"Maafkan Mbak Ris, Vie, " ujar Mbak Ris lagi sesaat ia melihat adiknya sudah mulai tenang. "Kalau selama ini Mbak seperti membatasi pergaulan kamu karena Mbak nggak ingin kejadian seperti ini. Mbak kenal betul siapa Jemy. Dia anak tunggal yang ingin mempunyai banyak saudara termasuk seorang adik. Sementara kalau untuk urusan pacar, dia lebih senang yang lebih tua darinya. Seperti pacarnya yang dulu itu."
"Kenapa Mbak nggak pernah terus terang sama Vie?"
Mbak Ris mengambil nafas panjang. Ia mengambil jemari tangan Vie lalu digenggamnya. "Kadang-kadang ada kondisi seorang kakak sulit mengungkapkan sesuatu hal kepada adiknya. Ada banyak pertimbangan yang nggak bisa diucapkan meskipun dia tahu akan menjadi hal yang menyakitkan kelak. Apalagi Mbak tahu, kamu lagi sangat kasmaran pada Jemy. Tadinya Mbak berharap, kamu mau nurut sehingga Mbak nggak perlu menjelaskan yang susah Mbak jelaskan itu."
"Mbak jahat!"
"Ya, Mbak memang jahat," Mbak Ris menatap adiknya lekat-lekat, "Tapi, Mbak juga sayang sama kamu. Mbak ingin, kamu  bisa dewasa karena hal ini, Vie. Percayalah, waktu akan menjelaskan hal-hal yang nggak terungkapkan tadi."
Vie hanya diam. Sisa tangis masih terkias di wajahnya. Mbak Ris merengkuh adiknya itu. "Kadang kita memang harus membiarkan seseorang terantuk batu supaya tahu sakitnya kalau jatuh. Sedikit jahat, tapi yakinlah, kamu akan menjadi pengalaman berharga buatmu."
Lagi-lagi Vie diam.
 "Maafkan Vie juga, Mbak," Vie memeluk kakaknya itu penuh ketulusan.
"Sama-sama, Vie." Mbak Ris pun demikian adanya. "Percaya sama Mbak, kamu pasti akan mendapat pengganti Jemy yang lebih oke."
Vie mengangguk mantap.
Jauh di lubuk hatinya, Vie menyisakan harap semoga ia bisa memetik hikmah dari pengalaman tak terlupakan ini.
* Pernah dimuat di majalah Shop and Shop, April 2007