Tim reformasi mengusung semangat pembaruan, sementara RUU Kepolisian membawa risiko pelebaran kewenangan tanpa pengawasan.Â
Pertemuan keduanya akan menentukan apakah kepolisian Indonesia akan semakin demokratis atau justru semakin represif.
Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa persoalan tidak hanya terletak pada pasal-pasal kontroversial atau komposisi tim, melainkan juga pada orientasi moral: berpihak pada rakyat ataukah pada kepentingan elite.Â
Reformasi akan kehilangan makna bila hanya dimanfaatkan sebagai instrumen stabilisasi kekuasaan. Sebaliknya, ia akan menjadi momentum emas bila mampu mengembalikan polisi kepada jati dirinya sebagai pelindung masyarakat.
Tantangan yang ada menunjukkan perlunya sikap kritis dan keterlibatan aktif masyarakat sipil. Pengawasan publik, peran media independen, dan suara kelompok akademisi menjadi penting untuk menjaga agar agenda reformasi tidak diseret ke ranah politik sempit.Â
Reformasi Polri harus dipandang sebagai kepentingan bangsa, bukan milik satu rezim atau kelompok politik tertentu.
Pada akhirnya, keberhasilan reformasi Polri akan diukur dari seberapa jauh mampu membangun kembali kepercayaan publik. Kepercayaan tidak lahir dari retorika, melainkan dari praktik: polisi yang transparan, akuntabel, humanis, dan berpihak pada hukum serta keadilan.Â
Jika kepercayaan ini pulih, kepolisian akan kembali menjadi institusi yang dipandang sebagai mitra masyarakat, bukan alat represi negara.
Dengan demikian, reformasi Polri adalah jalan panjang yang menuntut konsistensi, keberanian, dan integritas.Â
Tim Reformasi Polri hanya akan berarti bila mampu menegaskan batas kewenangan dalam RUU Kepolisian, memperkuat mekanisme pengawasan, dan memastikan bahwa kepolisian tetap berada dalam kerangka negara hukum demokratis.Â
Tanpa itu semua, Indonesia akan menghadapi risiko lahirnya kepolisian superpower yang menggerogoti fondasi demokrasi.