Reuni Tidak Terduga
Mila itu sejak dulu memang selalu bikin heboh. Aku ingat, dulu rumah kami satu komplek. Teman bersepeda tiap sore dan akhir pekan. Mila pernah kuceritakan sekilas di cerita "Surat Cintaku Yang Pertama."
Dia nggak seumuran, dua tahun di bawah aku, "geulis Sunda" Lahir di Bandung. SD bareng satu sekolah, SMP beda karena dia pindah ke Cilacap, ketemu lagi di SMA Katolik paling ngetop saat itu: aku kelas 3, dia kelas 1. Yang bikin makin heboh, dia pernah jadian sebentar dengan abangku---hampir aja aku panggil dia Teteh!
Sekarang, bertahun-tahun lewat, dia masih sama. Bedanya, sekarang hobinya workout, sering posting aktivitas gym di Instagram. Tanggal 31 Agustus kemarin, dia ikut Prambanan Color Run. Aku nggak ngikutin event seperti itu. Tau event itu juga karena dia colek aku dan Widya di IG.
Ada delapan foto: dia sedang pegang medali, dilempar tepung warna-warni, nomor dada 2719, dan beberapa foto dengan latar belakang Candi Prambanan. Captionnya: #firsttimerace.
"Woi, itu kampung kakek gue," balasku.
Widya ketawa. Sekilas aku kangen kampung. Tapi ya sudah, setelah itu lupa.
Sampai Jumat kemarin. Mila tiba-tiba DM. Dia tinggal di Bandung, tapi sedang berada di Jakarta. Katanya besok:
"Ketemu di tempat biasa, ya."
Tempat biasa itu jelas: PIM 2. Widya kerja di salah satu tenant paling besar di sana, jadi gampang kalau mau nongkrong. Widya bisa ikut nongkrong sambil kerja. Tradisi anak-anak kota kecil, ngumpulnya di situ.
"Aku bawa oleh-oleh buat kamu," Mila nambahin.
Aku bercanda, "Kalau oleh-oleh dari Prambanan, bisa jadi dulur aku yang jualan, tuh."
Dia ketawa.
Aku nyengir. "Aku belum bisa janji apa-apa," lalu menutup chat singkat itu.
Sabtu siang, jam dua.
Mila DM lagi: Jangan lupa.
Aku masih malas. Jakarta lagi chaos, macet di mana-mana. Mau nyetir? Udah kebayang macetnya. Mau motoran? Ntar bau asap.
Mila DM lagi: Pizza Marzano, PIM 2.
Yah, sudah lah, aku pergi juga. Terakhir ketemu habis Lebaran kemarin, sudah lumayan lama.
Dan benar, macet dan hujan. Macetnya bikin kepala cenat-cenut. Aku sampai paling akhir. Dari kaca restoran, aku lihat mereka sudah kumpul. Widya duduk depan Esti, Rudi depan Mila. Ada satu cewek yang aku nggak kenal, rambut sebahu. Mungkin bininya Rudi atau ada alumni baru join. Kursi depannya kosong. Buatku kali, pikirku.
Aku masuk. Mila dan Widya langsung sorakin, HP mereka mengarah ke aku. Direkam, difoto, sudah tradisi tiap ketemu. Aku sadar, malah sengaja joget-joget gaya pacu jalur. Semua ketawa.
Aku duduk. Salam ke semuanya, dimulai dari perempuan di depanku yang aku nggak kenal. "Hai," sapaku ramah. Lanjut ke Mila, Rudi, Esti, dan Widya.
Aku langsung tanya Mila, "Mana oleh-olehnya?"
Mila senyum sambil nunjuk cewek di depanku.
Aku diam, mencerna lama. Ngeliatin, sambil mengingat, sampai kayaknya dia sendiri nggak sabar.
"Kamu lupa beneran, yah???"
Kalimat itu yang bikin aku sadar pelan-pelan.
Ratna.
Yang terakhir kulihat tahun 1989. Yang terakhir ku lihat berjalan menjauh memasuki fokker 28 dan terbang meninggalkan ku.
Ratna yang aku pernah ceritakan di kisah "Begitu Banyak Kesedihan Dalam Merindukanmu."
Aku bengong. Dunia mendadak hening. Mila masih ngeliatin aku, Widya ngakak, tapi suaranya jadi jauh. Yang dekat cuma tatapan itu. Tatapan masa lalu. Tatapan yang pernah bikin aku nekat nyanyi di kantin sekolah yang penuh, yang bersama-sama ku setiap minggu pagi, yang membuatku mendapat puisi paling busuk dari Andi.
Ratna tersenyum. Masih sama. Dan dalam hati aku cuma bisa bergumam:
"Selamat datang, 1989. Ternyata kamu nggak pernah benar-benar pergi."
Dan akhirnya, aku tidak percaya last meeting theory!
Dua bulan ini, aku merasa Tuhan baik sekali padaku. Seminggu yang lalu, tiba-tiba ada WhatsApp masuk dari Linggo:
"Gue training 3 hari di Menara 165, dekat ngga dari rumah lo?"
Koprol juga nyampe jawabku. Aku ketemu Linggo tiap malam selama dia training di Jakarta, makan malam bersamaku.
Dengan Linggo, aku memang tidak benar-benar lost contact, masih suka berbalas pantun di grup whatsApp. Tapi aku terakhir ketemu dia sewaktu reuni, 9 tahun yang lalu.
Dan saat aku ketemu dia lagi, mukanya masih kaya zaman SMA, masih kusut aja, kayak belum mandi.
Dan tentu saja, hari ini surprise paling dasyat!
"That's a surprise about a surprise; that's a second-degree surprise!"
Dunia Selebar Daun Kelor
Aku bengong. Rasanya kayak dilempar balik ke tahun 1989, ke bangku panjang kantin, ke momen pertama kali aku berani nunjukin suka tapi cuma dalam nyanyian lagu Cinta-nya Vina Panduwinata. Dan sekarang, di Pizza Marzano, kursi kosong itu malah ditempati Ratna.
Kenapa bisa begini?
Aku teringat teori bumi datar. Padahal aku percaya dunia itu bukan datar. Dunia itu kecil, selebar daun kelor. Buktinya: Ratna.
Ternyata semesta Ratna beririsan dengan semesta Mila. Sepupu Mila kuliah satu kampus dengan Ratna, di Fakultas Arsitektur universitas nomor satu di republik ini. Mila dan Ratna sudah lama saling follow di IG.
Jadi, waktu aku iseng komentar di postingan Mila tentang Prambanan Color Run, Ratna dan sepupunya Mila ikut nimbrung. Dari situlah Ratna mampir ke profilku.
Nama yang kupakai memang alter ego, tapi wajah di foto terasa familiar buatnya.
Makanya Ratna DM ke Mila:
"Ini orang kok familiar. Kamu punya foto dia tanpa brewok nggak?"
Dan Mila, dengan entengnya, bilang itu satu sekolah kok, lalu mengirim foto. Foto yang diambil dari IG-ku waktu kumpul dengan teman-teman SMA. Ratna lihat dan notice ada beberapa yang dia kenal karena kita kan seleting.
Ratna lihat, lalu balas ke Mila:
"Ya ampun. Ini kan dia..."
Aku baru tahu cerita itu setelah duduk di depan Ratna. Mila sambil cekikikan nyeritain kronologi DM. Ratna ikut nyengir, lalu dari HP-nya dia kasih lihat foto yang Mila kirim.
Dan di situ aku makin yakin: dunia memang cuma selebar daun kelor.
Aku menatap Ratna, sadar bahwa dunia ini memang kecil. Yang pergi bukan rasa atau kenangan, tapi cuma jarak dan waktu. Dan ketika semuanya bersatu kembali, entah lewat DM, reuni, atau senyum kusut seorang teman lama... rasanya 1989 dan hari ini, semuanya saling menimpa sekaligus.
Canggung di Meja Marzano
Ngobrol sama Ratna ternyata seperti membuka kotak tua yang isinya masih harum, walau debunya tebal. Awalnya kikuk. Kami cuma tanya hal-hal remeh: kerja di mana, tinggal di mana, anak berapa. Dari sebelah, ada aja suara, "Cieee... cieee..." bikin aku makin salah tingkah.
Buatku ini betul-betul kejutan. Aku nggak pernah nyangka bakal ketemu dia lagi. Padahal dulu, aku sempat lihat dia di Facebook. Hampir ku-add, tapi entah kenapa kuurungkan. Takut aneh, kali ya.
Sekarang dia ada di depanku. Dan tetap sama---menyenangkan. Senyumnya masih punya efek aneh: bikin aku ingin jadi versi terbaik dari zaman SMA-ku dulu.
Obrolan sama Ratna makin lama makin ngalir. Setelah kikuk awal, ternyata gampang aja. Kayak air nemu jalannya sendiri. Kami saling cerita masa kuliah, dan di situ aku makin heran.
Ternyata kami sering ada di jalur yang sama. Dia naik kereta pagi dari Gondangdia, aku naik dari Juanda. Jamnya selalu sama, duduk mungkin cuma selisih satu atau dua gerbong. Bahkan mungkin kami pernah berada di gerbong yang sama, tapi sama-sama nggak ngeh. Aku cerita selalu di gerbong pertama atau gerbong kedua, biar pas keluar stasiun langsung deket ke pintu masuk kampus.
Aku yakin kami pernah ada di kereta yang sama, karena kereta yang sering kunaiki itu adalah kereta yang kecelakaan di Citayam tahun-tahun itu. Kami sama-sama mengonfirmasi jadwal kereta itu, kereta yang selalu kami naiki.
Dia cerita suka nonton di Metropole atau TIM. Aku juga sering ngabisin malam di sana, karena tiketnya lebih murah.
Lalu soal kos pertama. Dia bilang pernah tinggal di Wisma Marsini, Margonda. Aku ngakak.
"Seriusan? Arwin Bagol, temen aku, dulu kos di situ. Aku sering nongkrong dan nginep di Marsini."
Kami sama-sama terdiam sejenak. Jaraknya cuma beberapa anak tangga, kos cowok di lantai dasar, kos cewek di lantai atas.
"Kalau makan malam?" katanya.
Lalu, hampir serempak, kami bilang:
"Cibubur Fried Chicken!"
Kami ketawa bareng. Memang, masa itu Cibubur Fried Chicken lagi ngetop banget.
Sekali lagi semesta kasih kode: dunia ini memang kecil, selebar daun kelor. Tapi jodoh? Belum dikasih ketemu.
Ratna tersenyum. Aku mengangguk. Dalam hati, aku tahu: beberapa pertemuan terlambat justru terasa lebih indah daripada kalau dia datang tepat waktu.
Wewangian yang Hilang
Aku menatap Ratna, masih setengah tidak percaya dia duduk di depanku. Ada jeda canggung di antara obrolan, lalu tanpa sadar aku nyeletuk,
"Kok parfum kamu ganti? Ini bukan parfum yang dulu kamu pakai."
Ratna tersenyum tipis, ada sesuatu di balik matanya.
"Iya, aku sengaja. Biar nggak keinget kamu."
Ciee... terdengar suara dari sebelah, "cieeeeee..."
Aku diam. Tidak ada kalimat yang cukup untuk menanggapi itu. Jawaban sederhana itu seperti membuka ruang lain---ruang yang selama ini mungkin juga ia jaga rapat-rapat.
Dulu, setiap kali kami jalan bareng, dia selalu pakai parfum bunga nilam---wangi patchouli yang khas, lembut tapi tajam, selalu nempel di ingatan. Wangi itu selalu mendahului langkahnya, seolah memberi tahu aku: Ratna sudah dekat.
Dia melanjutkan dengan nada ringan,
"Kamu tau ngga? Aku nggak pernah benar-benar pergi dari kota itu. Aku masih surat-suratan sama Selvi, Erfin, sama Neta. Dari grup BBM sampai sekarang pindah ke WA. Tapi memang dulu aku bilang: jangan cerita soal kamu ke aku, dan aku juga nggak akan nanya soal kamu. Mereka ngerti."
Aku mengangguk pelan. Ada rasa aneh mendengar namaku disebut begitu gamblang. Nama yang dulu mungkin ia hindari, sekarang malah diucapkan sambil menatapku.
"Kenapa reuni akbar kamu nggak dateng?" tanyaku.
Ratna tersenyum. "Undangan dari koordinator kelas aku dapat, di-forward Erfin. Tapi waktu itu aku lagi nemenin hubby S2 di Aussie. Aku lihat kok foto-foto reuninya. Aku lihat foto kamu juga kok."
Dia ketawa kecil.
Aku penasaran, "Aku pakai baju apa coba?"
"Acara pagi kamu pakai kemeja putih. Acara malam pakai batik Jambi, kompakan sama Wiwik, Denisa, Wenny, dan Rian."
Aku terkekeh, heran, "Kok kamu masih inget nama-nama yang lain?"
Ratna ngakak. "Hahaha, aku lupa blas! Aku tanya Erfin, ini siapa..."
Dia tersenyum sambil menjelaskan, itu juga sebelum kesini, karena dia tahu aku pasti akan menanyakan soal ini.
Terus kamu screenshot foto itu, tanya aku, mancing-mancing?
"Iya dong," dia jawab sambil ketawa.
Aku ikut ketawa. Yah, aku juga bakal begitu, kataku dalam hati, membayangkan kalau aku berada di posisinya. Rasanya lucu, hangat, dan sedikit absurd---tapi justru momen-momen kecil kayak gini yang bikin nostalgia terasa hidup
Kami berdua ikut tertawa. Dan dalam tawa itu, aku sadar---meski waktu sudah berjarak puluhan tahun, ada hal-hal yang tidak bisa benar-benar hilang. Wangi parfum bisa berganti, grup chat bisa pindah platform, tapi rasa? Ia hanya berubah bentuk, menunggu kesempatan untuk kembali muncul di sela-sela percakapan sederhana.
Cinta versi Ikang Fawzi
"Kamu masih simpan kaos sama surat-suratku?" tanyanya tiba-tiba.
"Masih," jawabku singkat.
"Masih kamu baca?" suaranya agak pelan, seperti setengah takut pada jawabanku.
Aku ngakak. "Enggak. Ngapain dibaca kalau udah hapal di luar kepala?"
Ratna ikut ketawa. Di tengah tawa itu, suara Mila nyeletuk dari samping, "Dipersilakan kalau mau pindah meja, ya."
Kami berdua malah ketawa makin kencang. Bukan karena kalimat Mila lucu, tapi karena justru membuat momen canggung itu pecah jadi ringan.
"Kamu masih dengerin lagu Cinta-nya Vina Panduwinata?" tanyaku.
"Enggak," jawabnya cepat. Mungkin dia lihat wajahku sedikit kecewa, jadi buru-buru nambahin, "Aku dengerinnya versi Ikang Fawzi."
Aku bengong. Langsung buka YouTube di HP, nyari lagu itu. Dan memang ada. Aku ketawa kecut.
"Yang ini malah mirip sama suara kamu," katanya.
Ketawa kami makin keras. Mila nyamber lagi, "Meja sebelah kosong lho."
"Aku mau nanya, boleh?" katanya. Matanya nyari-nyari keberanian.
Aku angguk.
"Di periode kita itu, terus terang aku banyak yang lupa. Aku hampir keceplosan bilang kalau aku tulis cerita tentang kita, tapi aku tahan dulu, nanti aja aku cerita, pikirku. Tapi soal siapa yang pernah deket sama kamu aku inget. Lupa sih namanya, tapi pas Erfin sebut nama itu aku jadi inget." Dia berhenti sejenak, lalu menyipitkan mata. "Denisa, ini yang dulu pernah kamu cerita kan? Yang sempat deket sebelum aku?"
"Denisa ini yang di foto sebelah kamu, foto yang Mila kirim kan?" tanyaku.
Aku tarik napas, senyum tipis. "Iya. Kenapa jadi deket sekarang? Itu ceritanya panjang."
"Cerita deh. Waktu masih panjang, besok juga libur," sambungnya.
Aku ketawa. Kocak bener bahasanya.
"Di 2016, kita ngumpul. Semua anak-anak yang tinggal di Jakarta. Itu cikal bakal reuni pertama. Thamrin udah jadi boss besar. Inget Thamrin? Dia yang one-on-one sama kamu waktu main basket, waktu kamu baru pindah. Nah, dia minta aku arrange tiket, aku kumpulin KTP anak-anak. Dia yang bayarin tiketnya untuk semua anak di Jakarta. Nah, pas aku masukin data, aku kaget. Ternyata tanggal, bulan, tahun lahirku sama persis dengan Denisa. Bahkan di RS yang sama. Cuma beda jam aja. Dia lebih tua."
Foto yang Mila kirim itu foto waktu kita ngerayain ultah.
Ratna terdiam. Lalu aku menambahkan, setengah bercanda, "Jangan-jangan dulu aku sama dia pernah satu box bayi di rumah sakit."
Ratna mendengus, lalu ngakak. "Kamu itu ya, kalau nggak serius-serius banget, ya ngawur banget."
