Reformasi Kepolisian dalam Bayang-bayang Politik Kekuasaan
Sejarah reformasi kepolisian di Indonesia selalu terkait dengan dinamika politik kekuasaan. Lahirnya Polri pasca-reformasi 1998 dimaksudkan untuk membebaskan kepolisian dari subordinasi militer dan memperkuat fungsinya sebagai institusi sipil.Â
Namun, dalam praktik, ketergantungan pada dukungan politik eksekutif dan legislatif membuat reformasi kepolisian sering tidak berjalan tuntas.Â
Rencana kehadiran Tim Reformasi Polri yang diinisiasi Presiden Prabowo pun patut dipandang dalam kerangka itu: Apakah hal itu sungguh mendorong perbaikan atau hanya instrumen stabilisasi kekuasaan?
Memang, tidak ada reformasi yang netral dari kepentingan politik. Tapi, persoalannya terletak pada seberapa jauh politik kekuasaan berorientasi pada kepentingan publik.Â
Jika mandat tim sejak awal tidak memiliki fondasi moral yang kuat, reformasi bisa menjadi sekadar kosmetik untuk meredam kritik, bukan agenda perubahan yang serius.
Lebih jauh, legitimasi politik tim juga terkait dengan persepsi publik. Reformasi Polri hanya akan diterima bila ia dilihat sebagai langkah serius membenahi persoalan mendasar kepolisian: kekerasan berlebihan, korupsi internal, penyalahgunaan wewenang, dan hilangnya kepercayaan masyarakat.Â
Tanpa legitimasi publik, tim akan kehilangan daya dorong. Dengan demikian, tim akan berada di persimpangan: Apakah ia akan merepresentasikan aspirasi rakyat, atau sekadar perpanjangan tangan elit penguasa?
Kritik publik terhadap inisiatif reformasi Polri selalu muncul karena pengalaman di masa lalu menunjukkan kecenderungan "setengah hati". Banyak rekomendasi sebelumnya, baik dari Kompolnas maupun tim independen, berhenti di meja birokrasi tanpa implementasi nyata.Â
Risiko yang sama bisa berulang bila tim reformasi saat ini tidak didesain dengan mekanisme pengawalan publik yang kuat. Oleh karena itu, persoalan legitimasi politik bukan sekadar formalitas, melainkan soal apakah rakyat percaya bahwa reformasi kali ini akan sungguh berbeda.
Komposisi Tim: Representatif atau Elitis?
Pertanyaan tentang siapa saja yang duduk di dalam Tim Reformasi Polri menjadi isu krusial. Komposisi tim bukan hanya soal teknis, melainkan simbol representasi.Â
Jika hanya diisi pejabat, purnawirawan, atau orang-orang dekat istana, publik akan menganggap tim ini eksklusif dan tidak memiliki keberpihakan pada masyarakat.Â
Sebaliknya, bila melibatkan akademisi independen, perwakilan masyarakat sipil, tokoh hukum, dan korban penyalahgunaan wewenang aparat, tim akan memiliki legitimasi sosial yang lebih kuat.
Persoalan representasi ini menentukan apakah rekomendasi tim bisa dipercaya. Dalam banyak kasus, reformasi gagal karena tidak ada partisipasi masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan kepolisian.Â
Korban salah tangkap, keluarga korban kekerasan aparat, hingga kelompok minoritas yang rentan diskriminasi sering diabaikan. Padahal, suara mereka penting sebagai penyeimbang perspektif kekuasaan.
Selain itu, komposisi tim juga harus mencerminkan pluralitas keahlian. Reformasi kepolisian bukan hanya soal teknis hukum atau manajemen internal, tetapi juga menyangkut politik, sosiologi, teknologi digital, hingga etika.Â
Kehadiran pakar lintas bidang akan memungkinkan tim memahami kompleksitas masalah Polri. Mulai dari kultur kekerasan hingga tantangan ruang siber.
Namun, inklusivitas komposisi tidak cukup tanpa jaminan independensi. Representasi yang semu, di mana perwakilan masyarakat sipil hanya dijadikan stempel legitimasi, justru akan memperburuk krisis kepercayaan.Â
Tim reformasi bisa jatuh menjadi "teater demokrasi" bila keterlibatan sipil hanya formalitas. Dengan demikian, komposisi bukan sekadar hitungan kursi, melainkan harus menjadi bagian dari upaya memulihkan kredibilitas.
Independensi dan Relasi dengan Elite Politik
Independensi adalah syarat utama agar Tim Reformasi Polri tidak terjebak dalam kepentingan kekuasaan. Tanpa independensi, rekomendasi tim hanya akan berfungsi sebagai alat justifikasi kebijakan pemerintah.Â
Pengalaman reformasi institusi lain di Indonesia menunjukkan bahwa kedekatan dengan elite sering melahirkan kompromi yang melemahkan agenda perubahan.
Relasi dengan elite politik menjadi titik rawan. Presiden tentu memiliki kepentingan menjaga stabilitas, sementara partai politik melihat kepolisian sebagai alat pengaruh.Â
Dalam kondisi seperti itu, independensi tim bisa terkikis. Tim reformasi yang ideal seharusnya memiliki jarak kritis terhadap kekuasaan, sekaligus keberanian untuk menyuarakan hal-hal yang tidak populer.
Masalah independensi juga terkait dengan sumber daya. Jika hanya bergantung pada pemerintah dalam hal pendanaan, sekretariat, dan akses data, tim akan kesulitan bergerak bebas.Â
Oleh karena itu, mekanisme pendukung independensi harus dipikirkan sejak awal. Misalnya, melibatkan lembaga-lembaga nonpemerintah sebagai mitra.
Lebih jauh, independensi tidak hanya persoalan struktur, tetapi juga kultur. Para anggota tim harus memiliki rekam jejak integritas dan tidak terikat oleh kepentingan politik.Â
Integritas personal menjadi fondasi agar rekomendasi yang dihasilkan tidak terdistorsi oleh agenda tersembunyi. Tanpa itu, reformasi hanya akan menghasilkan kebijakan kosmetik.
Pasal-pasal Kontroversial dalam RUU Kepolisian
Jauh sebelum rencana pembentukan Tim Reformasi Polri muncul, pembahasan RUU Kepolisian telah menimbulkan kegelisahan publik. Beberapa pasal dalam RUU ini dianggap memberi kewenangan berlebihan kepada Polri.Â
Pertama, soal penyadapan tanpa izin independen. Kewenangan ini rawan disalahgunakan untuk membungkam oposisi atau aktivis kritis, apalagi tanpa pengawasan lembaga yudisial.
Kedua, pengaturan ruang siber. Polri diberi kendali besar dalam mengawasi aktivitas digital. Padahal, ruang siber adalah medan baru kebebasan berekspresi. Jika tidak ada batasan yang jelas, pasal ini bisa mengarah pada represi dan pembatasan hak-hak sipil. Kontrol berlebihan di dunia digital bisa memperkuat praktik negara pengawas (surveillance state).
Ketiga, konsep "superbody" penyidik. Dengan memberi dominasi penuh kepada Polri dalam penegakan hukum, mekanisme checks and balances antar lembaga penegak hukum terancam. Kewenangan yang terlalu luas tanpa pengawasan akan menggerus prinsip negara hukum.
Keempat, kedudukan Intelkam yang disejajarkan dengan badan intelijen. Hal ini menimbulkan tumpang tindih dengan BIN dan TNI. Lebih jauh, Polri bisa menggunakan kewenangan intelijen untuk menekan kelompok masyarakat sipil, terutama mereka yang dianggap kritis terhadap negara.
Kelima, perpanjangan usia pensiun dan kembalinya Pam Swakarsa. Pensiun yang diperpanjang bisa menjadi sarana melanggengkan loyalitas, sementara Pam Swakarsa berisiko menghidupkan kembali praktik paramiliter sipil yang menimbulkan konflik horisontal.Â
Semua ini menunjukkan bahwa RUU Kepolisian sangat problematis karena cenderung menjadikan Polri sebagai institusi superpower, bukan membatasinya agar lebih akuntabel.
Krisis Pengawasan dan Akuntabilitas
Baik tim reformasi maupun RUU Kepolisian berhadapan dengan satu problem inti: lemahnya pengawasan. Selama ini, mekanisme kontrol terhadap Polri lebih banyak bersifat internal.Â
Masalahnya, pengawasan internal sering gagal karena adanya solidaritas korps dan budaya impunitas. Akibatnya, banyak kasus pelanggaran tidak pernah sampai ke meja hukum.
RUU Kepolisian justru memperlemah pengawasan eksternal. Dengan memperluas kewenangan tanpa memperkuat mekanisme kontrol, Polri berpotensi menjadi lembaga yang tidak tersentuh hukum.Â
Inilah yang menimbulkan kekhawatiran akan lahirnya institusi superbody yang kebal kritik dan bahkan kebal hukum.
Oleh karena itu, tim reformasi harus fokus pada desain pengawasan yang independen. Misalnya, memperkuat peran Kompolnas, Ombudsman, atau bahkan membentuk lembaga pengawas baru yang memiliki otoritas jelas.Â
Pengawasan harus bersifat eksternal, partisipatif, dan memiliki akses penuh terhadap data internal Polri.
Selain itu, akuntabilitas juga menyangkut transparansi. Publik berhak mengetahui perkembangan kasus, penggunaan anggaran, hingga evaluasi kinerja aparat.Â
Reformasi tanpa keterbukaan hanya akan memperkuat persepsi bahwa Polri menyembunyikan masalah. Dengan demikian, transparansi adalah kunci agar upaya reformasi menjadi kredibel.
Hubungan Sipil-Polisi dan Kepercayaan Publik
Reformasi kepolisian sejatinya adalah soal membangun kembali kepercayaan publik. Selama ini, hubungan sipil-polisi diwarnai kecurigaan.Â
Banyak warga melihat polisi lebih sebagai alat kekuasaan daripada pelindung masyarakat. Kasus kekerasan, salah tangkap, pemerasan, dan kriminalisasi memperdalam krisis legitimasi.
RUU Kepolisian yang memperkuat kewenangan aparat tanpa pengawasan justru akan memperburuk relasi ini. Publik akan semakin melihat polisi sebagai ancaman, bukan pelindung.Â
Kepercayaan publik tidak bisa dibangun dengan memperluas kekuasaan, melainkan dengan memperbaiki akuntabilitas dan integritas.
Tim reformasi perlu menempatkan agenda pemulihan kepercayaan publik sebagai prioritas utama. Ini bisa dilakukan dengan mereformasi pola pendidikan kepolisian, memperkuat etika pelayanan, dan membangun mekanisme pengaduan yang ramah masyarakat. Tanpa itu, polisi akan terus dipersepsikan sebagai aparat represif.
Kepercayaan publik juga terkait dengan perlindungan terhadap minoritas. Jika Polri justru menjadi alat untuk menekan kelompok rentan, demokrasi Indonesia akan semakin rapuh.Â
Oleh karena itu, reformasi kepolisian harus dipahami bukan sekadar agenda teknis, tetapi agenda moral untuk memastikan bahwa aparat berdiri di pihak rakyat.
Kepentingan Elite vs Kepentingan Publik
Pada akhirnya, semua isu ini bermuara pada konflik antara kepentingan elite dan kepentingan publik. Elite politik ingin mempertahankan stabilitas dan mengamankan kekuasaan, sementara publik ingin kepolisian yang profesional, adil, dan transparan. Reformasi akan gagal jika hanya mengakomodasi kepentingan elite.
RUU Kepolisian yang memperluas kewenangan aparat tampak lebih melayani kepentingan elite ketimbang publik. Sementara itu, Tim Reformasi Polri hanya akan bermakna jika ia berpihak pada kepentingan rakyat. Perjuangan reformasi, dengan demikian, bukan hanya soal desain kelembagaan, tetapi juga soal keberanian memilih pihak.
Jika agenda reformasi lebih dekat dengan elite, Polri akan semakin menjauh dari masyarakat. Sebaliknya, bila reformasi sungguh berpihak pada rakyat, maka Polri bisa menjadi institusi sipil yang demokratis.Â
Pilihan ini tidak bisa ditunda, karena masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana polisi menjalankan perannya.
Oleh karena itu, titik temu antara Tim Reformasi dan RUU Kepolisian harus ditemukan pada simpul krusial: pengawasan, akuntabilitas, dan perlindungan hak warga.Â
Jika simpul ini diabaikan, reformasi Polri hanya akan melahirkan polisi yang lebih represif. Tapi, jika simpul ini diperkuat, Indonesia berpeluang melahirkan kepolisian yang profesional, demokratis, dan dipercaya publik.
Reformasi Polri Menentukan Masa Depan Demokrasi
Reformasi kepolisian bukanlah agenda sederhana yang bisa diselesaikan dengan pembentukan sebuah tim atau revisi undang-undang semata.Â
Ini adalah proyek jangka panjang yang menyentuh akar persoalan: relasi antara kekuasaan, aparat, dan rakyat.Â
Tim Reformasi Polri dan RUU Kepolisian berada di dua jalur yang berbeda, tetapi saling terkait.Â
Tim reformasi mengusung semangat pembaruan, sementara RUU Kepolisian membawa risiko pelebaran kewenangan tanpa pengawasan.Â
Pertemuan keduanya akan menentukan apakah kepolisian Indonesia akan semakin demokratis atau justru semakin represif.
Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa persoalan tidak hanya terletak pada pasal-pasal kontroversial atau komposisi tim, melainkan juga pada orientasi moral: berpihak pada rakyat ataukah pada kepentingan elite.Â
Reformasi akan kehilangan makna bila hanya dimanfaatkan sebagai instrumen stabilisasi kekuasaan. Sebaliknya, ia akan menjadi momentum emas bila mampu mengembalikan polisi kepada jati dirinya sebagai pelindung masyarakat.
Tantangan yang ada menunjukkan perlunya sikap kritis dan keterlibatan aktif masyarakat sipil. Pengawasan publik, peran media independen, dan suara kelompok akademisi menjadi penting untuk menjaga agar agenda reformasi tidak diseret ke ranah politik sempit.Â
Reformasi Polri harus dipandang sebagai kepentingan bangsa, bukan milik satu rezim atau kelompok politik tertentu.
Pada akhirnya, keberhasilan reformasi Polri akan diukur dari seberapa jauh mampu membangun kembali kepercayaan publik. Kepercayaan tidak lahir dari retorika, melainkan dari praktik: polisi yang transparan, akuntabel, humanis, dan berpihak pada hukum serta keadilan.Â
Jika kepercayaan ini pulih, kepolisian akan kembali menjadi institusi yang dipandang sebagai mitra masyarakat, bukan alat represi negara.
Dengan demikian, reformasi Polri adalah jalan panjang yang menuntut konsistensi, keberanian, dan integritas.Â
Tim Reformasi Polri hanya akan berarti bila mampu menegaskan batas kewenangan dalam RUU Kepolisian, memperkuat mekanisme pengawasan, dan memastikan bahwa kepolisian tetap berada dalam kerangka negara hukum demokratis.Â
Tanpa itu semua, Indonesia akan menghadapi risiko lahirnya kepolisian superpower yang menggerogoti fondasi demokrasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI