Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Perempuan Muyu dalam Pengasingan

13 Mei 2016   16:04 Diperbarui: 14 Mei 2016   13:14 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Bévak Sangat Sederhana untuk Pengasingan Petroneladi Kampung Wanggatkibi; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Meski demikian, peneliti merasakan masih terdapat kepercayaan yang kuat terhadap pengaruh ìptèm perempuan Muyu yang sedang bersalin. Fakta empiris memang menunjukkan bahwa perempuan Etnik Muyu yang tinggal di “perkotaan” Kampung Mindiptana sebagian besar sudah melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Bahkan mereka melakukannya lebih baik daripada perempuan-perempuan di Jawa, mereka melakukan persalinannya tidak di rumah, tetapi di rumah sakit. Realitasnya memang terjadi peningkatan persalinan di Rumah Sakit Bergerak. Tetapi justru fakta empiris inilah yang menjadi dasar pertimbangan peneliti, bahwa masyarakat Etnik Muyu masih sangat mempercayai pengaruh “kotor”nya perempuan yang sedang bersalin. Tingginya keyakinan masyarakat Etnik Muyu bahwa darah persalinan bisa membawa pengaruh buruk. 

Alasan perempuan Etnik Muyu melakukan persalinan di Rumah Sakit adalah “asal” bersalin di luar rumah. Dalam melakukan persalinan, pilihan tempat bagi perempuan Etnik Muyu adalah di bévak; atau Puskesmas; atau rumah sakit; atau dimanapun; asal tidak di dalam rumah! Se-moderen apapun pemikiran mereka, tetap saja kesan mendalam bahwa perempuan itu “kotor” saat bersalin masih melekat erat. Bagaimanapun mereka telah ratusan tahun hidup dengan keyakinannya tersebut, keyakinan bahwa ìptèm (supernatural) perempuan Muyu yang sedang “kotor” ini diyakini bisa mengakibatkan banyak hal buruk, terutama bagi laki-laki. Kesaktian laki-laki Muyu bisa luntur, waruk yang dimilikinya bisa tidak mempan, tidak memiliki daya kesaktian lagi.   

Pernyataan kesimpulan peneliti atas keyakinan masyarakat Muyu ini setidaknya dikuatkan oleh fakta empiris yang diungkapkan Dokter Yohannes Indra (29 tahun). Dokter PTT asal Bandung yang ditugaskan di Rumah Sakit Bergerak ini menyatakan bahwa;

“...awalnya saya heran pak, kenapa baju-baju ibu bersalin di sini dikumpulkan, tetapi bukan untuk dicuci. Semuanya... baik baju-baju maupun kain yang sudah terkena darah persalinan dimasukkan dalam satu plastik... katanya mau dibakar semua... karena tidak boleh dipakai lagi... bawa penyakit...”

Fakta empiris lainnya juga diungkapkan oleh Adolfia Tepu (44 tahun). Bidan Koordinator Program Kesehatan Ibu dan Anak yang telah 28 tahun bertugas di Puskesmas Mindiptana ini menyatakan bahwa;

“Iya pak... mereka itu kalo melahirkan di sini (Puskesmas), suaminya ga ada yang menunggui istrinya. Biasanya ibunya atau saudaranya yang perempuan itu yang menemani, yang laki-laki biasanya hanya mengantar saja, melihat dari jauh, ga ada yang mau masuk...”


Pada kondisi demikian, meski terlihat masih sangat tinggi kepercayaan pada buruknya ìptèm perempuan Muyu yang sedang bersalin, tetapi justru peneliti melihat peluang yang cukup baik bagi Pemerintah (Dinas Kesehatan Boven Digoel dan atau Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) untuk “melawan” tradisi pada posisi ini. Karena kepercayaan yang mereka yakini tersebut pada akhirnya dapat membuat akses persalinan ke pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Pemerintah hanya harus lebih siap menyediakan akses fasilitas tempat persalinan yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih tersebar sampai ke seluruh daerah pemukiman masyarakat Muyu di Distrik lain di wilayah Utara.

Peluang pada Etnik Muyu ini terlihat sangat menarik dan terlihat lebih memungkinkan untuk diintervensi. Hal ini berbeda dengan temuan Agung Dwi Laksono, dkk. (2014), pada Etnik Madura di Kabupaten Sampang, Propinsi Jawa Timur. Dilaporkan bahwa, masyarakat Madura di Sampang masih sangat minded terhadap pelayanan dukun bayi. Tercatat ada 518 dukun bayi di Kabupaten Sampang, lebih dari dua kali lipat bidan yang hanya ada 207 orang. Bertolak belakang dengan masyarakat Etnik Muyu yang berkeyakinan “harus” melahirkan di luar rumah, masyarakat Etnik Madura justru lebih senang melahirkan di dalam rumah, sehingga petugas kesehatan lebih sering menyerah bila diminta membawa perempuan Madura bersalin di fasilitas pelayanan kesehatan. Jalan tengah yang diambil adalah pelayanan dilakukan oleh tenaga kesehatan, meski tidak di fasilitas pelayanan kesehatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun