Mohon tunggu...
Agus Siregar
Agus Siregar Mohon Tunggu... Peneliti Tasawuf

Peneliti Tasawuf

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aliran-aliran dalam Filsafat Islam

15 Agustus 2025   17:38 Diperbarui: 15 Agustus 2025   17:38 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

Filsafat difenisikan sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, untuk mempertajam argumentasi sehingga membuat seseorang yang telah belajar filsafat menjadi jauh dari kesesatan, karena filsafat memastikan kebenaran sesuatu yang sudah dianggap benar. Filsafat Islam adalah ilmu yang mencari kebenaran yang sebenar-benarnya agar seseorang memiliki tindakan yang benar. Jika masyarakat menolak filsafat justru hakikatnya telah membunuh ketajaman intelektual dan daya nalarnya sebagaiman yang dijelaskan oleh Fazlur Rahman

 

"Filsafat, bagaimanapun juga, adalah kebutuhan intelektual yang abadi dan harus dibiarkan berkembang baik demi dirinya sendiri maupun demi disiplin ilmu lainnya, karena filsafat menanamkan semangat analitis-kritis yang sangat dibutuhkan dan menghasilkan ide-ide baru yang menjadi alat intelektual penting bagi ilmu-ilmu lainnya, tidak terkecuali bagi agama dan teologi. Oleh karena itu, suatu masyarakat yang mengabaikan filsafat pada dasarnya membiarkan dirinya kelaparan akan ide-ide segar-sebenarnya, masyarakat tersebut melakukan bunuh diri intelektual".

 

Filsafat Islam yang memiliki cakrawala yang dapat diilhami dan merupakan salah satu tradisi intelektual terkaya di dunia, filsafat yang secara keniscayaan berkaitan dengan realitas keagamaan dan kenabian serta logika, ilmu-ilmu alam, dan seterusnya, dan sering kali disandingkan dengan iluminasi (ishrq) dan gnosis ('irfn). Jika melihat kembali filsafat dalam sudut pandang ini, maka gelar "filsuf" tidak dapat ditolak bagi mereka yang dalam Islam disebut "falsifah" dan juga mereka yang dikenal sebagai ukam' dan 'uraf'. Filsafat Islam bukanlah filsafat Arab karena beberapa alasan, meskipun istilah ini memiliki sejarah yang terhormat di Barat, namun tidak memiliki historis di dunia Islam sendiri sebelum abad ke-14 samapai ke-20. Pertama-tama, meskipun sebagian besar karya-karya filsafat Islam ditulis dalam bahasa Arab, banyak juga yang ditulis dalam bahasa Persia yang berasal dari Ibnu Sina sendiri. Kedua, meskipun banyak filsuf Islam yang berasal dari Arab, seperti al-Kindl atau Ibnu Rusyd, banyak juga yang berasal dari Persia, dan sebagian besar berasal dari latar belakang etnis Turki atau India. Selain itu, Persia tetap menjadi pusat utama filsafat Islam selama sebagian besar sejarah Islam. Filsafat Islam diciptakan oleh orang-orang Muslim yang merupakan orang Arab, Persia dan kemudian Turki, India, Melayu. Berdasarkan terjemahan yang sering dilakukan oleh orang barat.

 

Filsafat Islam setidaknya dibagi menjadi tiga aliran Masya'yyah, Israqyah dan Hikmah Muta'allyah. Paripatetik atau sering disebut sebagai Masya'yyah secara epistomologi disandarkan kepada metode logis Aristotelian. Ciri Aristotelian ini memandang segala sesuatu adalah gabungan antara materi dan bentuk (hylomorfisme). Segala sesuatu yang ada pada alam ini bersifat materi pemahaman ini jelas berbeda dengan Platonik yang mengatakan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari ide, terkait tentang ide akan lebih menarik ketika membahasnya saat di Israqiyyah, adapun tokoh Paripatetisme sebagai berikut:

 

  • Tokoh-Tokoh Aliran Masya'yyah
  • Al-Kindi 

 

Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi filsuf dari Arab yang sangat terkenal dalam sejarah filsafat Islam, lahir di Kufah 798 M, al-Kindi memulai pendidikannya di Kufah dan menyelesaikannya di Bagdad, pusat kebudayaan pada zamannya. Al-Kindi begitu terkenal di ibu kota Abbasiyah sebagai seorang ulama dan dokter dan mendapatkan perlindungan dari khalifah al-Ma'mun dan Mu'tasim dan ditunjuk sebagai guru bagi anak dari khalifah Ahmad. Dengan fasilitas yang memadai al-Kindi melanjutkan mempelajari berbagai bidang ilmu sampai akhirnya al-Kindi tidak lagi disukai oleh para penguasa. Al-Kindi meninggal di Bagdad 870 M.

 

  • Filsafat Ketuhanan

 

Filsafat bagi al-Kindi adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama menerangkan kebenaran dan kebaikan, begitu juga tujuan filsafat. Agama, selain menggunakan wahyu, juga mempergunakan akal. Bagi al-Kindi yang benar pertama adalah Tuhan dan agama juga membahas tentang Tuhan. Kemudian al-Kindi juga menyatakan bahwa filsafat tertinggi adalah filsafat tentang Tuhan yang Maha Benar.

 

"Filsafat yang mulia dan tertinggi derejatnya adalah filsafat utama, yaitu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar."

 

Al-Kindi mengatakan bawah filsuf yang sempurna dan paling mulia haruslah mengetahui pengetahuan tentang sebab karena pengetahuan tentang sebab lebih mulia dari pada pengetahuan tentang akibat, karena pengetahuan  akan lengkap apabila kita telah mengetahui tentang sebab-sebabnya, kemudian setiap sebab bisa berupa materi, bentuk atau pelaku, yaitu sesuatu yang asal muasal gerak. Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak memiliki hakikat dalam pengertian aniyah atau mahiyah. Tidak aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Tuhan adalah pencipta alam. Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan tidak tidak memiliki hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan tidak merupakan genus dan species. Tuhan yang didefenisikan oleh al-Kindi tidak memiliki ketergantungan dari luar diri-Nya, yang abadi tidak memiliki sebab dan tidak memiliki subjek maupun predikat.

 

  • Filsafat Jiwa

 

Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa tidak memiliki bentuk tetapi memiliki subtansi dan berhubungan dengan dunia materi yang ada pada dalam diri manusia, al-Kindi menjelaskan bahwa jiwa manusia apabila mengarah kepada amarah dan kenginan yang negatif maka akan mengarahkan manusia tersebut kepada keseseatan pada jiwa tersebut. Jiwa (soul) bersifat kekal dan tidak akan hancur, karena subtansi jiwa itu berasa dari Tuhan, jiwa adalah cahaya yang dipancarkan dari Tuhan, karena jiwa berasal dari Tuhan tentu saat terpisah dari jasad maka jiwa itu akan kembali kepada Tuhan, namun hanya jiwa yang bersih yang bisa langsung sampai kepada puncak Kebenaran yaitu bertemu dengan Tuhan, namun jika jiwa tersebut belum bersih maka haruslah dibersihkan terlebih dahulu.

 

  • Al-Farabi 

 

Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij pada tahun 870 M/ 259 H. Kemudian ia juga pernah menjadi hakim di Farab, kemudian pergi ke Baghdad lalu belajar disana kepada Abu Bisr dan tinggal di sana selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan mengikuti pertemuan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat waktu itu.

 

  • Filsafat Emanasi

 

Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang satu bisa memunculkan yang banyak. Tuhan yang satu tidak berubah-ubah, jauh dari materi, dari sini muncullah pertanyaan bagimana Tuhan menciptakan semua yang banyak ini, bagi al-Farabi adalah dengan cara emanasi.[ 

 

Filsafat emanasi dalam pemikiran al-Farabi dapat ditemukan di dalam karyanya bahkan al-Farabi menjelaskan tentang emanasi sebagai berikut.

 

"Wujud pertama adalah sebab pertama bagi semua wujud yang lain. Ia terbebas dari segala jenis kekurangan. Sementara setiap sesuatu selainnya tidak bisa terbebas dari jenis kekurangan bisa juga lebih dari satu kekurangan. Wujud pertama terbebas dari segala kekurangan. Wujudnya adalah wujud yang paling utama dan wujud yang paling pertama. Tidak mungkin ada wujud yang lebih pertama dari pada wujudnya. Ia adalah wujud yang paling utama dan wujud yang paling tinggi drejat kesempurnaannya. Karena itu wujudnya dan subtansinya sama sekali tidak mungkin dirusak oleh ketiadaan. Ketiadaan adalah tiadanya wujud apa yang akan mewujud."

Bagi al-Farabi wujud ini tidak lah wujud yang menunggu wujud lain untuk dapat mewujud atau wujud ini bukan lah wujud potensial. Wujud ini senantiasa mewujud dengan subtansi-Nya dan zat-Nya tanpa butuh pada wujud yang lain. Sebagaimana al-Farabi menjelaskan.

 

"Ia tak mungkin, dari segi apa pun, menjadi wujud potensial, dan bagi-Nya tidak ada kemungkinan, dari segi apa pun, untuk tidak mewujud. Karena inilah, Ia azali, senantiasa ada dengan subtansi-Nya dan zat-Nya tanpa butuh dalam keazalian-Nya pada sesuatu yang lain untuk kekekalan-Nya. Bahkan dengan subtansi-Nya cukuplah bagi kekekalan-Nya dan berlangsungan wujud-Nya. Tidak mungkin ada satu wujud yang sepadan dengan tingkatan wujud-Nya atau wujud yang memenuhi keberadaan-Nya."

 

Wujud ini tidak didahului oleh sebab apa pun, wujud ini juga sama sekali bukan materi dan tidak terdiri dari materi, ia juga tidak mempunyai bentuk karena bentuk hanya dimiliki oleh sesuatu yang bermateri.  Wujud ini terlepas dari segala materi sebagaimana penjelasan al-Farabi.

 

"Ia adalah wujud yang tidak mungkin mempunyai sebab, yang dengan sebab itu atau sebab itu atau karena sebab itu wujudnya ada. Ia bukan materi, dan keberlangsungannya sama sekali tidak terdiri dari materi dan objek. Bahkan wujudnya terbebas dari segala materi dan segala objek. Ia juga tidak mempunyai bentuk karena tidak mungkin ada kecuali dalam materi. Kalau ia mempunyai bentuk. Pastilah zatnya terdiri dari materi dan bentuk. Kalau demikian halnya, pastilah ia ada dengan dua bagian. Yang dari keduanya ia tersusun, dan pastilah ada sebab untuk wujudnya. Masing-masing bagiannya adalah sebab bagi wujud keseluruhannya, padahal kita menyebutnya sebagai Sebab pertama."

 

Al-Farabi menjelaskan bagaimana akal yang pertama sampai kepada akal kesebelas.

 

"Dari yang Pertama memancarkan wujud kedua, wujud kedua juga subtansinya tidak berjasad sama sekali, dan ia tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan zat yang Pertama dan tiadalah apa yang memikirkan zatnya sendiri adalah sesuatu yang bukan zatnya. Karena ia memikirkan yang pertama, muncullah darinya wujud ketiga, dan karena ia bersubtansi dengan zat yang khusus padanya, muncullah darinya wujud langit pertama. Wujud ketiga juga tidak dalam materi. Ia adalah akal dengan subtansinya. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama. Karena ia subantsinya  dengan zatnya  yang khusus padanya, muncullah darinya wujud lingkaran binatang-binatang tetap, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya wujud keempat. Wujud ini juga tidak dalam materi, ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama. Karena ia bersubtansi dengan zatnya yang khusus padanya, muncullah  darinya lingkaran Saturnus, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya wujud kelima. Wujud kelima ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama. Karena subtansi dengan zatnya muncullah lingkaran Jupiter, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah wujud keenam. Wujud ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama. Karena ia bersubtansi dengan zatnya muncullah lingkaran Mars, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya wujud ketujuh. Wujud ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama. Karena subntansi dan zatnya muncullah lingkaran Matahari, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya wujud yang kedelapan. Wujud ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama, karena dia bersubtansi pada zatnya maka muncullah darinya lingkaran Venus, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya yang kesembilan. Wujud ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama, karena dia bersubtansi pada zatnya maka muncullah darinya lingkaran Merkuri, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya wujud yang kesepuluh. Wujud ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama, karena dia bersubtansi pada zatnya maka muncullah darinya lingkaran Bulan, dan karena ia memikirkan yang Pertama, muncullah darinya wujud yang kesebelas. Wujud ini juga tidak dalam materi. Ia memikirkan zatnya sendiri dan memikirkan yang Pertama, namun padanya berhenti wujud yang untuk mewujudkan dirinya tidak membutuhkan materi dan objek sama sekali. Ia adalah sesuatu yang terpisah dari materi yang subtansinya adalah akal dan objek akal, dan pada lingkaran Bulan berhenti wujud jism-jism langit, yang watak alaminya adalah bergerak melingkar.

 

Teori emanasi al-Farabi menjelaskan bagaimana proses kemunculan wujud yang banyak dari Wujud Pertama dan dari wujud yang Pertama ini melahirkan wujud-wujud yang lain. Atau bisa dijelaskan seperti ini wujud yang Pertama memikirkan zat-Nya sendiri, dan pemikirannya memunculkan wujud kedua (akal pertama). Wujud kedua (akal pertama) hingga wujud kesebelas (akal kesepuluh), masing-masing wujud ini memikirkan Wujud pertama dan juga memikirkan dirinya sendiri. Kemudian wujud-wujud ini memunculkan benda-benda langit.

 

  • Ibn Sina

 

      Abu Ali Husien Ibn Abdillah Ibn Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara pada tahun 980 M. Sejak kecil ia belajar ilmu pengetahuan seperti fisika, matematika dan kedokteran dan ia dipanggil ke Istana untuk mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pangeran sembuh. Ibn Sina meninggal 1037 M.

 

 

  • Pemikiran Kosmologi Ibn Sina

 

              Pemikiran kosmologi Ibn Sina sama seperti emanasi dalam pemikiran al-Farabi yang menyatakan bahwa wujud yang Satu melahirkan akal pertama, lalu kemudian akal pertama yang akan mewujudkan akal-akal selanjutnya.

 

              "Maka jelaslah bahwa eksistensi pertama dari penyebab Pertama itu satu baik secara kuantitas, dzat, dan esensi. Satunya itu bukan dalam dimensi materi fisik. Tidak ada satupun sesuatu baik materi ataupun bentuk yang memiliki tingkat kesempurnaan eksistensi yang mendakati-Nya kecuali akal murni, karena ia merupakan bentuk yang terlepas dari dimensi fisik. Dia (akal murni) itu merupakan yang pertama dari akal-akal terpisah sebagai penggerak tubuh (langit) terjauh dengan cara yang mengangumkan."

 

            Ibn Sina melalui teori emanasi ingin menyelesaikan persoalan metafisik bagaimana wujud alam yang plural ini bisa berhubungan dengan wujud Tuhan yang abadi dan dapat berada secara bersamaan tanpa merusak kesempurnaan dan keesaan Tuhan.

 

            Pemikiran Ibn Sina tentang kosmologi terpengaruh oleh Plotinus, bagaimana sumber yang Satu  berkaitan dengan proses penciptaan dan signifikansi dari peran emanasi, tetapi dalam melihat persoalan jiwa pemikiran Ibn Sina mengakar kepada teori dari Arisoteles.

  • Ibn Rusyd

 

            Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan filosof besar kemudian disebut juga sebagai Arisotelian murni.

 

  • Filsafat tidak Bertentangan dengan Agama

 

            Ibn Rusyd menyatakan bahwa hakikatnya filsafat tidak bertentangan dengan agama, justru orang-orang seharusnya belajar tentang filsafat karena di dalam al-Qur'an sendiri banyak dalil-dalil yang mendukung filsafat seperti tanda bagi orang yang berfikir, tanda bagi orang yang berakal, tidakkah mereka melihat. Dalil inilah yang digunakan Ibn Rusyd untuk mendukung argumentasinya bahwa Tuhan menyuruh manusia untuk berfilsafat.

 

            "Pada prinsipnya, setiap syari`ah didasarkan atas wahyu dan intelek menyertainya (yukhlituh). Akan tetapi, bisa juga dimungkinkan adanya sebuah syariah dari intelek belaka. Hanya saja, nilai dan tingkatannya berkurang dibanding syariat yang didasarkan atas wahyu dan intelek sekaligus".

 

            Pernyataan Ibn Rusyd tersebut membuktikan bahwa syariat yang paling unggul adalah yang berasal dari wahyu dan intelek sekaligus, Ibn Rusyd tampaknya berusaha untuk mengangkat dan menempatkan intelek (rasio) di samping wahyu, sehingga penalaran rasional tidak akan bertentangan dengan syariat.

 

            Israqyah adalah aliran filsafat Islam yang kedua yang terdiri dari tokoh seperti Suhrawardi dan Ibn al-'Arab.

 

  • Tokoh-tokoh Israqyah
  • Suhrawardi

 

            Suhrawardi nama lengkapnya adalah Syihab  al-Din Yahya Ibn Habasy Ibn Amira', lahir di desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur Laut Iran, tahun 1153 M.

 

  • Filsafat Iluminasi Suhrawardi

 

            Suharawardi Secara epistemologis, filsafat sufistis Suhrawardi memiliki teori yang mendalam mengenai soal jiwa, moral, pengetahuan, wujud, dan lain sebagainya yang sangat bernilai, baik ditinjau dari segi mistik maupun filsafat. Perhatian Suhrawardi dalam filsafat sufistisnya terutama pendekatan intuitif (zauq/wijdan). Suhrawardi dalam falsafat sufistisnya menggunakan istilah-istilah dan simbolsimbol yang berbeda dalam mengungkapkan pangalaman spiritualnya, namun memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Inilah tipologi filsafat sufistis Suhrawardi yang dalam mengungkapkan ajaran-ajarannya menggunakan Bahasa simbolis-alegoris. Inti utama filsafat illuminasi Suhrawardia dalah sifat dan penyebaran Cahaya.

 

            Cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tak dapat didefinisikan. Cahaya seperti entitas yang paling terang di dunia ini, sehingga tidak membutuhkan definisi. Adapun mengenai gradasi essensi menurut Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi hanyalah formulasi abstrak, yang diperoleh pikiran dari substansi ekstemal. Eksistensilah yang aksiden dan essensilah yang prinsipal. Reatitas yang sesungguhnya atau benar-benar ada hanyalah esensi-esensi yang tidak lain merupakanb bentuk-bentuk cahaya. Cahayacahaya ini adalah sesuatu yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan d\an tidak dikenali. Sebab itu ia tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu cahaya menembus ke dalam. Bagi Suhrawardi wujud itu hanya dibagi menjadi 2 yaitu wujud kekayaan (ghina) dan wujud kemiskinan (faqr), wujud tersebut yang mengejewantah di luar sana terus menerus dan terdiri dari tangga-tangga yang berurutan. Berbeda dengan Ibn Sina yang membagi wujud menjadi tiga bagian, yaitu tidak mungkin, mungkin wujud dan wajib wujud, di sini Suhrawardi hanya membagi dua dalam filsafat iluminasinya.[

 

  • Ibn al-'Arab

 

            Ibn al-'Arab adalah ahli metafisika dalam Islam dan penulis paling produktif dan mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk latihan spiritual. Tokoh yang dikenal dengan nama Ibn al-'Arab bernama lengkap: Muhammad bin Al bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Htm Ath-T'i. Ath- T'i adalah nama kabilah. Ibn al-'Arab Lahir di Murcia Andalusia Tenggara pada 17 Ramadhan pada tahun 560 H, bertepatan dengan 28 juli 1165 M.

 

  • Kosmologi Ibn al-'Arab

 

Ajaran sentral dalam kosmologi Ibn al-'Arab adalah tajall. Konsep ini beranjak bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya. Karena itu dijadikan alam ini cerminan bagi Allah. Ketika Ia melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Kata tajall mencakup semua pemikiran Ibn al-'Arabi. Konsep ini menjadi tiang filsafat tentang wahdatul wujud Ibn al-'Arab mengatakan bahwa tajall merupakan penjelasan tentang al-khalq (manifestasi) dan munculnya yang banyak dari yang Satu.

 

            "Sesungguhnya al-Haq men-tajall dalam sesuatu, bahwa al-Haq tampak di dalam keberagaman maka al-Haq dalam tajall-Nya memberi wujud pada sesuatu."

 

            Kosmologi Ibn al-'Arabi tidak bisa dipandang sama dengan kosmologi yang dipahami oleh sains, dalam pemahaman kosmologi yang dipahami sains, alam hanya sebatas materi tanpa ruh. Kosmologi biasanya diartikan sebagai alam. Alam sendiri termanifestasi dari nama Tuhan yang Maha Penyayang (al-Rahmn) dengan demikian Tuhan telah menampakkan wujudnya lewat alam semesta bukti kecintaan Tuhan terhadap manusia, agar manusia dapat mengenali-Nya lewat manifestasi-Nya yaitu alam.

 

            "Sesungguhnya Allah mempertalikan alam dengan-Nya dan memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia mempunyai hubungan dengan alam melalui nama-nama Tuhan yang mengafirmasikan entitas-entitas alam, dan hubungan kebebasan-Nya dari alam, dia mengetahui diri-Nya dan kita tidak mengetahui-Nya."

 

Bagi Ibn al-'Arab alam dibagi menjadi dua yaitu alam shagir dan alam kabir. Manusia dikatakan mikrokosmos dikarenakan pada diri manusia terkandung unsur-unsur kosmos, bahkan manusia juga memiliki unsur rohani karena manusia memiliki ruh yang telah ditiupkan oleh al-Haq. Maka manusia yang telah memiliki unsur alam semesta memiliki potensi untuk memantulkan sifat-sifat al-Haq atau biasa dikenal dengan manusia citra Ilahi. Manusia yang bisa memantulkan sifat-sifat al-Haq sebenarnya secara potensial saja, namun ada manusia yang dipilih oleh al-Haq sebagai manusia paripurna yang mampu mencerminkan sifat-sifat Ilahi secara aktual.

 

            Manusia adalah ruh alam dan alam adalah jasad, jika kamu memperhatikan alam tanpa manusia, niscaya kamu akan menemukannya seperti tubuh yang tidak terbentuk tanpa ruh. Kesempurnaan alam karena manusia seperti kesempurnaan jasad karena ruh. Manusia ditiupkan ke dalam tubuh alam. Karena itu, ia adalah tujuan (al-maqsud) alam.

 

Ibn al-'Arab mengatakan bahwa alam terjaga secara terus menerus karena adanya manusia yang memelihara alam, manusia bagi alam bagaikan sebuah permata, oleh sebab itulah manusia disebut sebagai khalifah karena dengan adanya manusia Tuhan memelihara alam. Dalam doktrin Ibn al-'Arab manusia sempurna bukan hanya sebab adanya alam tetapi juga yang memelihara alam.

 

"Dia (Allah) menundukkan kepadanya (Adam, manusia) segala sesuatu yang tinggi dan yang rendah, karena kesempurnaan bentuknya. Sebagaimana tidak sesuatupun dalam alam yang tidak memuji Tuhan, demikian pula tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak tunduk kepada manusia karena sesuatu yang diberikan kepadanya oleh hakikat bentuknya. Allah berfirman "Dia menundukkan kepada mu semua yang ada di langit dan yang ada di bumi dari Dia" karena itu, segala sesuatu yang ada dalam alam tunduk kepada manusia. Barang siapa yang mengetahui ini adalah Manusia Sempurna, sedangkan barang siapa yang tidak mengetahuinya adalah Manusia tidak sempurna."

 

            C.  Hikmah al-Muta'alliyah

 

            Mulla Sadra, nama lengkapnya adalah Sadr al-Din Muhammad Ibn Ibrahim bin Yahya Qawami al-Syirazi, lahir 1571 M, di Syiraz, Iran, sebuah kota yang saat itu dikenal sebagai pusat studi filsafat Islam dan disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional.

 

  • Ambiguitas Wujud (Tasykik al-Wujd)

 

            Prinsip al-Hikmah al-Muta'alliyah terdiri dari beberapa bagian tetapi pada tema ini hanya akan berfokus kepada ambiguitas wujud. Ambiguitas wujud merupakan gambaran wujud tunggal yang memiliki gradasi berbeda, disebabkan oleh tingkatan kualitas yang ada pada wujud tersebut. Bagi Mulla Sadra wujud tidak memiliki perbedaan pada tingkatan subtansinya, melainkan pada kualitas keintensifan dan ketidakintensifan, prioritas dan posterioritas, serta ketampakan dan ketersembunyiannya. Maka dalam hal ini Mulla Sadra mengatakan tidak ada perbedaan antara sufi dan filosof

 

            "Perlu dipahami bahwa pembuktian kami terhadap tingkatan-tingkatan wujd yang berbeda-beda dan melakukannya pada dasar dalam tingkatan-tingkatan pembahasan dan pengajaran atas keragamannya dan kemajemukannya (wujd) tidak bertentangan  dengan apa yang akan kami buktikan pada pembahasan selanjutnya tentang pembuktian bahwa wujd dan maujd secara esensi dan secara hakikat adalah sebagaimana yang diyakini para ualia dan 'urafa' yang mana mereka semua adalah orang-orang yang telah memperoleh pengingkapan batin dan telah memperoleh pengetahuan hakiki."

            Pemahaman ini dijelaskan oleh Mulla Sadra dengan menggunakan metode cahaya seperti Suhrawardi yaitu menggunakan istilah cahaya. Baginya wujud seperti halnya level-level cahaya matahari yang permisalan bagi Tuhan bagi alam materi, yang memancarkan cahayanya dan penerimanya akan memunculkan berbagai ragam warna-warna seperti saat cahaya itu menembus sebuah kaca, tidak ada perbedaan antara cahaya itu kecuali hanya kekuatan dan kelemahan semata.  

Daftar Pustaka

A.Khudori Sholeh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Ab Nasir Alfrb, ru ahlu al-Madnah al-Fdilah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1968.

Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi, Ris'il al-Kind al-Falsafah, Beirut: Maktabah Hasan.

Alfred L. Lvry, al-Kindi's Metaphysics, New York: State University of New York Press, 1974.

Fathul Mufid dan Subaidi, Filsafat Islam Mazhab kedua, Kuningan: Goresan Pena, 2021.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Chicago: The University of Chicago Press, 1984.

Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, Maret 2006.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

Hossien Zai, Suhrawardi Filsafat Iluminasi, Jakarta: Sadra Press, 2012.

Ibn al-'Arab, Al-Futht al-Makkiyyah, jilid III, Beirut: Dar-al-Fikr, 2010.

Ibn al-'Arab, Al-Futht al-Makkiyyah, jilid IV, Beirut: Dar-al-Fikr, 2010.

Ibn al-'Arab, Fuss al-Hikam Beirut: Dar- al-Katab al-Ilimiyah, 2009.

Ibn Rusyd, Tahfut al-Tahfut, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ibn Sina, Mabadi wa al-Ma'ad, Teheran: Tehran University, 1998.

Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujd dalam Perdebaatan, Jakarta: Paramadina, 1995.

Kholid Al Walid, Filsafat Eskatologi Mulla Shadra, Jakarta: Sadra Press, 2012.

Kholid Al Walid, Tasawuf Filosofis, Jakarta: Sadra Press, 2020.

Muhammad Husen al-Tabtab, Bdayah al-Hikmah, Syabakat Al-Fikr, 1993.

Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta'lliyah fi al-Asfr al-Arba' Jilid I, Beirut: Dr al-Ihy al-Turth.

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Eirlangga, 2006.

Peter Adamson, Philosophy Arabic, Ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor, Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

Seyyed Hosien Nasr, History of Islamic Philosophy, Ed. Seyyed Hosien Nasr dan Oliver Leaman, London and New York: Routledge, 2001.

Seyyed Hosien Nasr, Islamic Philosophy froam its Origin to the Present, New York: State University of New York Press, 2006.

Seyyed Hosien Nasr, Three Muslim Sages, Delmar: Caravan, 1976.

Su'd Hakim, Al-Mu'jam al-Sufiyyah al-Hikam fi Hududi al-Kalimat, Beirut: Dandarah, 1981.

William C. Chittick, Self Disclosure of God, New York: State University of New York Press, 1997.

Yahya Osman, Histoire et Classification de L'oevre D'Ibn al-'Arab, Damas: Institute Francais de Damas, 1996.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun