Pengawasan harus bersifat eksternal, partisipatif, dan memiliki akses penuh terhadap data internal Polri.
Selain itu, akuntabilitas juga menyangkut transparansi. Publik berhak mengetahui perkembangan kasus, penggunaan anggaran, hingga evaluasi kinerja aparat.Â
Reformasi tanpa keterbukaan hanya akan memperkuat persepsi bahwa Polri menyembunyikan masalah. Dengan demikian, transparansi adalah kunci agar upaya reformasi menjadi kredibel.
Hubungan Sipil-Polisi dan Kepercayaan Publik
Reformasi kepolisian sejatinya adalah soal membangun kembali kepercayaan publik. Selama ini, hubungan sipil-polisi diwarnai kecurigaan.Â
Banyak warga melihat polisi lebih sebagai alat kekuasaan daripada pelindung masyarakat. Kasus kekerasan, salah tangkap, pemerasan, dan kriminalisasi memperdalam krisis legitimasi.
RUU Kepolisian yang memperkuat kewenangan aparat tanpa pengawasan justru akan memperburuk relasi ini. Publik akan semakin melihat polisi sebagai ancaman, bukan pelindung.Â
Kepercayaan publik tidak bisa dibangun dengan memperluas kekuasaan, melainkan dengan memperbaiki akuntabilitas dan integritas.
Tim reformasi perlu menempatkan agenda pemulihan kepercayaan publik sebagai prioritas utama. Ini bisa dilakukan dengan mereformasi pola pendidikan kepolisian, memperkuat etika pelayanan, dan membangun mekanisme pengaduan yang ramah masyarakat. Tanpa itu, polisi akan terus dipersepsikan sebagai aparat represif.
Kepercayaan publik juga terkait dengan perlindungan terhadap minoritas. Jika Polri justru menjadi alat untuk menekan kelompok rentan, demokrasi Indonesia akan semakin rapuh.Â
Oleh karena itu, reformasi kepolisian harus dipahami bukan sekadar agenda teknis, tetapi agenda moral untuk memastikan bahwa aparat berdiri di pihak rakyat.