Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 21

24 Juni 2025   13:32 Diperbarui: 25 Juni 2025   14:43 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Bab 21: Karam Tak Wajar

Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, dan Bab 20.

Perjalanan mereka dari perbukitan sejuk di pedalaman Jawa menuju pesisir utara adalah sebuah pergeseran dramatis, tidak hanya dalam lanskap, tetapi juga dalam nuansa. Udara yang tadinya segar dan beraroma tanah basah perlahan menjadi berat, lengket, dan jenuh oleh garam. Hamparan sawah yang hijau subur berganti dengan ladang-ladang tambak yang memantulkan cahaya matahari dengan silaunya yang kejam, dan akhirnya, daratan pun menyerah pada dominasi lautan.

Mereka tiba di Kampung Junti menjelang sore. Ini adalah sebuah desa nelayan khas Pantura, terjepit di antara muara sungai yang keruh dan Laut Jawa yang berwarna coklat keabu-abuan. Kesan pertama bukanlah keindahan, melainkan kegigihan. Puluhan perahu jukung yang ramping dan berwarna-warni ditarik ke atas pasir gelap, perut-perutnya yang buncit kini beristirahat setelah bekerja keras. Banyak di antara perahu itu memiliki sepasang mata besar yang dilukis di haluannya, sebuah tradisi kuno yang dipercaya dapat melihat bahaya dan menuntun para nelayan pulang dengan selamat. Jaring-jaring ikan yang kusut dan berbau tajam dijemur pada rak-rak bambu, sementara rumah-rumah panggung dari kayu lapuk berdiri di atas tiang-tiang, seolah waspada terhadap amukan pasang yang bisa datang kapan saja.

Namun, ada yang salah. Suara yang seharusnya mendominasi desa seperti ini---teriakan anak-anak yang bermain di pantai, nyanyian para nelayan yang memperbaiki jaring, hiruk pikuk di tempat pelelangan ikan---semuanya lenyap. Yang terdengar hanyalah desau angin laut yang monoton dan debur ombak kecil yang tak kenal lelah. Desa itu diselimuti keheningan yang berat, keheningan duka.

Sekelompok pria berwajah keras dan berkulit gelap karena terbakar matahari duduk bergerombol di bawah atap sebuah balai lelang ikan yang kosong. Mereka tidak berbicara, hanya menatap kosong ke arah lautan, seolah mencoba mencari jawaban dari cakrawala yang tak memberikan apa-apa. Para wanita berkumpul di beranda rumah mereka, beberapa saling berpelukan dalam isak tangis yang tertahan.

Keempat Pendharaka bertukar pandang. Ini bukan kelelahan karena kerja keras, ini adalah keputusasaan.

Dengan Gayatri memimpin, mereka mendekati kelompok pria itu. Langkahnya anggun dan penuh hormat, tidak mengintimidasi. "Selamat sore, Bapak-bapak," sapanya lembut. "Kami hanya pengelana yang numpang lewat. Maaf jika kami mengganggu, tapi kami merasakan duka yang mendalam di desa ini. Apa yang telah terjadi?"

Seorang pria tua, yang wajahnya dipenuhi keriput sebanyak jaring yang pernah ia tebar, mengangkat kepalanya. Ia adalah Bahrowi, juru mudi paling dihormati di kampung itu. Matanya merah dan lelah. "Duka adalah tamu yang tak pernah kami undang, tapi selalu datang, Nak," jawabnya, suaranya parau. "Laut memberi kami kehidupan, dan tiga malam yang lalu, ia mengambilnya kembali."

Bahrowi menceritakan kisah itu dengan nada datar yang menakutkan, seolah menceritakannya berulang kali hanya membuatnya semakin kosong. Tiga perahu terbaik mereka, Si Bima, Angin Timur, dan Putri Bahari, berangkat saat laut sedang teduh dan bulan bersinar terang. Tujuh belas nelayan terbaik, termasuk kedua putra Bahrowi, ada di atas ketiga perahu itu. Mereka seharusnya kembali keesokan paginya dengan tangkapan yang melimpah.

Mereka tidak pernah kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun