Independensi adalah syarat utama agar Tim Reformasi Polri tidak terjebak dalam kepentingan kekuasaan. Tanpa independensi, rekomendasi tim hanya akan berfungsi sebagai alat justifikasi kebijakan pemerintah.Â
Pengalaman reformasi institusi lain di Indonesia menunjukkan bahwa kedekatan dengan elite sering melahirkan kompromi yang melemahkan agenda perubahan.
Relasi dengan elite politik menjadi titik rawan. Presiden tentu memiliki kepentingan menjaga stabilitas, sementara partai politik melihat kepolisian sebagai alat pengaruh.Â
Dalam kondisi seperti itu, independensi tim bisa terkikis. Tim reformasi yang ideal seharusnya memiliki jarak kritis terhadap kekuasaan, sekaligus keberanian untuk menyuarakan hal-hal yang tidak populer.
Masalah independensi juga terkait dengan sumber daya. Jika hanya bergantung pada pemerintah dalam hal pendanaan, sekretariat, dan akses data, tim akan kesulitan bergerak bebas.Â
Oleh karena itu, mekanisme pendukung independensi harus dipikirkan sejak awal. Misalnya, melibatkan lembaga-lembaga nonpemerintah sebagai mitra.
Lebih jauh, independensi tidak hanya persoalan struktur, tetapi juga kultur. Para anggota tim harus memiliki rekam jejak integritas dan tidak terikat oleh kepentingan politik.Â
Integritas personal menjadi fondasi agar rekomendasi yang dihasilkan tidak terdistorsi oleh agenda tersembunyi. Tanpa itu, reformasi hanya akan menghasilkan kebijakan kosmetik.
Pasal-pasal Kontroversial dalam RUU Kepolisian
Jauh sebelum rencana pembentukan Tim Reformasi Polri muncul, pembahasan RUU Kepolisian telah menimbulkan kegelisahan publik. Beberapa pasal dalam RUU ini dianggap memberi kewenangan berlebihan kepada Polri.Â
Pertama, soal penyadapan tanpa izin independen. Kewenangan ini rawan disalahgunakan untuk membungkam oposisi atau aktivis kritis, apalagi tanpa pengawasan lembaga yudisial.