Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 17

16 Juni 2025   16:56 Diperbarui: 20 Juni 2025   09:44 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 17: Titik Nadir Tirta

Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, dan Bab 16.

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Kebangkitan Ratu Gayatri telah menyulut api perlawanan yang lebih besar di seluruh tanah Pasundan. Di bawah kepemimpinannya yang karismatik dan didukung oleh kekuatan ketiga Pendharaka lainnya, rakyat jelata mulai berani melawan. Namun, VOC tak tinggal diam. Serangan balasan dilancarkan dengan kekuatan penuh, tidak hanya di darat, tetapi juga di laut. Armada kapal perang Kompeni dikerahkan untuk memutus jalur pasokan para pejuang dan meneror desa-desa pesisir yang menjadi basis perlawanan.

Dalam sebuah misi untuk mencegat konvoi kapal VOC yang membawa persenjataan berat dan pasukan baru, Tirta memimpin serangan dari laut. Dengan kekuatan barunya yang telah ditingkatkan oleh ritual Pangeran Wirasakti, ia mampu menciptakan gelombang pasang dan pusaran air yang memorak-porandakan beberapa kapal musuh. Namun, armada VOC terlalu besar, dan salah satu kapal perang raksasa mereka, "De Leeuw" (Sang Singa), berhasil mendesak perahu-perahu kecil para pejuang.

Dalam pertempuran laut yang sengit, di tengah hujan tembakan meriam dan dentuman kayu kapal yang hancur, Tirta berhasil menyusup ke atas geladak "De Leeuw". Tujuannya adalah melumpuhkan kapal itu dari dalam. Ia bertarung dengan gagah berani melawan serdadu-serdadu Belanda, air laut menjadi senjatanya, mencambuk dan menghantam. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Sebuah ledakan besar dari gudang mesiu kapal yang terkena tembakan nyasar membuatnya terlempar dan terluka. "De Leeuw" mulai miring, air laut dengan cepat menyerbu masuk melalui lambungnya yang robek. Kapal itu akan segera tenggelam.

Tirta, dengan kaki yang terjepit reruntuhan tiang layar dan kepala yang berdenyut hebat, menyadari bahwa ia tak bisa melarikan diri. Ia terperangkap di dalam kapal raksasa itu saat kapal itu mulai meluncur deras menuju kegelapan abisial. Air dingin dengan cepat memenuhi setiap sudut, menyeretnya turun bersama bangkai kapal. Udara di paru-parunya menipis. Kepanikan mencoba merayap, namun ia menepisnya. Jika ini adalah akhirnya, ia akan menghadapinya seperti ia menjalani hidupnya: dalam pelukan laut.

Saat "De Leeuw" semakin dalam tenggelam, tekanan air semakin menghimpit, kegelapan semakin pekat. Suara erangan logam kapal yang remuk redam menjadi satu-satunya musik pengantar kematian. Telinganya berdenging. Pandangannya mulai kabur. Ia pasrah.

Namun, di ambang batas antara hidup dan mati, sesuatu yang aneh terjadi. Ia tak lagi merasakan sakit. Tekanan air yang menghancurkan itu seolah menjadi pelukan. Kegelapan di sekelilingnya mulai bersinar dengan cahaya biru kehijauan yang lembut. Dan kemudian, mereka datang.

Sosok-sosok transparan, melayang-layang di dalam air, mengelilinginya. Wajah-wajah pria, wanita, dan anak-anak, para korban lautan yang tak terhitung jumlahnya. Para nelayan yang kapalnya karam, para penumpang kapal dagang yang diserang bajak laut, para prajurit yang tenggelam bersama kapal perangnya. Dan di antara mereka, ia melihat sosok ibunya, tersenyum lembut padanya, tangannya terulur seolah menyambutnya.

Ini bukanlah hantu-hantu yang menakutkan, melainkan arwah-arwah laut yang menjadi satu dengan elemen yang telah merenggut nyawa mereka. Mereka berbisik padanya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan perasaan, dengan ingatan, dengan esensi dari laut itu sendiri. Mereka berbagi duka mereka, kemarahan mereka, kedamaian abadi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun