Namun, dunia punya rencana lain.
Dunia kami, yang semula terasa seperti dongeng, perlahan-lahan kehilangan warnanya. Badai itu datang tanpa peringatan, menyelinap masuk ke dalam rumah kami. Awalnya, ia hanya berupa rintik kecil, sebuah diagnosis penyakit yang entah dari mana datangnya. Bapak, yang gagah perkasa, tiba-tiba harus terbaring lemah. Tujuh, delapan tahun lamanya. Selama itu pula, Mamah menjadi nahkoda sejati bagi keluarga kami. Ia mendampingi Bapak dengan sabar dan setia, cinta yang ia tunjukkan sungguh membuatku terharu. Mamah tidak pernah mengeluh, tidak pernah menunjukkan lelahnya. Tatapan matanya yang teduh selalu menyimpan kekuatan. Di setiap sujudnya, aku tahu, ia tidak hanya berdoa untuk kesembuhan Bapak, tapi juga untuk kekuatan kami, anak-anaknya. Kisah cinta mereka, kesetiaan mereka diuji di ujung tanduk, dan dunia seisinya seolah bertasbih menyaksikan cinta tulus yang tak lekang oleh waktu.
Pada tahun 2018, badai itu mencapai puncaknya. Malam itu, di ruangan rumah sakit yang hening, napas Bapak mulai memelan. Aku, sebagai anak pertama, merasa seluruh tanggung jawab dunia ada di pundakku. Aku harus kuat. Aku harus menenangkan Mamah dan adik-adikku. Aku harus mengucapkan kalimat talqin di telinga Bapak. Di situlah aku merasa, aku bukan lagi seorang anak yang selalu dilindungi. Aku adalah anak pertama yang kini diamanahi melanjutkan nahkoda keluarga. Dengan suara bergetar, aku membisikkan kalimat tauhid di telinga Bapak, merasakan hembusan napas terakhir beliau. Air mataku tumpah, namun aku harus tegar. Aku harus mengurus jenazah Bapak, menyolatkan, dan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Hatiku tak karuan. Tapi ada juga setitik kebahagiaan yang menyelinap di relung hatiku, aku bahagia bisa berbakti kepada Bapak di saat-saat terakhirnya.
Sehari sebelum Bapak meninggal, aku mendapatkan momen yang tak akan pernah kulupakan. Aku tertidur di ruang tunggu, menunggui Bapak. Dalam mimpiku, aku sedang mendengarkan khotbah Jumat. Tiba-tiba, aku melihat Bapak berdiri, memegang tali layangan. Bapak berkata, "Rai, layangan ini akan pergi jauh. Jangan dilepas, Nak. Pegang erat-erat." Setelah itu, layangan itu semakin jauh, dan Bapak pun menghilang. Aku terbangun dengan air mata membanjiri wajahku. Aku tahu, ini adalah sebuah pertanda. Setelah menunaikan salat Jumat, aku langsung menghampiri Bapak dan memeluknya erat, menangis tak henti-henti. Aku memohon maaf, meminta ampun jika selama ini aku belum bisa membuatnya bangga. Dengan kondisinya yang masih sadar, Bapak memaafkan dan mengikhlaskan semua kenakalanku dari kecil hingga dewasa. Beliau mengusap kepalaku, dan tatapan matanya mengatakan bahwa ia bangga padaku. Malam harinya, beliau berpulang.
Tiga tahun setelah kepergian Bapak, badai itu kembali datang. Kali ini lebih buas, lebih dingin. Dunia berduka karena sebuah wabah penyakit yang tak terduga. Dan di tengah wabah itu, Mamah, bidadari pelipur lara kami, harus berjuang sendirian. Selama 14 hari di rumah sakit, aku dan adikku, Carin, setia menunggui Mamah. Mamah adalah wanita yang kuat, penyayang, dan penuh perhatian. Bahkan di saat-saat kritis, ia masih saja mengkhawatirkan kami. "Kalian sudah makan? Jangan sampai sakit," bisiknya lirih, meski oksigen terpasang di hidungnya. Hati kami hancur melihatnya, namun kami tetap mencoba kuat.
Tragedi itu terjadi. Pagi itu, perawat membawa Mamah dari ruang perawat menuju ruang ICU. Entah apa yang ada di pikiran perawat itu, ia membawa Mamah tanpa memastikan oksigen di tabung sudah terisi. Tabung oksigen itu kosong, dan Mamah tidak mendapat asupan oksigen. Detak jantungnya melemah. Panik, perawat itu berteriak meminta bantuan. Namun, terlambat. Mamahku, malaikat tak bersayapku, harus menghembuskan napas terakhirnya di dalam lift, di tengah ketidakbecusan sebuah sistem.
Tangis kami pecah. Kami marah, kami hancur. Kami menuntut pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit. Kami merasa tidak adil, bagaimana bisa sebuah kesalahan fatal dibenarkan? Namun, kami kalah. Pihak rumah sakit membela perawat itu, mengatakan bahwa tindakannya sudah sesuai SOP. Sungguh ironis. Mamah yang selama hidupnya begitu santun, begitu lembut, harus pergi dengan cara yang tidak kami inginkan akibat kelalaian pihak rumah sakit. Bahkan di saat-saat terakhirnya, Mamah tidak ingin kami melihat kesulitannya. Ia pergi dengan cara yang begitu santun.
Kehilangan ini seperti pukulan telak yang merobek jaring pengaman kami. Rumah yang tadinya selalu ramai, kini terasa senyap. Tawa kami seolah ikut terkubur bersama kepergian mereka. Kami mencoba saling menguatkan, tapi setiap tatapan yang kami berikan satu sama lain hanya mencerminkan kesedihan yang sama. Kami kehilangan panduan, kami kehilangan kompas, kami kehilangan arah. Dan yang paling menyakitkan, kami harus menerima kenyataan bahwa kebersamaan keluarga yang dulu kuanggap abadi, kini hanyalah kenangan. Sebuah kenangan yang indah, tapi terlalu menyakitkan untuk diingat.
Awalnya, kami masih mencoba untuk tetap dekat. Kami sering berkumpul di rumah, mencoba mengisi kekosongan yang ada. Namun, seiring berjalannya waktu, kesibukan masing-masing mulai mengambil alih. Carin yang menjadi pendidik. Cindi seorang istri ustad sibuk mengabdi kepada suami, Dan Kiki, si bungsu yang dulu polos, kini tumbuh menjadi sosok yang lebih tertutup. Panggilan telepon kami tidak lagi berisi obrolan hangat, melainkan hanya pertanyaan basa-basi yang terasa hampa.
Hubungan kami yang tadinya kokoh, kini terasa seperti vas bunga yang retak. Dindingnya masih utuh, tapi sudah ada celah-celah di mana kami tidak lagi bisa mengisi satu sama lain. Setiap kali kami bertemu, ada kecanggungan yang tak terhindarkan. Kami seperti orang asing yang mencoba mengenang sebuah masa lalu yang indah, tapi tak lagi mampu merasakannya. Aku melihat mereka, dan yang kulihat bukan lagi keluarga, melainkan hanya histori berjalan. Sebuah kisah yang pernah ada, namun kini hanya menjadi cerita lama yang indah.
Aku merasa sangat sendirian. Seolah-olah, saat Bapak dan Mamah pergi, mereka juga membawa sebagian besar dari hatiku. Dan yang paling menyakitkan, mereka membawa serta jaring pengaman itu, yang selama ini menjadi pondasi kehidupanku. Kini, aku harus belajar berjalan sendiri, di atas jalan yang penuh kerikil dan tanpa peta.