Sejak itu, yah, entah kenapa kami semakin dekat. Sampai akhirnya Denisa cerita versinya sendiri. Dia nggak seperti yang dulu orang-orang bilang. Katanya, justru bapaknya yang nggak pernah setuju dia dekat sama cowok selama masih sekolah. Semua rumor yang beredar, ternyata cuma bayangan dari luar pagar rumahnya.
Waktu bapaknya meninggal dan dia beres-beres kamar, Denisa menemukan tumpukan surat cinta dan kartu lebaran buat dia---surat-surat yang selama ini nggak pernah sampai ke tangannya. Rupanya bapaknya menyimpannya diam-diam, mungkin dibaca, mungkin juga hanya ditahan supaya anak gadisnya tetap lurus di jalannya.
Aku percaya ceritanya. Dan sejak itu, kami nggak lagi sekadar teman lama yang ketemu di reuni. Kami jadi teman dekat sampai sekarang.
Aku tutup ceritanya di situ. Bukan karena sudah habis, tapi karena aku tahu, sebagian kisah memang lebih baik tetap tinggal di ruang dengar orang yang tepat.
Di luar, sore Jakarta merambat jadi senja, lampu-lampu PIM mulai menyala. Reuni jadi kayak pasar malam: lampu kelap-kelip, ketemu orang lama, terus sadar kalau dulu semua orang punya drama masing-masing yang nggak pernah kita tahu.
Janji yang Tertinggal di IG
Kami sepakat, kalau Mila datang lagi dari Bandung, kami akan kumpul lagi. Jadi hari ini bukan akhir, tapi awal pertemuan berikutnya.
Pertemuan selesai. Widya kembali kerja, Mila dan Esti lanjut ke PIM 3, Rudi mau ke Gramedia cari Hotwheels. Tinggal kami berdua.
Ratna mendekat, senyum tipis.
"Kok kamu nggak nawarin anter aku pulang kayak dulu?"
Aku ketawa. "Aku nggak bawa motor."
Dia ikut ketawa. "Udah jadi besi tua kali motor kamu."
Aku sambung, "Emang bisa? Kamu nggak dijemput?"
"Enggak," jawabnya santai. "Aku tinggal di Bintaro, belakang Electronic City."
"Yah, aku tau daerah situ. Coba cek Google Maps, cari titik paling merah, biar lama sampai," kataku sambil bercanda.
Obrolan di mobil sederhana saja. Hanya soal keluarga dan aktivitas sehari-hari. Aku cerita semuanya---tentang kerja, teman lama, tentang Linggo yang baru minggu kemarin datang (tapi dia lupa), dan hal-hal kecil yang dulu terasa penting. Dia mendengarkan sambil sesekali menyela, tertawa, atau menimpali dengan cerita ringan dari harinya.
Dan di satu titik, aku tersadar: yang bikin dekat itu bukan motor atau jalanan macet, tapi kemampuan kami untuk tetap ngobrol seperti dulu---tanpa drama, tanpa alasan. Dan entah kenapa, rasanya 1989 baru saja nyelonong masuk lagi ke mobil ini.
Sampai di depan rumahnya, aku nyeletuk, "Waktu pertama kali aku ke rumahmu, aku masih ingat salah satu percakapan di ruang tamu."
"Apa?" tanyanya, penasaran.
"Aku lihat ada salib dengan tulisan INRI. Terus aku tanya ke kamu, apa artinya. Dan kamu jawab: Yesus Raja Nazareth."
"Kok bisa ingat sampai segitunya???"
Aku juga masih ingat outfit saat itu. Aku pakai kemeja cokelat, black jeans sobek di atas lutut karena ketumpahan pemutih, dan Doc Martens hitam.
Ratna ketawa, terheran-heran. Aku ikut ketawa.
Sebelum turun, dia sempat ragu sejenak lalu bertanya, "Apa kita perlu tukeran nomor HP?"
"Enggak usah. Nanti kebablasan. Aku tahu IG kamu, kamu tahu IG aku. Kalau ada yang penting, DM aja. Kalau nggak, kita anggap semuanya baik-baik saja. Dan janji yah, nanti kita ketemu lagi kalau Mila datang ke Jakarta."
Dia mengangguk. "Setuju. Hati-hati yah. Bye."
Aku menatap punggungnya yang menjauh, siluet samar di bawah lampu jalan. Beberapa pintu memang harus tetap ditutup rapat, meski kita pernah sekali memegang kuncinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI