Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesaksian Mimpi

24 November 2021   13:43 Diperbarui: 25 November 2021   08:10 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mimpi (sumber foto: pexel.com)

Kau mengantarkan pagi ke kamarku. Namun, kau terlupa menghapus jejak bening di sudut matamu.

"Mimpi lagi?"

Diammu, memaksaku mengerti. Untuk membiarkan cerita bening embun, dan hening mimpi lesap ke dalam segelas kopi.

"Kau mau memelukku?"

Aku keliru. Pintaku perlahan menghancurkan tembok rapuh yang kau bangun seusai subuh. Tak perlu kuajukan tanya untuk airmatamu.


Dekap eratmu dan jejak bulir hangat yang menyusup di bahuku, adalah caramu memberitahu rasamu.

"Ayah tak pernah bermimpi?"

***
Aku belum lupa untuk bercerita kepadamu. Tapi hingga detik ini, aku masih mencari cara termudah untuk menceritakan tentang mimpiku.

Kau bisa saja mengira, mimpi seperti restoran mewah. Ketika datang dan memandang menu makanan yang dihidangkan, kau menyakini tanpa perlu mencicipi, jika sajian itu akan membuatmu senang dan kenyang.

Mungkin, kau juga menganggap mimpi seperti sebuah kedai kopi. Dengan sabar kau mencecap isi segelas kopi, berusaha menunda waktu ketika dengan lamban mereguknya hingga tetesan akhir berujung tandas.

Kau pasti tak ingin sepasang matamu dan lidahmu, begitu cepat menemukan kumpulan ampas yang berdiam tenang di dasar gelas.

Terkadang aku ingin berucap, mimpi seperti pedagang di sebuah pasar pagi. Menampilkan wajah-wajah ramah yang berseri disertai senyuman saat menyapa pembeli, menjadi cara terbaik untuk menyusun ulang keinginan yang dititipkan hening sejak pergantian hari.

Atau, harus memilih melupakan keinginan berwujud mimpi, ketika kesepian lalu lalang datang dan pergi menggantikan kehadiran pembeli. 

Sepertiku, kembali dan berkali dipaksa menelan mimpi.

***
"Tapi Ayah akan sendiri."

Bisikmu menyelinap ke liang telingaku. Memecah bisu yang sejak tadi berbincang tentang sepi, dengan kepulan asap tipis yang bertahan di bibir gelas berisi kopi.

Hari ini, hari terakhirmu sepenuhnya milikku. Kau dan aku mengerti, tak perlu sibuk mencari definisi untuk semua peristiwa yang menghiasi perjalanan waktu.

"Menikah salah satu mimpimu, kan?"

Kau dan aku tahu. Tak perlu menghitung waktu. Ia akan terus melaju dan berlalu. Bahkan menipu tanpa sempat berujar tunggu.

"Aku ingin seperti ibu. Tapi aku..."

Matamu kembali menawarkan parade bening yang hening. Suaraku lenyap dalam oase yang senyap.

***
Kau lupa. Gulir waktu adalah rahasia semesta untuk mengajarkan kata singgah.

Mimpi adalah jawaban rahasia yang disediakan semesta, ketika pertanyaan demi pertanyaan tak henti kau ajukan dalam doa. Bukan untuk hari ini, esok atau lusa. Namun, ia tiba ketika kau terlalu tua dan terlanjur lupa.

Malam tadi, dalam mimpi, mungkin saja kau menjelma menjadi seekor kupu-kupu biru. Kepak sayapmu menari mengusir terpaan udara dingin pagi. Agar kakimu leluasa menjangkau kelopak mawar, kemudian perlahan mencium aroma serbuk sari.

Esok malam, kau berubah menjadi duri dari serumpun mawar. Bertahan dalam diam, sebagai penjaga dari serbuan seekor kumbang yang akan menguras habis sari pati mawar.

Di malam yang lain, kau menjadi saksi. Dari kematian seekor kupu-kupu, atau seekor kumbang yang tertusuk duri. Menjadi saksi dari kematian serumpun mawar yang kehilangan aroma dan kehabisan sari pati.

Atau pada malam-malam yang terus berganti, kau menjadi saksi dari kematian mimpi-mimpi.

***
"Ibu datang lagi, Yah. Walau hanya mimpi."
"Sepertimu. Ibu pun rindu padamu."
"Atau, karena hari ini pernikahanku?"
"Itu pertanda kau masih memiliki Ibu, kan?"
"Ayah tak rindu?"

Kubiarkan airmatamu membasuh bisuku. Kau pasti tahu. Ibumu adalah mimpiku.

"Lupakan rinduku. Menangislah jika ingin. Airmata mungkin tak bisa menyembuhkan, tapi ia betah menemani luka!"

Curup, 24.11.2021
Zaldy Chan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun