Kedua, pengaturan ruang siber. Polri diberi kendali besar dalam mengawasi aktivitas digital. Padahal, ruang siber adalah medan baru kebebasan berekspresi. Jika tidak ada batasan yang jelas, pasal ini bisa mengarah pada represi dan pembatasan hak-hak sipil. Kontrol berlebihan di dunia digital bisa memperkuat praktik negara pengawas (surveillance state).
Ketiga, konsep "superbody" penyidik. Dengan memberi dominasi penuh kepada Polri dalam penegakan hukum, mekanisme checks and balances antar lembaga penegak hukum terancam. Kewenangan yang terlalu luas tanpa pengawasan akan menggerus prinsip negara hukum.
Keempat, kedudukan Intelkam yang disejajarkan dengan badan intelijen. Hal ini menimbulkan tumpang tindih dengan BIN dan TNI. Lebih jauh, Polri bisa menggunakan kewenangan intelijen untuk menekan kelompok masyarakat sipil, terutama mereka yang dianggap kritis terhadap negara.
Kelima, perpanjangan usia pensiun dan kembalinya Pam Swakarsa. Pensiun yang diperpanjang bisa menjadi sarana melanggengkan loyalitas, sementara Pam Swakarsa berisiko menghidupkan kembali praktik paramiliter sipil yang menimbulkan konflik horisontal.Â
Semua ini menunjukkan bahwa RUU Kepolisian sangat problematis karena cenderung menjadikan Polri sebagai institusi superpower, bukan membatasinya agar lebih akuntabel.
Krisis Pengawasan dan Akuntabilitas
Baik tim reformasi maupun RUU Kepolisian berhadapan dengan satu problem inti: lemahnya pengawasan. Selama ini, mekanisme kontrol terhadap Polri lebih banyak bersifat internal.Â
Masalahnya, pengawasan internal sering gagal karena adanya solidaritas korps dan budaya impunitas. Akibatnya, banyak kasus pelanggaran tidak pernah sampai ke meja hukum.
RUU Kepolisian justru memperlemah pengawasan eksternal. Dengan memperluas kewenangan tanpa memperkuat mekanisme kontrol, Polri berpotensi menjadi lembaga yang tidak tersentuh hukum.Â
Inilah yang menimbulkan kekhawatiran akan lahirnya institusi superbody yang kebal kritik dan bahkan kebal hukum.
Oleh karena itu, tim reformasi harus fokus pada desain pengawasan yang independen. Misalnya, memperkuat peran Kompolnas, Ombudsman, atau bahkan membentuk lembaga pengawas baru yang memiliki otoritas jelas.Â