Kau pasti tak ingin sepasang matamu dan lidahmu, begitu cepat menemukan kumpulan ampas yang berdiam tenang di dasar gelas.
Terkadang aku ingin berucap, mimpi seperti pedagang di sebuah pasar pagi. Menampilkan wajah-wajah ramah yang berseri disertai senyuman saat menyapa pembeli, menjadi cara terbaik untuk menyusun ulang keinginan yang dititipkan hening sejak pergantian hari.
Atau, harus memilih melupakan keinginan berwujud mimpi, ketika kesepian lalu lalang datang dan pergi menggantikan kehadiran pembeli.Â
Sepertiku, kembali dan berkali dipaksa menelan mimpi.
***
"Tapi Ayah akan sendiri."
Bisikmu menyelinap ke liang telingaku. Memecah bisu yang sejak tadi berbincang tentang sepi, dengan kepulan asap tipis yang bertahan di bibir gelas berisi kopi.
Hari ini, hari terakhirmu sepenuhnya milikku. Kau dan aku mengerti, tak perlu sibuk mencari definisi untuk semua peristiwa yang menghiasi perjalanan waktu.
"Menikah salah satu mimpimu, kan?"
Kau dan aku tahu. Tak perlu menghitung waktu. Ia akan terus melaju dan berlalu. Bahkan menipu tanpa sempat berujar tunggu.
"Aku ingin seperti ibu. Tapi aku..."
Matamu kembali menawarkan parade bening yang hening. Suaraku lenyap dalam oase yang senyap.