Baca Bab 5 di sini
"Agak ngebut, Bun," ujarku masih dengan gestur gelisah dan nafas yang tidak beraturan.
Istri tampak tegang. Namun dia ikuti perintahku. Dia injak gas lebih dalam.
"Duh, Yah, ada apa sih? Kenapa Ayah sampai pucat ketakutan begitu?"
Sambil mengatur nafas kujawab.
"Tadi itu sepertinya bukan tukang sate, Bun, tapi ... ah, entahlah. Saat ayah sudah dekat tadi, tercium bau asap satenya beraroma wangi kembang kuburan. Kemudian tiba-tiba pula asap itu berubah jadi agak kekuningan dan berbau sangat busuk. Jauh lebih busuk daripada bau bangkai. Makanya tadi, tanpa pikir panjang lagi ayah langsung lari ke mobil."
Mendengar penjelasan itu, istri langsung terdiam. Aku yakin, kali ini dia ketakutan.
"Bun, Bunda tenang ya, jangan panik. Ayah harus sampaikan ini ke Bunda. Supaya Bunda juga tahu situasi kita saat ini dan tidak hanya jadi beban pikiran ayah sendiri. Tapi, sekali lagi, jangan panik, ya. Tetap menyetir dengan tenang."
Istri tetap diam. Dia terus menyetir dan pandangannya tetap lurus ke depan. Aku berusaha memastikan kondisi jiwanya dengan memperhatikan gelagatnya agak lama. Menakar apakah dia masih cukup tenang untuk bisa terus menyetir dengan aman. Namun, aku belum bisa menyimpulkan.
Karena agak ragu dengan kondisi mental istri, aku berpikir sebaiknya kembali gantian aku yang nyetir. Namun, untuk itu tentu mobil harus berhenti dulu, dan kami harus keluar untuk bertukar posisi duduk. Nah, untuk berhenti dan keluar dari mobil ini yang aku khawatirkan. Aku tidak berani. Kejadian saat berhenti dekat tukang sate mistis tadi masih menghantuiku.
Akhirnya, tak ada pilihan. Terpaksa aku biarkan istri terus menyetir. Aku akan pandu terus sambil berharap mentalnya masih cukup stabil.
"Begini, Bun. Sejak dari Baturaja, sepertinya kita sudah tersesat entah kemana. Setelah putar balik tadi, kita malah tidak menuju ke arah semula. Ini bukan jalanan yang sama dengan jalanan saat ayah yang nyetir ketika Bunda tertidur. Sepertinya kita semakin disesatkan oleh google map."
"Terus terang, sekarang kita benar-benar kehilangan arah. Tak punya panduan apa-apa untuk dipedomani. Ayah tidak percaya lagi mengikuti panduan aplikasi."
Istri masih tetap diam. Tidak bereaksi sama sekali.
Di luar, tiba-tiba hujan turun amat deras. Saking derasnya, suaranya berdentang-dentang di atap mobil. Memekakkan suasana dalam kabin. Guntur menggelegar dua kali diiringi kilatan petir. Benar-benar mencekam.
"Bun, kurangi kecepatan. Pelan-pelan saja. Jalanan tidak terlihat jelas."
Baru saja aku menyelesaikan kalimat itu, tiba-tiba hujan berhenti. Benar-benar berhenti total. Bahkan gerimispun tidak. Suasana sekitar langsung cerah. Hanya sekitar dua puluh detik hujan deras tadi terjadi.
'Aneh,' pikirku.
Suasana kembali senyap. Yang terdengar hanya suara getaran mesin mobil yang merambat ke kabin.
Sesaat aku dan istri sama-sama terdiam. Sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing, sebelum kami tiba-tiba dikejutkan lagi oleh suara lirih dari jok belakang.
"Ayah, Bunda, kita ada di mana, nih?"
Astaghfirullaah..! Hampir serempak aku dan istri terkesiap. Kemudian nyaris berbarengan pula kami menoleh ke belakang dengan jantung berdebar dan bulu kuduk merinding. Teringat suara misterius anak tengah kami tadi yang terdengar jelas, namun ketika dilihat, ternyata dia sedang tertidur pulas.
Namun, kali ini kami lega. Memang si sulung yang barusan bersuara. Dia terbangun dan mengucek-ngucek mata.
"Ih, kenapa Ayah dan Bunda kaget begitu? Sudah sampai dimana kita, nih?" ujar si sulung seraya melihat jam tangannya.
"Loh, udah dini hari, kenapa kita masih di jalan, Yah? Bukannya tadi waktu berhenti Magrib, Ayah bilang, diperkirakan jam sembilan atau sepuluh kita sudah masuk hotel di Muara Enim? Ini kenapa masih di jalan? Di mana, nih?"
