Kau mengantarkan pagi ke kamarku. Namun, kau terlupa menghapus jejak bening di sudut matamu.
"Mimpi lagi?"
Diammu, memaksaku mengerti. Untuk membiarkan cerita bening embun, dan hening mimpi lesap ke dalam segelas kopi.
"Kau mau memelukku?"
Aku keliru. Pintaku perlahan menghancurkan tembok rapuh yang kau bangun seusai subuh. Tak perlu kuajukan tanya untuk airmatamu.
Dekap eratmu dan jejak bulir hangat yang menyusup di bahuku, adalah caramu memberitahu rasamu.
"Ayah tak pernah bermimpi?"
***
Aku belum lupa untuk bercerita kepadamu. Tapi hingga detik ini, aku masih mencari cara termudah untuk menceritakan tentang mimpiku.
Kau bisa saja mengira, mimpi seperti restoran mewah. Ketika datang dan memandang menu makanan yang dihidangkan, kau menyakini tanpa perlu mencicipi, jika sajian itu akan membuatmu senang dan kenyang.
Mungkin, kau juga menganggap mimpi seperti sebuah kedai kopi. Dengan sabar kau mencecap isi segelas kopi, berusaha menunda waktu ketika dengan lamban mereguknya hingga tetesan akhir berujung tandas.