Dan yang paling menyakitkan, aku harus menerima kenyataan bahwa kebersamaan keluarga yang dulu kuanggap abadi, kini hanyalah kenangan. Sebuah kenangan yang indah, tapi terlalu menyakitkan untuk diingat. Aku rindu, rindu yang tak lagi punya arah. Rindu pada masa di mana kami adalah satu, rindu pada kehangatan yang takkan pernah bisa kurasakan lagi.
Kami punya tradisi unik setiap malam Minggu. Kami akan duduk melingkar di ruang tengah, sambil mendengarkan Bapak bercerita tentang masa lalunya. Kisah-kisah itu tidak selalu tentang keberhasilan; seringkali Bapak bercerita tentang kegagalan dan bagaimana ia bangkit kembali. Kami tertawa, kadang-kadang menangis, tapi yang paling penting, kami merasa utuh. Kami adalah satu kesatuan yang diikat oleh kasih sayang tanpa syarat dari Mamah dan Bapak.
Kami merasa dilindungi. Kehidupan kami terasa seperti berjalan di atas jaring pengaman yang tak terlihat, yang terbuat dari doa dan restu orang tua. Aku tidak pernah membayangkan, sedikit pun, bagaimana rasanya hidup tanpa mereka. Bagiku, mereka adalah matahari yang takkan pernah terbenam, cahaya yang selalu menerangi jalanku.
Namun, dunia punya rencana lain.
Babak III: Mengukir Arah yang Baru
ku terduduk di lantai, memandangi cangkir teh yang kini dingin tak bersisa. Hidupku terasa sama hampa. Segalanya serba salah. Usaha yang kucoba selalu kandas. Setiap niat baikku di pandang buruk oleh orang lain. Saudara-saudaraku yang dulu seperti bayangan, kini sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Rumah ini, yang dulunya pusat kehangatan, kini hanya sebatas tempat tinggal. Aku merasa benar-benar sendirian, seolah-olah seluruh dunia berbalik memunggungiku.
Di tengah keputusasaan itu, mataku tertuju pada sebuah kotak kayu di sudut lemari. Kotak itu adalah milik Mamah. Sudah bertahun-tahun aku tak pernah membukanya, terlalu takut untuk menggali kenangan yang menyakitkan. Namun, malam ini, ada dorongan kuat yang membuatku meraihnya. Di dalamnya, ada tumpukan buku harian dengan sampul kusam. Aku mengambil salah satunya, dan di halaman pertama, terukir tulisan tangan Mamah yang rapi.
Aku membaca, dan air mataku tumpah. Bukan karena kesedihan, melainkan karena keheranan. Mamah menceritakan kisah-kisah yang tak pernah kuketahui. Ia menulis tentang perjuangan Bapak membangun karir dari nol, tentang perjuangan yang nyaris menghancurkan mereka, dan tentang saat-saat mereka harus memilih antara membayar uang sekolah atau membeli makanan. Aku selalu mengira hidup mereka sempurna, penuh keberuntungan, tanpa masalah. Ternyata, tidak. Mereka sering jatuh, tapi selalu bangkit. Mereka tidak pernah menyerah. Doa mereka bukan "sihir" yang membuat jalanan mulus, melainkan kekuatan untuk tetap berjalan di jalan yang terjal, untuk terus maju meski badai menerpa.
Tanganku gemetar saat membaca kalimat terakhir di halaman itu: "Kami tidak butuh keberuntungan, kami punya keyakinan. Kami tidak butuh keajaiban, kami punya ketekunan."
Saat itu, sebuah pencerahan menghantamku. Aku menyadari, doa-doa Mamah dan Bapak tidak pernah hilang. Doa itu tidak terucap di langit, melainkan telah tertanam di dalam diriku, dalam bentuk ketahanan, semangat pantang menyerah, dan cinta diri. Aku tidak perlu lagi bergantung pada "keajaiban" dari luar. Kekuatan yang selama ini kucari ada di dalam diriku sendiri.