Fajar menghela napas panjang.
"Abu," katanya, "bagaimana kita tahu hati kita siap menerima semua ini? Siap menjaga agar yang datang itu bukan bencana?"
Abu tersenyum samar.
"Kau tak perlu tahu semuanya sekarang. Kau hanya perlu mulai. Mulai belajar, mulai berdiskusi, mulai mengajak kawan-kawanmu bertanya. Perubahan besar sering datang dari mereka yang paling resah."
Angin senja berembus pelan, membawa bau laut, suara burung camar, dan rasa yang tak bisa ia namai. Fajar memandang cakrawala, dan di sana ia melihat lebih dari sekadar matahari tenggelam. Ia melihat sebuah janji: bahwa hari esok bisa lebih terang, jika amanah dijaga dengan benar.
Bara di Dalam DadaÂ
Malam itu Fajar tidak hanya sulit tidur—ia merasa tubuhnya seperti disetrum oleh sesuatu yang tak terlihat. Angin malam masuk lewat jendela membawa bau asin laut, tapi tak menenangkan pikirannya. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, dan sesekali motor lewat di jalan kampung, tetapi justru membuatnya semakin gelisah.
Laptop di mejanya masih menyala, layar berhenti pada rekaman seminar tentang pembangunan berkelanjutan migas Aceh. Fajar memutar ulang bagian yang paling mengusik pikirannya: suara narasumber yang berkata tegas bahwa potensi migas Aceh sangat besar, tetapi tanpa keterlibatan generasi muda, Aceh hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri. Ia teringat wajah nelayan yang pernah ditemuinya saat KKN tahun lalu, seorang lelaki tua yang berkata lirih, "Kami hanya dapat bau solar, Nak."
Di buku catatannya, Fajar menulis dengan huruf besar: "Aku tidak mau generasiku hanya dapat bau solar." Ia menatap kalimat itu lama sekali, merasa seperti baru saja mengucapkan sumpah pada dirinya sendiri.
Keesokan paginya ia menghubungi Mira. Mereka bertemu di kedai kopi yang selalu ramai oleh mahasiswa. Musik indie mengalun pelan dari speaker, aroma espresso bercampur bau kayu panggang. Fajar langsung duduk dan berkata tanpa basa-basi, "Kau pernah merasa kita cuma jadi penonton?"
Mira yang sedang memotret cappuccino-nya mendongak. "Penonton apa?"
"Penonton masa depan kita sendiri," jawab Fajar cepat. "Semua tentang migas, industri, dan pembangunan diatur orang lain. Kita cuma tahu dari berita, tidak pernah diajak duduk satu meja."
Mira menatapnya dengan pandangan ragu, lalu tersenyum sinis. "Dan kau mau kita jadi pembicara? Jadi aktivis?"
"Bukan aktivis. Aku cuma mau kita ngobrol, bikin forum kecil, pakai bahasa kita, bukan bahasa seminar yang bikin orang mengantuk. Bukan cuma mengeluh, tapi mikir langkah konkret."