Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Senja, Janji Esok

14 September 2025   13:31 Diperbarui: 14 September 2025   13:31 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ombak yang Menggugah

Sore di Ujong Batee.
Langit jingga meneteskan cahaya terakhirnya di ufuk barat, seperti kuas yang sengaja diusapkan pelan oleh pelukis tak kasatmata. Ombak-ombak kecil berlari dari jauh, pecah di batu karang, lalu kembali ke laut, seolah tak pernah lelah. Fajar duduk bersila di ujung batu itu, tubuhnya condong ke depan, sandal jepitnya setengah terkubur pasir. Di telinganya, earphone masih berputar dengan suara dari podcast favoritnya.

"Energi itu titipan Allah. Amanah. Tidak sekadar untuk memperkaya segelintir, tapi untuk menegakkan keadilan. Jika hanya sedikit yang menikmati, maka amanah itu berubah menjadi beban."

Suara itu menempel di kepalanya, seperti gema yang tak mau reda.

Fajar menatap laut, tapi pikirannya jauh, menembus waktu. Aroma asin dan semilir angin membawa memori yang pernah diceritakan kakeknya—masa ketika Aceh Utara bergemuruh dengan harapan. Kilang LNG di Lhokseumawe berdiri gagah, truk-truk dan bus-bus melintas membawa pekerja dari berbagai daerah. Orang-orang bicara tentang masa depan cerah: rumah-rumah yang akan terisi listrik, sekolah yang akan ramai anak-anak, kota yang akan makmur. Tapi tidak semua mimpi itu jadi nyata. Ada desa yang kering sawahnya, ada nelayan yang kehilangan daerah tangkapnya.

Suara derak jalan setapak memecah lamunannya. Abu datang, membawa ember kecil berisi cangkang kerang yang baru ia pungut. Wajahnya legam diterpa matahari, keriputnya seperti peta yang menyimpan rahasia laut.

"Kau mendengarkan suara laut dan suara orang, ya?" tanya Abu, duduk di samping Fajar.

Fajar hanya mengangguk.
"Kadang suaranya banyak, Abu," katanya lirih. "Ada yang bilang migas itu berkah, ada juga yang bilang itu racun. Mana yang benar?"

Abu memandang laut lama sekali, seperti mencari jawaban di riak gelombang.
"Perkataan yang benar bukan yang paling keras, Nak," katanya pelan. "Tapi yang bisa membuat hati orang tenang, bukan gusar. Minyak dan gas itu seperti laut ini: luas, dalam, bisa memberi rezeki, tapi bisa juga menelan."

Fajar terdiam. Genggaman tangannya memungut segenggam pasir, merasai butiran yang lolos satu per satu di sela jarinya.

Ia teringat seminar yang baru ia ikuti minggu lalu.
Judulnya: Paradigma Cendekiawan dalam Pembangunan Berkelanjutan Migas Aceh. Para pemateri bicara tentang inklusivitas, tentang kearifan lokal, tentang regulasi yang adil. Ada kalimat yang tak bisa ia lupakan: "Pembangunan hanya akan adil jika ia melibatkan masyarakat sejak awal. Jika rakyat hanya menjadi penonton, kita mengulang luka lama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun