Pengakuan berbeda dikemukakan oleh Martina Denkok (30 tahun). Perempuan Muyu yang tinggal di Kampung Kamka ini mengaku sudah membantu empat persalinan perempuan Muyu lainnya. Kesemuanya merupakan kasus persalinan “mendadak”, dan kesemuanya dilakukannya di luar rumah;
“...yang penting itu pokoknya melahirkan bayinya itu di luar rumah pak. Itu pamali bagi kami... membawa darah dari persalinan perempuan di dalam rumah. Itu kotor pak... tra (tidak) boleh masuk dalam rumah... pamali... itu amòp!”
Pengakuan Martina Denkok ini diperkuat oleh pernyataan Ancelina Temkon (17 tahun). Perempuan Muyu yang tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar-nya ini baru satu bulan berselang (24 April 2014) melahirkan anaknya yang ke-dua. Ancelina melakukan persalinannya di rumput-rumput dekat kandang babi di rumah kakak ipar perempuannya;
“...waktu itu mendadak sekali pak... jam empat subuh. Saya sudah merasa sakit sekali, mau jalan ke Rumah Sakit Bergerak sudah tidak mungkin... baru sampai di depan rumah kakak saya sudah tidak tahan... akhirnya turun ke situ di rumput-rumput... karena tidak bisa melahirkan di dalam rumah to.”
Bagi perempuan hamil Muyu yang tinggal di Kampung Kamka, yang berjarak relatif dekat dengan Rumah Sakit Bergerak, sekitar empat sampai lima kilometer, hampir semuanya tidak dibuatkan bévak untuk persalinannya nanti. Hal ini lebih dikarenakan semua kelahiran direncanakan untuk dilakukan di Rumah Sakit Bergerak.
Berbeda dengan yang tinggal di dekat “Kota” Mindiptana, mereka yang tinggal di kampung agak jauh dari Mindiptana cenderung masih mempertahankan tradisi persalinan di bévak. Seringkali alasan yang diutarakan adalah karena tidak mungkin mencapai Rumah Sakit Bergerak pada saat-saat menjelang persalinan.
“Ya harus dibuatkan bévak pak. Mau melahirkan dimana? Tidak boleh melahirkan di dalam rumah to. Kan tidak mungkin dari sini (Kampung Wanggatkibi; berjarak sekitar 15 kilometer) jalan kaki ke Rumah Sakit Bergerak... tidak ada motor to...”
(Victor Tenjab, 52 tahun)
Senada dengan pernyataan Victor Tenjab di Kampung Wanggatkibi, bidan di Puskesmas Mindiptana, Natalia Tuwok (35 tahun), menyatakan bahwa di Kampung Imko perempuan Muyu yang hendak bersalin juga dibuatkan bévak, “Kampung Imko jaraknya mungkin terlalu jauh pak. Kami menjangkaunya juga berat. Jadi mereka membuat bévak untuk persalinan...,” jelasnya dengan raut muka mendung.
Konfirmasi terhadap informasi terkait persalinan di pelayanan kesehatan digali peneliti di bagian persalinan Rumah Sakit Bergerak. Fasilitas pelayanan kesehatan satu-satunya yang melayani persalinan di kawasan Distrik Mindiptana, Kombut, Sesnukt, Woropko dan sekitarnya ini mengaku hanya menolong kurang lebih sekitar empat persalinan per bulan di fasilitas pelayanannya. Dalam pengamatan memang hanya tersedia dua tempat tidur fasilitas rawat inap untuk ibu bersalin, dengan jumlah tenaga bidan yang mencapai empat orang.
Denda Adat