurat I) (1646-1677)

Sepeninggal Sultan Agung, pemerintahan dilanjutkan oleh Raden Sayidin. Ketika dinobatkan sebagai raja, ia mengambil gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Raden Sayidin sering disebut dengan Amangkurat I (memangku bumi).

Dengan demikian, Raden Sayidin tidak menggunakan gelar yang biasa dipakai oleh raja-raja sebelumnya yaitu Panembahan. Seperti telah diuraikan, bahwa gelar adalah cermin kekuasaan raja dan kepribadian.

Demikian juga gelar Raden Sayidin, juga mencerminkan visi kekuasaan yang dinginkan dan kepribadian yang ingin ditunjukkan dalam memimpin Mataram.

Masa pemerintahannya dipenuhi dengan intrik-intrik politik yang keji, kejam, biadab dan jauh dari cermin kepribadian raja-raja pendahulunya. Politik eksternalnya membangun hubungan politik dengan VOC. Semua itu dilakukan demi kekuasaan yang ingin dipertahankan.

Maka, pada masa periode Plered, menjadi titik awal kehancuran Mataram, Amangkurat I menjadi tokoh yang menanamkan benih-benih kehancuran Mataram yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Sultan Agung (ayah Raden Sayidin/Amangkurat I). Mengapa demikian? Setidaknya ada tiga hal:

(1) Amangkurat I mempunyai kepribadian yang tidak baik (kejam, bengis, dan biadab) dalam menghadapi elit kerajaan yang tidak sepemikiran. Mereka semua dibinasakan beserta keluarga dan pengikutnya. Termasuk dalam tragedi ini adalah pembunuhan masal terhadap ribuan ulama Mataram yang dianggap berseberangan dengan garis politiknya.

(2) Amangkurat I bukan tipe raja yang pandai. Sebab selama berkuasa selama 30 tahun, tidak ada kemajuan di Mataram. Hanya ada dua catatan yang menjadi peninggalan Amangkurat I yaitu ibukota Mataram di Plered dan Masjid Agung Plered. Sebab kedua bangunan ini atas perintahnya.

Kedua peninggalan tersebut, tidak sebanding dengan kekejaman demi kekejaman yang dilakukan selama Amangkurat I memerintah Mataram kepada orang-orang yang dianggap menghalangi ambisi kekuasaannya. Kekejaman yang dilakukan akan diuraikan pada sub materi Noda Hitam dan Prahara Mataram masa Amangkurat I.

(3) Sikapnya yang kooperatif terhadap VOC. Langkah ini yang mempercepat keruntuhan Mataram.

Dampak terhadap langkah-langkahnya adalah pemberotankan wilayah-wilayah kekuasaan Mataram, bahkan pemberontakan juga dilakukan oleh Putra Mahkota Mataram (Amangkurat II).

Kudeta berhasil digagalkan. Namun Amangkurat II masih menanam dendam kepada ayahnya. Maka puncaknya adalah mendukung pemberontakan Trunojoyo.

Pemberontakan ini berakibat Amangkurat I harus mengungsi keluar istana, dan wafat di dalam pelarian menyelamatkan diri. Jelang kematiannya, ia sempat menyerahkan kekuasaan Mataram kepada anaknya Raden Mas Rahmat (Amangkurat II) yang bergabung dengan ayahnya lagi, setelah merasa dikhianati Trunojoyo.

Maka Amangkurat II adalah raja Mataram yang tidak memiliki mahkota. Sebab istana dikuasai Trunojoyo, selanjutnya Plered dikuasai Pangeran Puger, setelah Trunojoyo meninggalkan Plered. Sejak saat ini, muncul dua raja Mataram yaitu Amangkurat II di pengasingan, dan Pangeran Puger di istana Plered.

Amangkurat II memindahkan (membuat) ibukota Mataram ke Kartasura (1680). Karena secara garis politik ia adalah penerus Amangkurat I. Pangeran Puger dianggap sebagai perebut tahta Mataram. Maka, muncul dua kerajaan Mataram yaitu di Plered dan di Kartasura. Perseteruan keduanya berakhir setelah VOC campur tangan membantu Amangkurat II. Dan, Pangeran Puger yang bertahta di Plered berhasil dikalahkan.

b. Noda Hitam dan Prahara Mataram Masa Amangkurat I

Membahas tentang "noda hitam" dan prahara Mataram masa Amangkurat I, akan lebih focus pada pembahasan tentang kepribadian buruk Amangkurat I. Perangai yang tidak mendukung bagi kemajuan Mataram, diperkuat dengan sikapnya yang kooperatif terhadap VOC, sehingga dalam kurun waktu sekitar 30 tahun, Mataram benar-benar mengalami kehancuran. Setidaknya ada tiga langkah politik Amangkurat I yang menjadi pendorong keruntuhan Mataram:

1) Pemakaian Gelar

Amangkurat I ketika menjadi raja tidak menggunakan gelar Panembahan, namun Susuhunan. Melalui gelar tersebut, ia menginginkan agar raja mempunyai kekuasaan yang mutlak. Sikap inilah yang dalam praktik pemerintahan menimbulkan kerenggangan antara para bangsawan, elit kerajaan, maupun para ulama. Selanjutnya, ketika muncul ketidaksepahaman mereka dengan raja, mereka dibinasakan oleh Amangkurat I. Pemakaian gelar menuntun sikap Amangkurat I menjadi raja yang sewenang-wenang dan kejam.

2) Menghadapi lawan politik

Melakukan pembunuhan kepada siapa saja yang dianggap sebagai lawan politik. Praktik biadab ini diterapkan kepada beberapa elit kerajaan sebagai berikut:

(a) Tumenggung Wiraguna adalah pejabat Senior di Mataram. Ia menjabat di kerajaan sejak masa

Tumenggung Wiraguna adalah pejabat Senior di Mataram. Ia menjabat di kerajaan sejak masa Senopati. Kedudukannya sebagai Patih Mataram. Tumenggung Wiraguna adalah orang pertama yang disingkirkan Amangkurat I.

Penyebabnya adalah dendam Amangkurat I ketika di masa mudanya dihukum buang selama tiga tahun oleh raja, gegara Amangkurat I berbuat tidak senonoh pada istri muda Tumenggung Wiraguna. Ini kekejaman pertama.

(b) Pangeran Alit

Target pembunuhan berikutnya adalah Pangeran Alit. Siapa Pangeran Alit? Ia adalah saudara kandung beda ibu. Pangeran Alit adalah anak Ratu Kulon yang menjadi istri permaisuri pertama Sultan Agung.

Sebelum Amangkurat I naik tahta, sempat terjadi ketegangan dengan Pangeran Alit. Sebab ia adalah anak laki-laki pertama dari permaisuri pertama. Namun sang ibu Amangkurat I berhasil menyingkirkan peran permaisuri pertama. Akhirnya Amangkurat I yang dinobatkan sebagai pengganti Sultan Agung.

Pada saat Amangkurat I sudah berkuasa, mendengar informasi bahwa Pangeran Alit akan membunuhnya. Maka, diperintahkan agar Pangeran Alit berikut keluarga dan pasukannya untuk dibunuh. Setelah dikumpulkan di alon-alon Plered, Pangeran Alit dan keluarganya berikut prajuritnya dibunuh secara kejam. Ini kekejaman kedua.

(c) Ribuan Ulama

Target pembunuhan berikutnya adalah sekitar 6000 ulama berikut keluarganya. Ketika Pangeran Alit dibunuh secara kejam di Alon-alon, Amangkurat I memerintahkan prajuritnya agar mendata semua ulama Mataram berikut keluarganya untuk dibunuh.

