Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tugasku, Menjagamu Semampu dan Semampusku

1 Oktober 2020   19:54 Diperbarui: 2 Oktober 2020   07:10 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Ayah dan Anak (Sumber gambar : pixabay.com)

Sesaat lagi, tujuh belas usiamu.

Bukan kau, aku bahkan tak siapapun. Tahu persis, detik terakhir pertambahan usia. Kecuali mengulik ulang titik kehadiran yang tercetak di almanak. Berulang menyusun asa yang sama. Doa yang sama. Diiringi nada lagu yang juga sama. Selamat ulang tahun!

"Aku tak mau lagi dirayakan, Yah!"

Tak akan ada kue ulang tahun yang kubeli tergesa di toko kue. Tak ada ritual meniup api yang bertengger di atas lilin berbentuk angka. Tak ada doa bersama juga nada lagu yang sama, dan dinyanyikan bersama.

Itu inginmu! Aku tak akan melukai keputusanmu. Aku mencoba mencari tahu, apa alasan yang bisa kau ajukan untukku. Namun, akupun akan mencoba menghargai itu. Agar kau belajar menerima resiko dari keinginanmu.

Satu hal yang tak kau sadari. Aku harus kembali bersiap kehilangan satu lagi momen langka. Agar kau masih mengakui keberadaanku, sebagai ayahmu.

Kau tak tahu? Aku sudah kehilangan kesempatan untuk mandi bersamamu, mengusap badanmu dengan busa sabun. Atau mendengar teriakan panikmu, karena matamu perih, usai kutuang sampo ke rambutmu.

Alasanmu, malu!  Ummi yang baru sehari kau temui di Taman Kanak-kanak, mengajarkanmu untuk mandiri karena sudah besar. Kata itu kau maknai dengan mandi sendiri. Hanya dalam satu hari, aku kehilangan peran dan kepemilikan atas dirimu. Padahal kau anakku!

Mungkin saja tak kau sadari. Saat kelas tiga Sekolah Dasar. Aku masih bisa tersenyum di depan pintu, menyaksikan teman-temanmu menjemput untuk berangkat ke sekolah. Melihatmu berlari meninggalkanku, berjalan dengan riang menjauh dari rumah. Perlahan, juga menjauh dariku.

Aku tak lagi bisa menggenggam erat tanganmu, saat menyeberangi jalan. Akupun kehilangan kesempatan mendengar cerita mimpimu saat mengantarmu berangkat ke sekolah, dan kehilangan mendengar keluhan serta keseruan di kelas saat menjemputmu pulang ke rumah. Kau ingin dianggap sudah besar.

Pun, sejak itu. Tak lagi pernah kulihat air matamu. Aku tak lagi tahu kesedihan yang kau rasakan. Waktumu habis dengan urusan sekolah, serta berkumpul dengan teman-temanmu. Bagimu, aku orangtuamu. Untuk bertukar salam, berpamitan dan meminta uang jajan.

Kau mungkin tak pernah tahu. Saat larut malam aku masuk ke kamarmu. Diam-diam mencium keningmu atau mengusap rambutmu. Juga berlama-lama memandang wajahmu yang tertidur pulas. Bagimu, usia SMP bukan lagi anak-anak. Padahal, kau anakku!

"Aku mau beli ponsel, Yah! Tapi, uang di tabungan kurang!"

Aih, kau pasti tak tahu. Aku semakin takut mendengar permintaan itu. Bukan tentang uang! Tapi, akan bertambah kesibukanmu. Tak mungkin kutolak, kan? Ketika kulihat temanmu selalu memainkan benda itu, setiap kali bertamu.

Aku bahagia, kau tak langsung meminta. Tapi menyisihkan uang jajan yang kau punya. Kau mengenal baik caraku, dan aku akan memenuhi permintaanmu.

"Untuk tugas sekolah, Yah! Apalagi..."

Kukira, tak perlu kau ajukan alasanmu tentang kegunaan benda itu. Namun, aku semakin cemas! Keberadaan ponsel itu, semakin banyak memangkas peluang dan kesempatanku bersamamu.

Dan itu tak perlu kubuktikan lagi. Sejak dari bangun tidur hingga tidur lagi, benda itu melekat erat di tubuhmu.

Kau lebih panik kehilangan sinyal daripada melihatku yang terlambat pulang ke rumah. Wajahmu begitu memelas kehabisan kuota, dari pada rasa bersalah dimarah karena melalaikan tugas sekolah.

Wajahmu pun mulai terlihat jengkel dan merasa terganggu, ketika aku butuh bantuan. Sebab kau sedang asyik bermain game online, atau sedang menunggu balasan pesan dari teman-temamu. Terkadang juga iba, melihatmu serius menatap ponsel bergantian dengan buku-buku pelajaran yang bertebaran di sekitarmu.

Aku semakin khawatir, ketika tahu, kau sudah memiliki beragam media sosial. Namun bersyukur, kau tak malu berteman dan berinteraksi denganku di dunia maya. Adakalanya, aku merasa kita lebih dekat di dunia maya, dibandingkan di dunia nyata.

Sebentar lagi, tujuh belas tahun usiamu.

Mungkin, tak lagi banyak waktuku bersamamu. Dan untukmu. Aku akan membiarkan kau menjejaki langkah sesuai inginmu. Aku percaya, kau akan menjadi kebanggaanku. Nanti!

Kau lelakiku. Kukira sudah waktunya, memberikan bekal untukmu. Lima pesan ini sengaja kutuang, agar bisa kau baca ulang.

Pertama. Belajarlah bilang "tidak!"

Suatu saat, kau akan memahami. Menolak dan bertindak dengan kata tidak, butuh nyali. Jika kau berani, itu adalah bekal seorang lelaki.

Kedua. Kurangi kata "Maaf"!

Abaikan pesan moral lebih baik meminta maaf, walau tak mengerti salahmu. Lebih baik kau kurangi kata maaf dalam hidupmu. Dengan begitu, berkurang juga salahmu. Ketika salah, berani meminta maaf dan akui. Jika kau memang anakku.

Ketiga. Cari tahu batas diri.

Dengan begitu, kau akan tahu diri! Tak perlu menjadi pribadi penuh pesona. Tetaplah menjadi pribadi yang bersyukur dengan apa yang dimiliki. Agar tak ada yang tersakiti.

Keempat. Hormati pribadi, bukan yang dimiliki.

Kau nanti akan mengenal satu ujaran lama. Harta, takhta dan wanita adalah jebakan dunia. Namun, jika kau sepakat dengan ujaran itu, tempat bermainmu belum jauh! Bagi lelaki, yang bernilai itu adalah diri, bukan tentang apa yang dimiliki. Hanya itu!

Kelima dan terakhir. Pupuklah "rasa takut'!

Kau harus mengerti, takut itu berbeda dengan rasa takut. Jangan pernah takut! Terkadang kau butuh bertindak tegas mungkin juga keras, agar orang tak bersikap sembarangan padamu. Namun, rasa takut hanya bisa diketahui diri sendiri. Lakukan itu dengan refleksi dan introspeksi diri dalam sunyi.

Aku ingin kau tahu. Tak perlu terbeban atau terburu-buru. Karena pesanku ini, butuh belajar dan pembelajaran dengan waktu yang lama. Mungkin sepanjang usia. Kuharap kau mengerti, adalah tugasku menjagamu. Semampu dan semampusku.

Satu lagi. Jika sudah kau baca tulisan ini. Simpanlah! Dan, serahkan kepada anak lelakimu nanti. Mungkin aku tak akan pernah bertemu. Namun kuingin dirinya pun sepertimu.

Kau mau?

Curup, 01,10.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana dan Kompasianers]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun