Komposisi Tim: Representatif atau Elitis?
Pertanyaan tentang siapa saja yang duduk di dalam Tim Reformasi Polri menjadi isu krusial. Komposisi tim bukan hanya soal teknis, melainkan simbol representasi.Â
Jika hanya diisi pejabat, purnawirawan, atau orang-orang dekat istana, publik akan menganggap tim ini eksklusif dan tidak memiliki keberpihakan pada masyarakat.Â
Sebaliknya, bila melibatkan akademisi independen, perwakilan masyarakat sipil, tokoh hukum, dan korban penyalahgunaan wewenang aparat, tim akan memiliki legitimasi sosial yang lebih kuat.
Persoalan representasi ini menentukan apakah rekomendasi tim bisa dipercaya. Dalam banyak kasus, reformasi gagal karena tidak ada partisipasi masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan kepolisian.Â
Korban salah tangkap, keluarga korban kekerasan aparat, hingga kelompok minoritas yang rentan diskriminasi sering diabaikan. Padahal, suara mereka penting sebagai penyeimbang perspektif kekuasaan.
Selain itu, komposisi tim juga harus mencerminkan pluralitas keahlian. Reformasi kepolisian bukan hanya soal teknis hukum atau manajemen internal, tetapi juga menyangkut politik, sosiologi, teknologi digital, hingga etika.Â
Kehadiran pakar lintas bidang akan memungkinkan tim memahami kompleksitas masalah Polri. Mulai dari kultur kekerasan hingga tantangan ruang siber.
Namun, inklusivitas komposisi tidak cukup tanpa jaminan independensi. Representasi yang semu, di mana perwakilan masyarakat sipil hanya dijadikan stempel legitimasi, justru akan memperburuk krisis kepercayaan.Â
Tim reformasi bisa jatuh menjadi "teater demokrasi" bila keterlibatan sipil hanya formalitas. Dengan demikian, komposisi bukan sekadar hitungan kursi, melainkan harus menjadi bagian dari upaya memulihkan kredibilitas.
Independensi dan Relasi dengan Elite Politik