Sebab ulamalah yang menyebabkan Pangeran Alit melawan dia. Maka, dikumpulkan ulama berikut keluarganya. Ribuan ulama dibantai secara kejam dan sadis di alon-alon Plered beserta keluarganya.

Alasan utama pembunuhan terhadap ulama dan keluarganya adalah pengaruh besar ulama terhadap rakyat dan elit Mataram. Yang kedua adalah seringnya para ulama memberikan nasihat Amangkurat I untuk tidak bersikap semena-mena. Sikap tersebut dianggap melawan raja, maka disebarlah fitnah bahwa ulama yang menyebabkan Pangeran Alit melawan raja. Ini kekejaman ketiga.

(d) Pangeran Pekik

Target pembunuhan berikutnya adalah Pangeran Pekik, walaupun statusnya adalah sebagai mertua Amangkurat I. Tindakan itu sebagai balasan atas tindakan Pangeran Pekik yang ingin melakukan pembunuhan kepada Amangkurat I sebagai akibat sifat-sifatnya yang buruk. Akhirnya, Pangeran Pekik berhasil dibunuh. Ini kekejaman keempat.

(e) Pangeran Puger dan Purbaya

Target pembunuhan berikutnya adalah Pangeran Puger dan Purbaya. Keduanya adalah putra Panembahan Senopati dari istri yang berbeda. Pangeran Purbaya berhasil dibunuh, namun Pangeran Puger tidak. Sebab Pangeran Puger sempat mengangkat dirinya sebagai raja Mataram di Plered, setelah jatuh ke tangan Trunojoyo. Ini kekejaman kelima.

Dampak langkah-langkah politik yang dilakukan Amangkurat adalah pemberontakan putra Mahkota (Amangkurat II), walaupun berhasil digagalkan. Puncaknya adalah persekongkolan Amangkurat II dengan Trunojoyo yang melakukan pemberontakan, dan berhasil menyingkirkan Amangkurat I keluar dari istana Plered. Sejak pemberontakan Trunojoyo, Mataram sudah berada diambang kehancuran.

3). Menjalin Kerjasama dengan VOC

Kerjasama Amangkurat I dengan VOC berlanjut pada pemerintahan Amangkurat II di ibukota Mataram baru yaitu Kartasura. Kerjasama dengan VOC inilah yang mempercepat Mataram mengalami kehancuran. Sebab akhirnya, VOC lah yang menentukan arah kebijakan Mataram.

Puncaknya adalah lahirnya Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Bahkan pasca Giyanti juga disusul Perjanjian Salatiga yang membagi wilayah Kasunanan Surakarta menjadi wilayah Kasunanan dan Mankunegaran. 

Sedangkan Kasultanan Yogyakarta menjadi Kasultanan dengan Pakualaman. VOC lah yang akhirnya berhasil menjadi penguasa, menggantikan Mataram.

Mataram pada periode Plered sudah memasuki masa kegelapan. Kondisi demikian disebabkan oleh sikap dan perilaku Amangkurat I yang sewenang-wenang dan kejam. Sasaran kekejaman adalah para bangsawan, ulama, bahkan saudara kandung sendiri.

Akibatnya, secara internal, kondisinya tidak kondusif secara politik, secara eksternal Mataram makin kehilangan legitimasi. Maka, pada masa Amangkurat I, Mataram ternoda akibat ambisi kekuasaan buta sang raja.

Setelah Plered jatuh ke tangan Trunojoyo saat melakukan pemberontakan, Amangkurat II yang menjadi raja di pengasingan, akhirnya mendirikan ibukota Mataram baru di Kartasura.

Referensi:

  • Abimanyu Soedjipto.2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram.Saufa.Yogyakarta
  • Abimanyu Soedjipto.2017.Babad Tanah Jawi, Terlengkap dan Terasli.Laksmana.Yogyakarta
  • Ari Setyastuti,dkk.2015Mozaik Pusaka Budaya Yogyakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun