Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Senja, Janji Esok

14 September 2025   13:31 Diperbarui: 14 September 2025   13:31 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mira menaruh ponselnya, kali ini lebih serius. "Oke. Tapi kalau mau anak-anak muda datang, harus keren. Harus ada musik, harus ada ruang untuk bercanda, harus Instagrammable. Jangan bikin orang merasa digurui."

Mereka mencoret-coret ide di kertas. Diskusi santai di pantai. Duduk lesehan. Poster dengan desain yang estetik. Topik yang menyentuh kehidupan sehari-hari—nelayan, listrik, sekolah, peluang kerja—bukan hanya angka-angka ekonomi. Semua ide itu membuat Fajar merasa dadanya semakin panas oleh semangat.

Malamnya, setelah ia selesai mendesain poster di Canva, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal masuk. "Kau pikir kau bisa mengubah Aceh dengan forum kecil? Hati-hati. Migas bukan urusan main-main."

Jantung Fajar berdegup kencang. Lama ia menatap layar ponsel itu. Ada rasa takut, tapi juga ada sesuatu yang menyala lebih kuat di dalam dadanya. Ia membuka jendela, menghirup udara laut yang basah. Di kejauhan, lampu kapal nelayan berkedip-kedip seperti bintang di permukaan laut.

Besoknya, ia mengajak Mira bertemu lagi, kali ini di warung kopi kecil yang lebih sepi. Mereka mengundang Rizal yang jago desain, Sinta yang aktif di komunitas lingkungan, dan Raka yang terkenal di TikTok. Malam itu mereka duduk melingkar, mencatat semua ide yang keluar. Mereka sepakat bahwa ini tidak bisa berhenti pada satu forum saja. Mereka akan membuat serial video edukasi, mungkin juga petisi jika diperlukan, bahkan kampanye hemat energi agar anak muda sadar bahwa ini bukan cuma urusan migas tapi cara hidup.

Sinta berkata, "Dan jangan lupa kita undang nelayan, guru, ibu-ibu. Kalau hanya anak kampus, ini jadi elitis."

Fajar menatap mereka satu per satu. Untuk pertama kalinya, ia merasa generasinya benar-benar punya sesuatu untuk diperjuangkan. Malam itu ia kembali menatap laut dari jendela kamar. Ombak masih sama, tapi kini ia melihatnya dengan mata yang berbeda. Ombak itu bukan lagi gangguan, melainkan dorongan. Ia menulis di buku catatannya, "Aku akan mulai dari sini, dari forum kecil ini. Jika kami gagal, setidaknya kami sudah mencoba. Jika kami berhasil, mungkin suatu hari Aceh akan punya masa depan yang benar-benar milik warganya."

Ia menutup buku itu, kali ini dengan senyum kecil. Bara di dadanya kini telah menjadi nyala.

Langkah yang menggema

Hari itu pantai Ujong Batee lebih ramai dari biasanya. Matahari sore menggantung rendah, memantulkan warna emas di permukaan laut. Di atas tikar-tikar pandan yang digelar di pasir, anak-anak muda duduk melingkar. Ada yang membawa gitar, ada yang sedang menyiapkan kamera ponsel untuk siaran langsung. Spanduk buatan Rizal terbentang di belakang mereka: "Sawala Energi: Bicara Migas, Bicara Masa Depan".

Fajar berdiri di depan lingkaran, kakinya berpasir. Tangannya dingin, tetapi suaranya mantap ketika ia berkata, "Kita di sini bukan untuk mencari salah siapa, tapi untuk bertanya: apakah kita siap menjaga amanah ini? Apakah kita mau membiarkan semua berjalan tanpa kita ikut bersuara?"

Suasana hening beberapa detik, lalu seorang nelayan paruh baya yang duduk di belakang mengangkat tangan. "Nak, kami sudah lama bicara. Sudah lama minta diperhatikan. Tapi kami lelah, suara kami tidak sampai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun