Ombak yang Menggugah
Sore di Ujong Batee.
Langit jingga meneteskan cahaya terakhirnya di ufuk barat, seperti kuas yang sengaja diusapkan pelan oleh pelukis tak kasatmata. Ombak-ombak kecil berlari dari jauh, pecah di batu karang, lalu kembali ke laut, seolah tak pernah lelah. Fajar duduk bersila di ujung batu itu, tubuhnya condong ke depan, sandal jepitnya setengah terkubur pasir. Di telinganya, earphone masih berputar dengan suara dari podcast favoritnya.
"Energi itu titipan Allah. Amanah. Tidak sekadar untuk memperkaya segelintir, tapi untuk menegakkan keadilan. Jika hanya sedikit yang menikmati, maka amanah itu berubah menjadi beban."
Suara itu menempel di kepalanya, seperti gema yang tak mau reda.
Fajar menatap laut, tapi pikirannya jauh, menembus waktu. Aroma asin dan semilir angin membawa memori yang pernah diceritakan kakeknya—masa ketika Aceh Utara bergemuruh dengan harapan. Kilang LNG di Lhokseumawe berdiri gagah, truk-truk dan bus-bus melintas membawa pekerja dari berbagai daerah. Orang-orang bicara tentang masa depan cerah: rumah-rumah yang akan terisi listrik, sekolah yang akan ramai anak-anak, kota yang akan makmur. Tapi tidak semua mimpi itu jadi nyata. Ada desa yang kering sawahnya, ada nelayan yang kehilangan daerah tangkapnya.
Suara derak jalan setapak memecah lamunannya. Abu datang, membawa ember kecil berisi cangkang kerang yang baru ia pungut. Wajahnya legam diterpa matahari, keriputnya seperti peta yang menyimpan rahasia laut.
"Kau mendengarkan suara laut dan suara orang, ya?" tanya Abu, duduk di samping Fajar.
Fajar hanya mengangguk.
"Kadang suaranya banyak, Abu," katanya lirih. "Ada yang bilang migas itu berkah, ada juga yang bilang itu racun. Mana yang benar?"
Abu memandang laut lama sekali, seperti mencari jawaban di riak gelombang.
"Perkataan yang benar bukan yang paling keras, Nak," katanya pelan. "Tapi yang bisa membuat hati orang tenang, bukan gusar. Minyak dan gas itu seperti laut ini: luas, dalam, bisa memberi rezeki, tapi bisa juga menelan."
Fajar terdiam. Genggaman tangannya memungut segenggam pasir, merasai butiran yang lolos satu per satu di sela jarinya.
Ia teringat seminar yang baru ia ikuti minggu lalu.
Judulnya: Paradigma Cendekiawan dalam Pembangunan Berkelanjutan Migas Aceh. Para pemateri bicara tentang inklusivitas, tentang kearifan lokal, tentang regulasi yang adil. Ada kalimat yang tak bisa ia lupakan: "Pembangunan hanya akan adil jika ia melibatkan masyarakat sejak awal. Jika rakyat hanya menjadi penonton, kita mengulang luka lama."
Fajar menghela napas panjang.
"Abu," katanya, "bagaimana kita tahu hati kita siap menerima semua ini? Siap menjaga agar yang datang itu bukan bencana?"
Abu tersenyum samar.
"Kau tak perlu tahu semuanya sekarang. Kau hanya perlu mulai. Mulai belajar, mulai berdiskusi, mulai mengajak kawan-kawanmu bertanya. Perubahan besar sering datang dari mereka yang paling resah."
Angin senja berembus pelan, membawa bau laut, suara burung camar, dan rasa yang tak bisa ia namai. Fajar memandang cakrawala, dan di sana ia melihat lebih dari sekadar matahari tenggelam. Ia melihat sebuah janji: bahwa hari esok bisa lebih terang, jika amanah dijaga dengan benar.
Bara di Dalam DadaÂ
Malam itu Fajar tidak hanya sulit tidur—ia merasa tubuhnya seperti disetrum oleh sesuatu yang tak terlihat. Angin malam masuk lewat jendela membawa bau asin laut, tapi tak menenangkan pikirannya. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, dan sesekali motor lewat di jalan kampung, tetapi justru membuatnya semakin gelisah.
Laptop di mejanya masih menyala, layar berhenti pada rekaman seminar tentang pembangunan berkelanjutan migas Aceh. Fajar memutar ulang bagian yang paling mengusik pikirannya: suara narasumber yang berkata tegas bahwa potensi migas Aceh sangat besar, tetapi tanpa keterlibatan generasi muda, Aceh hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri. Ia teringat wajah nelayan yang pernah ditemuinya saat KKN tahun lalu, seorang lelaki tua yang berkata lirih, "Kami hanya dapat bau solar, Nak."
Di buku catatannya, Fajar menulis dengan huruf besar: "Aku tidak mau generasiku hanya dapat bau solar." Ia menatap kalimat itu lama sekali, merasa seperti baru saja mengucapkan sumpah pada dirinya sendiri.
Keesokan paginya ia menghubungi Mira. Mereka bertemu di kedai kopi yang selalu ramai oleh mahasiswa. Musik indie mengalun pelan dari speaker, aroma espresso bercampur bau kayu panggang. Fajar langsung duduk dan berkata tanpa basa-basi, "Kau pernah merasa kita cuma jadi penonton?"
Mira yang sedang memotret cappuccino-nya mendongak. "Penonton apa?"
"Penonton masa depan kita sendiri," jawab Fajar cepat. "Semua tentang migas, industri, dan pembangunan diatur orang lain. Kita cuma tahu dari berita, tidak pernah diajak duduk satu meja."
Mira menatapnya dengan pandangan ragu, lalu tersenyum sinis. "Dan kau mau kita jadi pembicara? Jadi aktivis?"
"Bukan aktivis. Aku cuma mau kita ngobrol, bikin forum kecil, pakai bahasa kita, bukan bahasa seminar yang bikin orang mengantuk. Bukan cuma mengeluh, tapi mikir langkah konkret."
Mira menaruh ponselnya, kali ini lebih serius. "Oke. Tapi kalau mau anak-anak muda datang, harus keren. Harus ada musik, harus ada ruang untuk bercanda, harus Instagrammable. Jangan bikin orang merasa digurui."
Mereka mencoret-coret ide di kertas. Diskusi santai di pantai. Duduk lesehan. Poster dengan desain yang estetik. Topik yang menyentuh kehidupan sehari-hari—nelayan, listrik, sekolah, peluang kerja—bukan hanya angka-angka ekonomi. Semua ide itu membuat Fajar merasa dadanya semakin panas oleh semangat.
Malamnya, setelah ia selesai mendesain poster di Canva, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal masuk. "Kau pikir kau bisa mengubah Aceh dengan forum kecil? Hati-hati. Migas bukan urusan main-main."
Jantung Fajar berdegup kencang. Lama ia menatap layar ponsel itu. Ada rasa takut, tapi juga ada sesuatu yang menyala lebih kuat di dalam dadanya. Ia membuka jendela, menghirup udara laut yang basah. Di kejauhan, lampu kapal nelayan berkedip-kedip seperti bintang di permukaan laut.
Besoknya, ia mengajak Mira bertemu lagi, kali ini di warung kopi kecil yang lebih sepi. Mereka mengundang Rizal yang jago desain, Sinta yang aktif di komunitas lingkungan, dan Raka yang terkenal di TikTok. Malam itu mereka duduk melingkar, mencatat semua ide yang keluar. Mereka sepakat bahwa ini tidak bisa berhenti pada satu forum saja. Mereka akan membuat serial video edukasi, mungkin juga petisi jika diperlukan, bahkan kampanye hemat energi agar anak muda sadar bahwa ini bukan cuma urusan migas tapi cara hidup.
Sinta berkata, "Dan jangan lupa kita undang nelayan, guru, ibu-ibu. Kalau hanya anak kampus, ini jadi elitis."
Fajar menatap mereka satu per satu. Untuk pertama kalinya, ia merasa generasinya benar-benar punya sesuatu untuk diperjuangkan. Malam itu ia kembali menatap laut dari jendela kamar. Ombak masih sama, tapi kini ia melihatnya dengan mata yang berbeda. Ombak itu bukan lagi gangguan, melainkan dorongan. Ia menulis di buku catatannya, "Aku akan mulai dari sini, dari forum kecil ini. Jika kami gagal, setidaknya kami sudah mencoba. Jika kami berhasil, mungkin suatu hari Aceh akan punya masa depan yang benar-benar milik warganya."
Ia menutup buku itu, kali ini dengan senyum kecil. Bara di dadanya kini telah menjadi nyala.
Langkah yang menggema
Hari itu pantai Ujong Batee lebih ramai dari biasanya. Matahari sore menggantung rendah, memantulkan warna emas di permukaan laut. Di atas tikar-tikar pandan yang digelar di pasir, anak-anak muda duduk melingkar. Ada yang membawa gitar, ada yang sedang menyiapkan kamera ponsel untuk siaran langsung. Spanduk buatan Rizal terbentang di belakang mereka: "Sawala Energi: Bicara Migas, Bicara Masa Depan".
Fajar berdiri di depan lingkaran, kakinya berpasir. Tangannya dingin, tetapi suaranya mantap ketika ia berkata, "Kita di sini bukan untuk mencari salah siapa, tapi untuk bertanya: apakah kita siap menjaga amanah ini? Apakah kita mau membiarkan semua berjalan tanpa kita ikut bersuara?"
Suasana hening beberapa detik, lalu seorang nelayan paruh baya yang duduk di belakang mengangkat tangan. "Nak, kami sudah lama bicara. Sudah lama minta diperhatikan. Tapi kami lelah, suara kami tidak sampai."
Fajar mengangguk pelan. "Itulah sebabnya kita kumpul di sini. Kita akan buat suara kita terdengar lebih jauh, bersama-sama."
Diskusi mengalir, suara tawa bercampur dengan keluhan dan harapan. Mira memimpin sesi tanya-jawab, Sinta berbicara tentang dampak pencemaran laut, Raka membuat siaran langsung di TikTok yang ternyata ditonton ratusan orang. Semakin lama, orang-orang dari warung sekitar ikut merapat, duduk di pinggir lingkaran, mendengarkan.
Namun ketegangan mulai terasa ketika seorang pria berseragam, mungkin dari aparat desa, melangkah mendekat. "Acara ini ada izinnya?" tanyanya dingin.
Fajar berdiri tegak. "Kami hanya diskusi, Pak. Tidak ada orasi politik."
Pria itu menatap mereka lama, lalu berkata, "Hati-hati. Ini topik sensitif. Jangan bikin masalah."
Beberapa peserta terlihat resah, ada yang hampir berdiri hendak pulang. Fajar menarik napas dalam-dalam. "Bapak benar. Topik ini sensitif. Justru karena itu kita harus bicara dengan cara yang sehat. Kalau kita diam, masalahnya akan makin besar."
Suasana menjadi sunyi. Ombak terdengar jelas memecah karang. Lalu tepuk tangan kecil terdengar dari seorang ibu yang sejak tadi mendengarkan di belakang. Disusul beberapa orang lain yang ikut bertepuk tangan. Tepuk tangan itu tumbuh menjadi riuh.
Momen itu seperti pelepasan beban. Nelayan yang tadi berbicara berdiri dan berkata dengan suara bergetar, "Terima kasih, Nak. Setidaknya hari ini kami merasa didengar."
Mira mencatat nama-nama yang ingin ikut dalam forum berikutnya. Sinta membagikan pamflet digital berisi tautan edukasi energi. Raka merekam video pendek dan mengunggahnya: "Hari ini anak muda Aceh bicara soal migas. Ini baru awal." Dalam satu jam, video itu mulai dibanjiri komentar dan dibagikan puluhan kali.
Malamnya, Fajar kembali ke batu karang tempat ia duduk tempo hari. Langit bertabur bintang. Ia merasa lelah, tetapi ada kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Ponselnya bergetar—ada pesan masuk. Kali ini bukan ancaman, melainkan ucapan terima kasih dari seseorang yang hadir diam-diam di forum. "Kalian membuat saya percaya lagi bahwa masa depan Aceh tidak hanya milik pejabat dan investor. Teruskan."
Fajar menatap laut. Ombak datang silih berganti, seperti menjanjikan bahwa perjuangan ini belum selesai. Ia tahu akan ada rintangan, akan ada yang marah, akan ada yang berusaha membungkam mereka. Tapi malam itu ia merasa, untuk pertama kalinya, ombak yang menggulung bukan lagi menakutkan. Ombak itu seperti tepuk tangan alam, mendorongnya untuk terus melangkah.
Ia menulis di buku catatannya sebelum tidur: "Hari ini kami mulai. Besok kami akan lebih siap. Jika ada yang mencoba menghentikan kami, kami akan belajar lebih banyak, bicara lebih baik, dan melibatkan lebih banyak orang. Karena masa depan ini terlalu berharga untuk dibiarkan begitu saja."
Ia menutup buku itu, meletakkannya di samping bantal, dan tersenyum. Bara itu kini telah menjadi api, dan api itu siap menyalakan obor bagi siapa saja yang mau melihat jalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI