Mohon tunggu...
Yus Alvar Saabighoot
Yus Alvar Saabighoot Mohon Tunggu... Dosen

Saya adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PGPAUD) di Universitas Terbuka (UT). Dengan pengalaman mengajar lebih dari 6 tahun, saya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini melalui pendekatan inovatif dan berbasis penelitian. Saya juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat dan pelatihan guru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Kisah Tentang Rindu yang Hilang Arah

21 September 2025   00:37 Diperbarui: 21 September 2025   00:37 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Foto Dihasilkan Oleh Gemini dengan Prompt  Sepenggal Kisah Tentang Rindu yang Hilang Arah 

Aku hidup dalam gelembung keberuntungan yang tak berkesudahan, yang aku anggap sebagai takdir. Aku tidak menyadari bahwa gelembung itu terbuat dari doa, air mata, dan pengorbanan yang tak terlihat. Aku terlalu smamahk menikmati hidup, sehingga aku lupa untuk melihat ke belakang, melihat dua pasang mata yang selalu mengawasiku dengan penuh cinta.

Aku tidak tahu, bahwa di balik senyum mereka, ada kelelahan yang luar biasa. Bahwa di balik doa-doa mereka, ada perjuangan yang tak pernah mereka ceritakan. Dan aku sama sekali tidak menyangka, bahwa pada suatu hari nanti, kehangatan itu akan sirna. Bahwa rumah ini, yang tadinya penuh cinta, akan menjadi museum kenangan yang menyakitkan.

Malam itu, di teras ini, aku merasakan dingin yang merasuk hingga ke tulang. Udara tak lagi hangat, aroma masakanMamah tak lagi ada. Suara Bapak yang menenangkan hanya terdengar dalam ingatan. Cangkir teh yang dingin di depanku adalah gambaran nyata dari kehidupanku sekarang: tak ada lagi kehangatan, hanya sisa-sisa kenangan yang hampa. Aku tidak lagi tahu apa itu arti takdir, karena takdirku, yang ku kira baik-baik saja, ternyata hanya sebuah ilusi. Ilusi yang diciptakan oleh dua orang yang kini telah tiada.

Babak II: Badai yang Tak Terduga

 Foto Dihasilkan Oleh Gemini dengan Prompt  Ilustrasi  Meninggalnya Orangtua 
 Foto Dihasilkan Oleh Gemini dengan Prompt  Ilustrasi  Meninggalnya Orangtua 

Dinginnya lantai teras merayap hingga ke tulang. Udara malam yang pekat seperti cangkir teh yang sudah mendingin di hadapanku, hampa dan tak berjiwa. Kenangan tentang sebuah rumah yang hidup, yang diselubungi oleh aroma masakan mamah dan lantunan doa bapak, kini terasa seperti mimpi yang takkan pernah bisa kugenggam lagi.

Aku memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang kehangatan itu memelukku sejenak. Dulu, ikatan antara aku, dan tiga adikku Carin, Cindi, dan si bungsu Kiki---terasa lebih kuat dari apa pun di dunia ini. Kami adalah kuartet yang tak terpisahkan. Rumah kami, meski sederhana, adalah istana yang tak pernah sepi. Suara tawa kami, kadang diselingi tangis atau teriakan kecil saat bertengkar, adalah musik yang paling merdu bagi Bapak dan Mamah.

Aku ingat, setiap sore, kami akan berkumpul di teras rumah. Bapak akan pulang dengan senyum lelah, dan Mamah akan menyambutnya dengan secangkir teh hangat. Kami berempat akan berebut tempat di dekat mereka, saling dorong, hingga akhirnya Mamah akan melerai dengan pelukan hangat. Di sana, kami bercerita tentang hari kami. Carin dengan ambisinya, Cindi dengan petualangannya, dan Kiki dengan imajinasinya yang tak terbatas. Aku, sebagai yang tertua, selalu merasa menjadi "kapten" dari kapal kecil kami ini.

Ikatan kami tak hanya terikat oleh darah, tetapi juga oleh restu dan kasih sayang Bapak dan Mamah. Mereka adalah pondasi, jangkar yang membuat kami tetap utuh. Kami sering bertengkar, tentu saja. Pertengkaran itu selalu berakhir dengan air mata, tapi tak pernah bertahan lama. Karena selalu ada tangan Mamah yang merangkul kami, atau nasihat bijak dari Bapak yang menenangkan.

"Kalian adalah hadiah terindah dari Allah untuk kami," kata Bapak suatu malam, suaranya serak. "Jangan pernah kalian biarkan apa pun merusak ikatan ini. Di dunia ini, persaudaraan adalah harta yang tak ternilai harganya."

Kalimat itu terukir dalam benakku. Kami percaya, selama Bapak dan Mamah ada, kami akan selalu utuh. Kami akan selalu punya tempat untuk kembali, sebuah jaring pengaman yang tak terlihat, yang terbuat dari doa dan cinta mereka yang tak terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun