"Gimana, Nak?" Tanyaku pada si sulung penuh harap. Aku seolah sudah kehilangan akal mengatasi situasi.
"Ini bukan jalanan yang Ayah lewati tadi? Jika memang bukan, sepertinya kita memang masih terjebak." Si sulung kembali menganalisis.
"Bunda, ayo jalan lagi. Tapi pelan-pelan aja. Aku akan terus mengaji untuk membuka jalan. Ayah dan bunda juga ikut bantu, ya. Baca saja ayat apapun yang ayah dan bunda hafal."
Istri pun kembali melajukan mobil dengan kecepatan tiga puluh kilometer per jam. Sekarang si sulung yang memandu kami. Dengan jantung berdebar-debar kami terus berjalan. Aku lihat speedo meter. Bahan bakar tersisa setengah. Aku gumamkan doa dalam hati, "Ya Tuhan, tuntunlah kami."
Beberapa menit kemudian.
"Bun, hati-hati, di depan sepertinya ada penurunan yang agak curam."
Istri hanya mengangguk pelan. Dia turunkan kecepatan menjadi dua puluh kilometer per jam. Mobil meluncur perlahan melewati penurunan itu.
Sesampainya di ujung penurunan, tiba-tiba terdengar bunyi tubrukan cukup keras.
Mobil kami seperti menabrak sesuatu dan terhenti. Padahal tidak ada apa-apa di depan.
"Apa itu, Yah?"
"Entahlah, Bun. Padahal tidak ada apa-apa di depan, ya? Kenapa kita seperti menabrak sesuatu? Coba jalan lagi, Bun."