Aku tidak menjawab. Sementara, istri juga masih saja tidak bersuara.
Kemudian putriku itu mengedarkan pandangannya sekeliling.
"Yah, ada masalah kah?" Dia rupanya mulai sadar ada yang tidak beres.
Akhirnya, aku putuskan untuk bercerita.
"Iya, nak. Sepertinya kita tersesat. Dan dari tadi, selama kamu tertidur, banyak kejadian aneh. Tapi Alhamdulillah sampai sekarang kita masih baik-baik saja. Hanya saja, sekarang kita kehilangan orientasi. Tidak jelas kita sekarang berada di mana dan kemana arah yang harus kita tuju. Sementara, google map rasanya tidak mungkin kita jadikan panduan lagi."
Seperti bundanya tadi, si sulung juga langsung terdiam setelah mendengar penjelasanku. Namun dia tampak berpikir.
Seiring dengan itu, dari arah depan terlihat kabut putih mulai turun. Awalnya tipis. Tapi lama kelamaan semakin tebal. Jarak pandang ke depan mulai semakin pendek. Istri kesulitan menyetir karena makin lama jalanan semakin tidak terlihat.
Setelah beberapa menit mobil berjalan sangat pelan, akhirnya terpaksa berhenti. Karena jalan sudah tidak terlihat sama sekali.
Kabut putih terus turun begulung-gulung. Dari dalam mobil kami tidak bisa melihat apa-apa lagi selain kabut putih sekeliling. Seperti ketika berada dalam pesawat terbang saat memasuki awan.
"Duh, gimana ni, Yah, kita tidak bisa lagi lanjut. Jalanan tidak terlihat sama sekali." Setelah sekian lama diam, istri akhirnya kembali berkata-kata.
"Entahlah Bun. Kita tunggu saja sebentar. Biasanya kabut tebal begini tidak lama. Nanti akan segera menipis karena terbawa angin."
Setelah menunggu lebih sepuluh menit, ternyata kabut putih tebal itu sama sekali tidak menipis. Kami seperti berada dalam selubung tebal. Aku dan istri tak tahu lagi harus berbuat apa.
"Ayah, Bunda, ayo kita bacakan ayat-ayat suci. Ini bukan alam kasat mata. Kita sedang terjebak di alam ghaib."
Si sulung berkata-kata lirih. Namun wajahnya sangat serius. Sesaat aku terkesima mendengar kata-katanya. Dari tadi tak terpikirkan olehku apa yang baru saja dia katakan itu.
Aku juga sama sekali tidak menyangka dia bisa membuat analisis seperti itu. Karena, aku menganggap dia masih bocah kecil. Belum mampu berpikir kritis.Tapi aku lupa, dia seorang santri. Meski baru dua tahun mondok, tentunya sedikit banyak sudah punya bekal ilmu agama yang memadai.
Si Sulung langsung membacakan ayat-ayat suci. Aku dan istri juga segera mengikuti. Kami bacakan ayat-ayat yang kami hafal.
Belum genap lima menit kami melantunkan ayat-ayat suci, apa yang dikatakan si sulung terbukti benar. Kabut putih itu pelan-pelan menipis, kemudian lenyap sama sekali. Kami kembali bisa melihat kondisi sekeliling. Aku coba pelajari situasi sekitar. Mencari tahu, apakah posisi kami masih berada pada posisi saat sebelum terkurung kabut tebal tadi atau sudah beralih.
Ternyata masih sama. Aku bisa meyakini, bahwa kami masih berada di lokasi dan jalanan yang berbeda dengan saat berangkat tadi. Keadaan sekitar masih saja berupa padang rumput savana, bukan hutan belantara. Jika yang disebut si sulung tadi benar, berarti saat ini kami masih berada di alam ghaib.
"Gimana, Nak?" Tanyaku pada si sulung penuh harap. Aku seolah sudah kehilangan akal mengatasi situasi.
"Ini bukan jalanan yang Ayah lewati tadi? Jika memang bukan, sepertinya kita memang masih terjebak." Si sulung kembali menganalisis.
"Bunda, ayo jalan lagi. Tapi pelan-pelan aja. Aku akan terus mengaji untuk membuka jalan. Ayah dan bunda juga ikut bantu, ya. Baca saja ayat apapun yang ayah dan bunda hafal."
Istri pun kembali melajukan mobil dengan kecepatan tiga puluh kilometer per jam. Sekarang si sulung yang memandu kami. Dengan jantung berdebar-debar kami terus berjalan. Aku lihat speedo meter. Bahan bakar tersisa setengah. Aku gumamkan doa dalam hati, "Ya Tuhan, tuntunlah kami."
Beberapa menit kemudian.
"Bun, hati-hati, di depan sepertinya ada penurunan yang agak curam."